Connect with us

Opini

Proyek Netanyahu di Palestina Temui Jalan Buntu

Published

on

Ada sesuatu yang absurd sekaligus getir ketika sebuah negara yang konon berdiri atas nama keamanan, justru menjerumuskan dirinya ke dalam jurang ketidakamanan paling dalam. Perang yang berkepanjangan di Gaza, yang katanya untuk “menghancurkan Hamas” atau “mengembalikan sandera”, kini lebih mirip dengan sebuah mesin tua yang dipaksa terus berjalan meski suku cadangnya sudah rontok. Netanyahu menyalakan mesin itu dengan penuh ambisi, tapi yang keluar hanyalah asap tebal yang mencekik rakyat Palestina, sekaligus menyesakkan paru-paru bangsanya sendiri.

Kita semua tahu, perang bukanlah sekadar angka korban atau hitungan hari di kalender. Ia adalah luka yang terus membusuk, terutama ketika tujuan yang digembar-gemborkan sejak awal ternyata tidak pernah bisa dicapai. Giora Eiland, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional zionis, sudah berteriak dengan jujur: ada lima harga mahal yang harus dibayar dari operasi Gaza—kematian sandera, tentara yang gugur dan terluka, cadangan militer yang terkuras, beban ekonomi yang menanjak, dan citra internasional yang terjun bebas. Singkatnya, perang ini bukan kemenangan, melainkan beban yang kian menjerat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ironisnya, meskipun suara-suara dari dalam negeri sendiri mulai mengakui kebuntuan ini, roda mesin perang tetap dipaksa berputar. Haaretz bahkan menulis dengan getir bahwa tujuan perang telah kehilangan makna. “Menghancurkan Hamas”, “mengembalikan keamanan”, “membawa pulang sandera”—semua itu kini tinggal jargon kosong, seperti papan reklame yang pudar dimakan hujan. Yang tersisa hanyalah kehancuran Gaza dan penderitaan manusia yang kian sulit diperbaiki. Tetapi anehnya, justru pada kehancuran itu Netanyahu mencoba menambatkan kelangsungan politiknya.

Di luar negeri, drama yang sama berlangsung dalam panggung berbeda. Uni Emirat Arab, negara yang dulu membuka jalan normalisasi lewat Abraham Accords, kini memperingatkan bahwa aneksasi Tepi Barat adalah “garis merah” yang akan menghancurkan mimpi integrasi regional. Lana Nusseibeh, diplomat ulung UEA, tak sekadar bicara kepada pemerintah Israel, melainkan langsung menyapa publik mereka, seolah hendak mengatakan: “jangan bodoh, kalian sedang menukar legitimasi internasional dengan ilusi kedaulatan.” Aneksasi yang didorong oleh sayap kanan ekstrem justru membuat tangan-tangan yang sempat terulur menjadi mengepal kembali.

Saya rasa di sinilah absurditas itu mencapai puncaknya. Netanyahu membanggakan normalisasi dengan UEA, Bahrain, bahkan berharap Saudi akan ikut. Tapi pada saat yang sama, ia menggoda koalisinya dengan wacana aneksasi. Bukankah ini ibarat seseorang yang ingin menikah lagi padahal rumah tangga barunya belum genap setahun? Wajar saja kalau UEA gerah dan mengancam akan meninggalkan meja perundingan. Politik yang terlalu rakus selalu gagal memahami bahwa legitimasi tidak bisa diperoleh dengan merampas tanah orang lain.

Yang lebih menarik adalah bagaimana sejarah seolah berulang. Pada 2020, ancaman aneksasi akhirnya dibatalkan demi Abraham Accords. Kini, lima tahun berselang, ancaman itu kembali dilontarkan, tapi dengan konteks yang jauh lebih suram: Gaza sudah luluh lantak, dunia makin muak melihat citra Israel, dan dukungan internasional terhadap Palestina justru menguat. Bahkan negara-negara Barat mulai membuka pintu pengakuan terhadap Palestina. Jika dulu normalisasi dianggap “jalan pintas” menuju legitimasi, kini aneksasi justru tampak sebagai “jalan pintas” menuju isolasi.

Netanyahu mungkin berpikir ia sedang bermain catur geopolitik. Tapi papan yang ia pakai penuh retakan. Bidak-bidaknya lelah, ratu dan bentengnya sudah tak lagi bisa melindungi, dan lawan-lawannya kini lebih sabar daripada yang ia perkirakan. Bahkan sekutu Arab yang sempat ia rayu kini menuntut syarat baru: jangan hanya menahan diri dari aneksasi, tapi juga buat jalan yang kredibel menuju negara Palestina. Itu bukan sekadar syarat teknis, melainkan ultimatum politik yang mengubah arah permainan.

Mari kita jujur: perang ini sejak awal tidak mungkin berakhir dengan kemenangan militer semata. Sejarah sudah berkali-kali mengajarkan bahwa rakyat yang terjajah tidak akan hilang hanya dengan bom dan tank. Palestina adalah bukti hidupnya memori kolektif. Anak-anak yang kehilangan rumah tetap akan mengingat siapa yang meruntuhkannya. Dan selama ingatan itu ada, perang tidak akan pernah selesai. Justru di titik inilah, Netanyahu tampak semakin terjebak: jika perang dihentikan, ia akan kehilangan dukungan politik di dalam negeri; jika perang diteruskan, ia mempercepat kehancuran citra negaranya di dunia.

Ada semacam kegetiran yang bagi kita, di Indonesia, bisa pahami. Kita tahu bagaimana sebuah kekuasaan bisa terus bertahan meski kebijakan yang diambil makin jauh dari akal sehat. Kita juga tahu bagaimana jargon “demi bangsa” sering kali dipakai untuk menutupi ambisi pribadi. Netanyahu hanya contoh yang lebih mencolok: seorang pemimpin yang menggunakan perang sebagai selimut bagi kegelisahan politiknya sendiri. Tapi pada akhirnya, selimut itu terlalu tipis untuk menutupi dinginnya kenyataan.

Kenyataan bahwa Gaza tidak akan pernah tunduk sepenuhnya. Bahwa rakyat Palestina, meski porak-poranda, tetap berdiri dengan harga diri. Bahwa bahkan sekutu Arab yang paling pragmatis pun mulai kehilangan kesabaran. Dan bahwa dunia, perlahan tapi pasti, mulai menatap Israel bukan lagi sebagai “korban yang harus dilindungi”, melainkan agresor yang harus dihentikan.

Proyek Netanyahu di Palestina, dengan segala retorika dan strategi setengah matang, kini jelas menemui jalan buntu. Ia mungkin masih bisa menunda, menipu, atau mengalihkan isu. Tapi seperti mesin tua yang dipaksa terus berjalan, akhirnya ia akan berhenti juga—bukan karena kehendak sang pengendara, melainkan karena mesinnya sendiri sudah remuk. Dan ketika itu terjadi, mungkin sejarah akan menulis Netanyahu bukan sebagai “pahlawan keamanan”, melainkan sebagai arsitek kegagalan terbesar dalam sejarah negaranya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer