Connect with us

Opini

Protokol Nyamuk: Kejahatan Israel yang Dibenarkan Dunia

Published

on

Omri Salem, 14 tahun, pasti akan mengenang hari itu seumur hidupnya. Bukan karena ia menemukan harta karun atau memenangkan perlombaan di sekolah, tetapi karena tubuh kecilnya dipaksa menjadi perisai hidup oleh tentara Israel. Bersama sepupunya yang baru berusia sembilan tahun, ia diperintahkan menyisir sebuah bangunan empat lantai, menelusuri setiap sudut dengan gemetar, sementara para prajurit yang katanya “paling bermoral di dunia” mengawasi dengan senjata terkokang. Ia takut, sangat takut. Tapi ketakutan tidak cukup untuk mengubah nasibnya. Setelah itu, mereka dipukuli. Karena begitulah hukum yang berlaku di bawah pendudukan: warga Palestina bukan manusia, mereka hanya alat.

Ini bukan peristiwa langka. Ini bukan kesalahan prosedur atau ulah segelintir prajurit bengal. Ini adalah protokol. Protokol yang begitu rapi, begitu sistematis, dan begitu menjijikkan hingga memiliki nama sendiri: Mosquito Protocol. Sebuah istilah yang lebih cocok digunakan dalam laboratorium entomologi ketimbang dalam buku pedoman perang. Tapi Israel memang selalu kreatif dalam hal menyamarkan kebiadaban dengan bahasa yang canggih. Mereka tak menyebutnya penyiksaan, tapi “interogasi yang diperketat”. Mereka tak menyebutnya genosida, tapi “operasi militer terarah”. Dan kini, mereka tak menyebutnya penggunaan warga sipil sebagai perisai manusia, tapi “protokol pengamanan taktis”.

Barangkali dalam pertemuan rahasia mereka, para jenderal Israel tertawa puas menemukan istilah ini. Mosquito Protocol. Nyamuk. Makhluk kecil yang tak berarti, tapi bisa dikorbankan untuk melindungi tubuh-tubuh besar. Analogi yang sempurna untuk warga Palestina, yang dalam logika Zionisme tidak lebih dari gangguan kecil yang harus diperas habis manfaatnya sebelum akhirnya ditepuk mati. Para tentara tidak perlu khawatir menghadapi rumah-rumah yang mungkin dipasangi jebakan atau ranjau. Biarkan seorang bocah maju dulu. Biarkan seorang kakek renta dengan tongkatnya berjalan lebih dahulu. Jika ada ledakan, ya, mereka yang mati. Tentara tetap aman, tetap bersih, tetap suci. Dunia tak perlu tahu. Jika ada yang berani membocorkan, cukup katakan bahwa itu hanya tuduhan yang tak berdasar. Jika perlu, lemparkan tuduhan balik: Hamas juga melakukannya! Seolah-olah dosa bisa dihapus dengan menunjuk kesalahan orang lain.

Dan dunia? Dunia hanya mengangkat bahu. Para pemimpin di Washington, London, Paris, Berlin, dan semua kota yang mengklaim dirinya sebagai benteng hak asasi manusia pura-pura tidak mendengar. Mereka yang biasanya cerewet soal pelanggaran kemanusiaan tiba-tiba menjadi bisu ketika Israel adalah pelakunya. Bahkan ketika sebuah laporan menyebutkan bahwa seorang lelaki tua berusia 80 tahun di Gaza dipaksa berjalan selama delapan jam dengan bahan peledak di lehernya, dipaksa memasuki rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang Palestina, sebelum akhirnya ia dan istrinya ditembak mati—tetap saja tak ada sanksi. Tidak ada embargo senjata. Tidak ada pemutusan hubungan diplomatik. Tidak ada langkah konkret. Karena di mata mereka, nyawa Palestina tidak cukup berharga untuk diperjuangkan.

Tapi apa yang diharapkan? Ini bukan pertama kalinya. Bukankah selama puluhan tahun Israel telah melakukan ini? Bukankah dunia juga diam ketika tentara mereka menembak anak-anak di pagar perbatasan Gaza? Bukankah dunia juga diam ketika rumah-rumah dibuldozer dengan keluarga masih di dalamnya? Bukankah dunia juga diam ketika dokter, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan dijadikan target? Keheningan ini sudah menjadi bagian dari aransemen kebrutalan Israel. Mereka tahu mereka bisa bertindak sesuka hati tanpa konsekuensi. Setiap kejahatan yang mereka lakukan hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah, tidak lebih.

Dan bagaimana dengan para tentara yang menjalankan protokol ini? Mereka pasti punya banyak alasan. “Saya hanya mengikuti perintah,” kata mereka, seolah-olah sejarah tidak mengajarkan bahwa alasan itu sudah terlalu basi untuk diterima. “Kami harus memastikan keselamatan kami,” kata mereka, seolah-olah keselamatan mereka lebih penting daripada martabat manusia lainnya. “Mereka adalah ancaman potensial,” kata mereka, seolah-olah seorang anak kecil dengan celana pendek adalah bahaya yang lebih besar daripada seorang prajurit bersenjata lengkap. Mereka bisa mencari seribu alasan, tapi yang mereka lakukan tetaplah kejahatan. Jika ada keadilan di dunia ini, mereka seharusnya diadili di Pengadilan Kriminal Internasional seperti para penjahat perang lainnya.

Tapi tentu saja, keadilan bukan untuk semua orang. Keadilan hanyalah permainan kata dalam diplomasi internasional. Keadilan adalah sesuatu yang bisa dibeli jika Anda punya cukup banyak pengaruh di Washington atau cukup banyak media yang bersedia menutupi kebusukan Anda. Maka Israel terus melaju, semakin leluasa, semakin beringas. Mereka tahu bahwa Amerika Serikat akan selalu memveto setiap resolusi yang menuntut pertanggungjawaban. Mereka tahu bahwa Uni Eropa hanya akan mengeluarkan pernyataan “keprihatinan mendalam” tanpa tindakan nyata. Mereka tahu bahwa organisasi-organisasi HAM yang bersuara lantang akan segera dicap sebagai “anti-Semit” jika berani menyinggung mereka.

Dan sementara itu, Omri Salem masih mencoba tidur di malam hari, dihantui mimpi buruk tentang tentara bersenjata yang memerintahkannya masuk ke rumah-rumah gelap. Sementara itu, keluarga lelaki tua yang ditembak mati masih berduka, bertanya-tanya mengapa dunia begitu acuh. Sementara itu, Gaza masih hidup di bawah bayang-bayang kehancuran, di mana setiap anak tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka bisa menjadi korban berikutnya. Sementara itu, Mosquito Protocol masih berjalan. Dan dunia? Dunia masih diam.

Mungkin di masa depan, akan ada museum yang menceritakan kisah ini. Mungkin suatu hari nanti, buku-buku sejarah akan mencatat kebiadaban ini seperti mereka mencatat kekejaman kolonialisme dan apartheid di Afrika Selatan. Mungkin akan ada generasi yang akan membaca tentang ini dan bertanya, “Mengapa tidak ada yang menghentikan mereka?” Tapi bagi mereka yang hidup di masa ini, pertanyaan itu sudah terlalu sering diajukan, dan jawabannya selalu sama: karena dunia lebih memilih diam. Karena bagi mereka, Palestina hanyalah nyamuk yang bisa ditepuk mati tanpa ada yang peduli.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *