Connect with us

Opini

Privatisasi Perdamaian: Gaza Dijadikan Proyek Bisnis

Published

on

Laporan terbaru dari The Cradle tentang diskusi rahasia UEA, AS, dan Israel untuk menciptakan “perdamaian” di Gaza membawa kita pada babak baru dalam ironi geopolitik. Konsep “peacekeeping” menggunakan kontraktor militer swasta terasa seperti ide cemerlang—jika tujuannya adalah mengubah konflik menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Sungguh langkah yang inovatif, menjadikan perusahaan bersenjata sebagai penjaga perdamaian di wilayah yang telah berpuluh tahun menjadi simbol perjuangan rakyat tertindas. Ide ini seolah lahir dari pikiran seorang pengusaha yang melihat puing-puing Gaza bukan sebagai tragedi kemanusiaan, tetapi sebagai peluang investasi tanpa batas.

UEA, negara yang dikenal dengan gedung-gedung pencakar langitnya, kini menawarkan model perdamaian yang tidak jauh berbeda dengan bisnis real estate. Gaza dianggap sebagai properti yang perlu direnovasi, dengan investor asing yang memegang kendali penuh atas desain dan pembangunan ulangnya. Tapi apakah penghuni asli properti ini diberi suara?

Yang lebih menarik, reformasi Otoritas Palestina menjadi syarat utama keterlibatan UEA. Seolah-olah, masalah utama Gaza adalah kegagalan manajemen, bukan blokade yang menghancurkan kehidupan jutaan orang. Ini seperti meminta pasien korban perang untuk memperbaiki gaya hidup mereka sebelum diberi akses ke pengobatan.

Kontraktor militer swasta yang diusulkan untuk menjaga perdamaian adalah paradoks terbesar dari semua ini. Pasukan bersenjata yang didorong oleh keuntungan diharapkan menjadi pilar stabilitas. Apakah kita lupa bahwa bisnis perang selalu lebih menguntungkan daripada bisnis perdamaian? Mengapa mereka mau perang berakhir?

Salam Fayyad, mantan perdana menteri Palestina, disebut sebagai kandidat potensial untuk memimpin Gaza yang “direformasi”. Ini seperti menunjuk arsitek baru untuk rumah yang diledakkan pemilik sebelumnya, tetapi tetap menyerahkan kendali pada penghancur. Kepemimpinan macam apa yang bisa bertahan di bawah syarat seperti itu?

Di balik layar, AS dan Israel terus memainkan permainan mereka. AS menawarkan gagasan rekonstruksi sebagai hadiah untuk Palestina, sementara Israel mengulur waktu, memastikan kendali tetap di tangan mereka. Semua ini berlangsung tanpa melibatkan Hamas, aktor utama di Gaza, seolah-olah perdamaian bisa dinegosiasikan tanpa bicara pada penghuni rumah.

Gaza menjadi semacam eksperimen global, di mana setiap kekuatan besar merasa berhak mencoba solusi baru. Namun, solusi ini tidak pernah berbasis pada keadilan, hanya pada efisiensi. Siapa yang bisa mendapatkan keuntungan terbesar? Siapa yang bisa menenangkan masyarakat internasional tanpa benar-benar menyelesaikan apa pun?

Pada akhirnya, janji perdamaian hanya menjadi jargon lain yang disiapkan untuk konferensi pers. Penggunaan kontraktor militer swasta adalah bukti bahwa niat sebenarnya bukan untuk menciptakan stabilitas, tetapi untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan bagi pihak tertentu. Perdamaian? Itu hanya bonus, jika memang ada.

Gaza tidak membutuhkan penjaga perdamaian yang bersenjata. Yang dibutuhkan adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pengakuan atas penderitaan yang telah berlangsung lama. Tapi selama keuntungan tetap menjadi tujuan utama, Gaza akan terus menjadi panggung bagi permainan geopolitik yang tak pernah adil bagi warganya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *