Opini
Premanisme Ormas: Satgas Jalan, Dalang Aman

Pasar-pasar berserakan seperti mozaik kota yang kelelahan, penuh hiruk-pikuk suara pedagang dan desau receh yang nyaris kehilangan makna. Di antara kesibukan itu, sebuah drama klasik kembali naik panggung—premanisme, kini tampil dalam balutan baru. Bukan lagi sosok bertato dengan clurit, tapi menjelma sebagai ormas berjubah legitimasi, berbadan hukum, dan berbicara atas nama rakyat. TVOne dan Kompas TV, dengan sorotan kamera yang lapar, menyiarkan keresahan publik. Presiden Prabowo Subianto, dengan gestur tegas ala militer, memerintahkan: tangkap, gulung, bersihkan. Operasi “Berantas Jaya” pun dimulai, dari Jakarta hingga Medan. Tapi ironi menguap di udara: yang tergulung hanya preman kelas teri. Lalu, ke mana para jenderal bayangan di balik ormas-ormas itu, yang mengutip “uang kebersihan” seperti pejabat resmi dengan senyum sah?
Pedagang kaki lima di Pasar Kembangan, Jakarta Barat, misalnya, telah lama terbiasa menunduk pada para preman berbaju ormas. Mereka membayar “uang pangkal” bulanan, “uang kebersihan” harian, dan bahkan “uang listrik” yang entah terhubung ke tiang mana. Berdasarkan liputan TVOne, sejumlah ormas berinisial F, G, dan bahkan Karang Taruna disebut-sebut terlibat. Karang Taruna, yang seharusnya menjadi wadah pemuda, kini menjelma menjadi jaringan pungutan liar dengan struktur rapi. Ini bukan lagi sekadar kriminalitas jalanan, tapi birokrasi gelap yang punya seragam, struktur organisasi, dan mungkin AD/ART. Penangkapan para preman oleh Polda Metro Jaya tampak teatrikal. Seperti disindir Sugeng Teguh Santoso, ini hanya “street crime“—urusan polsek, bukan kementerian. Tapi kenapa dipentaskan layaknya urusan nasional? Apakah ini sungguh operasi bersih-bersih, atau sekadar pertunjukan?
Premanisme bukanlah temuan baru. Ia tumbuh di retakan sosial: dipupuk ketimpangan, disirami kemiskinan, dan tumbuh subur karena ketidakhadiran negara. Dahulu, preman mengatur parkir dan mengaku menjaga keamanan kampung. Kini, mereka hadir sebagai organisasi dengan bendera, dokumen resmi, dan kadang surat rekomendasi pejabat. Mereka ikut rapat RT, menyuarakan aspirasi rakyat, dan mengenakan seragam yang lebih rapi dari hansip. Tangan kanan mereka memungut setoran, tangan kiri mengacungkan simbol ormas. Jika ditanya legalitas, mereka hanya menyodorkan SK. Beginilah bentuk premanisme mutakhir: kejahatan yang bersandar pada surat keputusan.
Sementara itu, aparat tampak memilih jalan aman. Mereka menangkap para pelaku lapangan, menggiring mereka ke kantor polisi, dan menjadikan mereka bintang tamu dalam konferensi pers. Tapi induk semangnya tetap berseliweran bebas, sesekali tampil di acara talkshow sebagai tokoh masyarakat. Ketika aparat turun ke lapangan, mereka seperti petani yang hanya memangkas rumput liar, tanpa pernah mencabut akarnya. Publik pun mulai bertanya: benarkah ini operasi tulus, atau hanya panggung untuk mengalihkan perhatian dari hal yang lebih genting?
Satgas Premanisme dideklarasikan secara lintas kementerian: Kemendagri, Kemenkumham, dan tentu saja kepolisian. Di atas kertas, ini menunjukkan keseriusan. Namun, di balik itu justru muncul tanya: sejak kapan urusan pungli pasar jadi tugas kementerian? Sugeng kembali menyindir, “Street crime kok jadi urusan nasional?” Barangkali karena premanisme telah berubah: bukan lagi sekadar pungli, tapi instrumen politik dengan potensi massa, kedekatan kekuasaan, dan kekebalan informal.
Operasi berjalan dari Jakarta hingga Surabaya. Ratusan preman ditangkap. Tapi ormas yang disebut-sebut tetap melenggang. Padahal, UU No. 16 Tahun 2017 memberi kewenangan kepada negara untuk mencabut status badan hukum ormas yang terbukti melanggar hukum. Pertanyaannya: apakah pemerintah cukup berani? Apakah mereka mau menabrak tembok kekuasaan yang mungkin dihuni kolega sendiri? Atau publik harus puas dengan pertunjukan harian, di mana para pion dikorbankan agar para raja tetap tenang di singgasana?
Ironi pun kian menebal. Negara membentuk satgas megah, namun alatnya tumpul. Sugeng menyentil lagi: “Kalau seribu preman ditangkap, mau ditaruh di mana?” Penjara penuh, anggaran cekak, dan semangat cepat menguap ketika preman punya koneksi. Dugaan kolusi pun muncul. Arianto Sutadi dalam wawancara TVOne menyinggung soal “pembiaran.” Warga enggan melapor, polisi pura-pura tak tahu, sebab aliran setoran bisa menyentuh ruang-ruang tak terduga. Simbiosis pun terbangun: rakyat kecil menyetor ke preman, preman ke oknum, dan semua seolah berjalan tertib—kecuali untuk mereka yang disedot habis-habisan.
Dan jangan lupa akar dari semua ini: ekonomi. Premanisme tumbuh karena keputusasaan. Ketika negara gagal menyediakan pekerjaan, maka jalan tikus jadi jalur utama. Hari ini ditangkap seribu, esok lahir seribu lagi. Menangkap preman tanpa memperbaiki ekonomi seperti mengepel lantai saat atap masih bocor. Lebih lucu lagi saat muncul gagasan mengalihkan preman menjadi satpam resmi. Penjahat disulap jadi penjaga. Republik parodi.
Kita pun pernah mendengar janji serupa dari satgas-satgas sebelumnya: Satgas Mafia Tanah, Satgas Judi Online, Satgas Anti Korupsi. Semua dimulai dengan gemuruh, lalu menguap tanpa jejak. Operasi “Pekat” (Penyakit Masyarakat) memang masih berlangsung, tapi tanpa transparansi dan keseriusan, publik tahu akhir cerita: sinetron mingguan yang tamat sebelum sempat klimaks. Judul berita setahun lagi mungkin akan berbunyi: “Satgas Bubar, Preman Kembali Menari.” Skenario yang sudah terlalu sering diputar ulang.
Sementara itu, rakyat menjadi penonton setia. Mereka ingin bersuara, tapi takut. Ingin melapor, tapi tak tahu harus ke mana. Di era digital, satu video bisa menjadi senjata, namun rasa takut lebih besar dari keberanian. Kepercayaan pada institusi merosot, sementara ormas tetap berpesta. Dan lingkaran ini terus bergulir.
Ke mana semua ini akan menuju? Satgas Premanisme tak boleh jadi gimik. Ia harus jadi senjata untuk mencabut akar, bukan sekadar merapikan daun. Negara harus berani menyentuh dalang, bukan hanya figuran. Butuh reformasi menyeluruh: audit ormas, bersihkan aparat, dan ciptakan alternatif ekonomi. Rakyat pun harus dilibatkan, dengan kanal pelaporan yang aman dan perlindungan nyata bagi saksi.
Tanpa semua itu, kita hanya menonton opera sabun yang sama dengan latar berbeda. Premanisme tidak akan punah karena razia. Ia hanya bisa dikalahkan oleh keadilan yang bekerja, politik yang bersih, dan masyarakat yang berani bersuara. Sampai saat itu tiba, kita akan terus hidup dalam absurditas ini: preman berdasi, ormas bersenjata moral, dan rakyat kecil terus membayar keamanan yang seharusnya mereka dapatkan secara gratis. Maka, mungkin sekarang saatnya kita tak sekadar menonton. Tapi bicara, melapor, melawan—dengan suara, dengan keberanian, dan dengan akal sehat.
Sumber:
- Razia Gulung Pelaku Premanisme Mulai Gencar Dilaksanakan | Metropolitan tvOne – https://www.youtube.com/watch?v=1ikWvAkaSeE
- Ormas Preman Disikat! IPW: Saya Ngga Yakin Ormas Besar ini akan Ditindak | AKIP tvOne – https://www.youtube.com/watch?v=CREppa-BVxQ
- Tegas! Perintah Kapolri Listyo Sigit Bakal Tindak Kelompok Terlibat Premanisme | Kompas Tv – https://www.youtube.com/watch?v=GmUSPQXlX6g