Opini
Prabowo, Luffy, dan Simbol Kritik di Tiang Kemerdekaan

Bendera itu tidak berdarah. Ia hanya menampilkan tengkorak yang tersenyum, mengenakan topi jerami, berkibar di tiang-tiang bambu, berdampingan—atau kadang sendirian—di gang-gang sempit kampung, di halaman rumah, di atas becak, dan di pojok warung. Lucu. Aneh. Meresahkan? Itu tergantung siapa yang melihat dan dari posisi mana ia berdiri. Bagi banyak anak muda, itu bukan sekadar lambang bajak laut fiksi bernama Monkey D. Luffy dari serial anime One Piece. Itu bahasa. Simbol. Isyarat. Dan kadang, juga peringatan.
Ketika bendera itu berkibar bersamaan dengan Merah Putih, dan dengan sadar diposisikan lebih rendah dari bendera negara, kita sedang melihat bukan pemberontakan, tapi semacam satire nasionalisme baru. Sebentuk cinta yang kecewa. Loyalitas yang letih. Kritik yang lelah bersuara dalam kata, lalu meminjam simbol dari semesta fiksi, karena di dunia nyata—kritik terlalu sering dibungkam atau dijawab dengan pasal.
Tapi alih-alih panik atau mengerahkan aparat, Presiden Prabowo Subianto justru menanggapinya dengan kalimat sederhana: “It’s okay, asal jangan dipertentangkan dengan Merah Putih.” Sebuah sikap yang mengejutkan banyak orang, terutama mereka yang mengenang Prabowo sebagai sosok nasionalis keras, penuh komando, dan tak biasa berdialog dengan simbol pop culture. Maka wajar muncul pertanyaan: apakah Prabowo kini berdiri di pihak Luffy? Apakah ia sedang mencoba menjadi Raja Bajak Laut dalam versi republik?
Bagi yang belum akrab, One Piece bukan sekadar kartun Jepang. Ia adalah epik sepanjang lebih dari 1.000 episode dan 100 volume manga, yang berkisah tentang Luffy dan kru bajak lautnya yang melintasi lautan demi mencari One Piece, harta karun legendaris. Tapi di balik petualangan itu, tersembunyi kritik sosial yang tajam: perlawanan terhadap Pemerintah Dunia yang korup, penegakan hukum yang tidak adil, dan pembelaan terhadap rakyat tertindas. Dunia One Piece dipenuhi rezim lalim, elit politik busuk, dan aparat yang mengabdi bukan pada keadilan, tapi pada stabilitas kekuasaan.
Dan di tengah dunia itu, berdiri Luffy. Seorang bajak laut yang anarkis tapi berhati murni. Pemimpin tanpa ambisi kuasa. Ia tidak memerintah, ia menginspirasi. Ia tidak memburu kekuasaan, ia membela yang tertindas. Maka wajar jika generasi muda Indonesia, yang merasa hidup dalam dunia penuh ketimpangan, meminjam simbolnya. Ketika hukum terasa pilih kasih, ketika kritik dibalas dengan framing, ketika rakyat dan penguasa terasa seperti dua dunia, maka Luffy pun menjadi simbol alternatif harapan. Tengkorak tersenyum itu tak lagi mengancam, ia malah menenangkan: tenang, kita belum gila, hanya sedang kecewa.
Namun, Prabowo tentu bukan Luffy. Ia bukan bajak laut, ia presiden. Ia bagian dari kekuasaan itu sendiri. Tapi sikapnya yang lembut terhadap fenomena bendera One Piece justru mengingatkan kita pada satu karakter lain dalam dunia One Piece: Fujitora. Laksamana angkatan laut yang buta, tapi justru melihat lebih dalam dari semua yang celik. Fujitora tahu institusi yang ia bela penuh cacat, tapi ia tetap tinggal di dalamnya bukan untuk membela, tapi untuk memperbaiki. Ia bahkan berani sujud di hadapan rakyat karena malu atas tindakan koleganya. Ia mengakui, dengan jujur, bahwa kebenaran tidak selalu berada di pihak seragam.
Jika Prabowo memang tengah bertransformasi menjadi semacam Fujitora—maka itu kabar baik. Setidaknya untuk sementara. Sebab tantangan terbesar bukan sekadar memahami simbol, tapi memahami penderitaan yang melatari munculnya simbol itu. Kritik simbolik muncul bukan karena rakyat ingin mengganti Merah Putih, tapi karena mereka merasa Merah Putih telah dijaga secara formal tapi diabaikan secara substansial. Mereka melihat janji kemerdekaan tak sepenuhnya ditepati, lalu mereka menagih—dengan cara yang kreatif, dan seringkali nyeleneh.
Sayangnya, tidak semua elite sepemikiran. Beberapa pihak justru kebakaran jenggot, mengaitkan pengibaran bendera One Piece dengan tindakan makar, subversi, bahkan melanggar hukum internasional. Seolah tengkorak kartun lebih mengancam negara daripada tikus berdasi. Sikap panik itu, sayangnya, justru memperlihatkan siapa yang sesungguhnya merasa dikritik. Padahal kritik itu tidak menyebut nama, tidak menuduh langsung. Tapi seperti semua kritik jujur, ia menampar yang bersalah tanpa harus menunjuk.
Prabowo, jika ingin sungguh-sungguh mengambil peran Fujitora, harus menempuh jalan sulit: mendengarkan rakyat bukan hanya saat mereka berbicara, tapi saat mereka diam. Ia harus mampu menerjemahkan simbol jadi kebijakan, satire jadi refleksi, dan kritik jadi koreksi. Ia tidak bisa berhenti pada toleransi, ia harus beranjak pada transformasi. Karena tak cukup hanya berkata “It’s okay“, jika sistem hukum masih tumpul ke atas, dan ruang sipil masih sempit.
Sebagai pemimpin baru, Prabowo punya peluang besar. Ia datang di saat banyak rakyat muak, tapi belum sepenuhnya putus asa. Mereka masih mau merayakan kemerdekaan, masih mau memasang bendera, meski dengan sedikit tambahan tengkorak jenaka. Itu pertanda rakyat masih peduli. Tapi kepedulian itu rapuh, dan bisa berubah jadi apatis jika terus dikecewakan. Tugas Prabowo bukan menjaga simbol negara tetap berkibar, tapi menjaga makna di balik simbol itu tetap menyala.
Karena pada akhirnya, yang membuat rakyat mencintai Luffy bukan karena ia kuat, tapi karena ia selalu berpihak. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia jujur. Dan bukan karena ia pahlawan, tapi karena ia selalu berdiri di sisi yang lemah, bahkan ketika dunia menyebutnya penjahat. Jika Prabowo bisa mewarisi semangat itu, bukan mustahil ia jadi pemimpin yang tidak hanya dihormati karena jabatannya, tapi dicintai karena keberpihakannya.
Tapi tentu, republik ini bukan anime. Musuh kita bukan monster laut, tapi kemiskinan struktural. Bukan Pemerintah Dunia, tapi korupsi berjubah nasionalisme. Bukan bajak laut jahat, tapi kekuasaan yang tuli. Dan jika Prabowo ingin mengarungi lautan kekuasaan ini tanpa karam, ia harus ingat: rakyat bukan musuh, kritik bukan ancaman, dan tengkorak tersenyum itu… mungkin sedang mengingatkan, sebelum semua terlambat.