Opini
PPN Naik: Rakyat Kecil Jadi Tumbal APBN yang Bocor?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Indonesia, negeri yang katanya kaya akan sumber daya, kembali menunjukkan kemampuan uniknya: mengelola anggaran dengan cara membebani rakyat kecil. Mulai Januari 2025, pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Alasannya? Demi “menjaga kesehatan APBN.” Tapi, seperti pasien yang disuruh minum obat mahal tanpa tahu penyakitnya, rakyat kini dipaksa membayar harga dari kegagalan mengelola negara.
Kebijakan ini sungguh jenaka jika tidak tragis. Rakyat kecil yang sudah kembang kempis memenuhi kebutuhan harian kini harus menanggung pajak tambahan setiap kali membeli sembako, pakaian, atau perlengkapan sekolah anak. Bukankah ini seperti meminta seorang pengemis membayar tiket masuk ke rumah sakit hanya untuk mati di ruang tunggu?
Bayangkan, seorang buruh yang berpenghasilan harian harus menyisihkan lebih banyak uang untuk setiap barang yang ia beli. Sementara itu, mereka yang mampu membeli berlian atau mobil sport tetap tersenyum, karena tambahan 1% ini hanya setara dengan biaya sewa jas untuk pesta malam mereka. Apa pemerintah lupa siapa yang paling terdampak kenaikan ini? Atau jangan-jangan, mereka tidak peduli?
Kenaikan PPN ini juga hadir di saat ekonomi rakyat masih terseok-seok. Daya beli masyarakat belum pulih, UMKM masih tertatih-tatih bangkit pasca pandemi, dan harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Namun, alih-alih menyelamatkan kapal ekonomi yang bocor dengan memperbaiki sekoci, pemerintah justru memutuskan untuk menenggelamkan mereka yang sudah terendam air.
Lucunya, alasan kenaikan ini adalah “demi menyehatkan APBN.” Padahal, APBN kita tidak sakit karena kurang pemasukan, tetapi karena terus-menerus digerogoti oleh korupsi dan pengelolaan anggaran yang amburadul. Jika pemerintah serius ingin menyehatkan anggaran, mengapa tidak dimulai dengan memangkas tunjangan pejabat yang berlebihan, menghentikan proyek-proyek mercusuar yang tidak berguna, atau memberantas korupsi secara tuntas?
Tapi tidak, itu tampaknya terlalu sulit. Lebih mudah meminta rakyat kecil, yang sudah terbiasa memikul beban, untuk menambah “iuran” bagi negara. Tidak peduli jika iuran itu membuat mereka semakin sulit bertahan hidup.
Sementara itu, di belahan dunia lain, negara-negara seperti Jerman atau Swedia menunjukkan cara cerdas menambah pendapatan tanpa menindas. Mereka mengenakan pajak progresif yang tinggi pada kelompok kaya, menargetkan perusahaan besar, dan memangkas pemborosan anggaran. Bahkan Selandia Baru dengan berani mengenakan pajak properti pada rumah mewah dan investasi besar. Di Indonesia? Para taipan tetap bisa tidur nyenyak, sementara rakyat kecil dihantui mimpi buruk tambahan 1% PPN.
Rakyat kecil di negeri ini sudah terlalu sering dijadikan tameng. Mulai dari kenaikan harga BBM, tarif listrik, hingga kini PPN, mereka terus diminta berkorban demi “kesejahteraan bangsa.” Tetapi, kapan terakhir kali bangsa ini benar-benar memberikan sesuatu yang berarti bagi mereka? Kapan para pejabat bersedia berkorban, bukan hanya meminta pengorbanan?
Kenaikan PPN ini tidak lebih dari simbol ketidakadilan struktural yang terus dilanggengkan. Rakyat kecil sudah lelah, tetapi tampaknya, mereka masih dianggap mampu memikul lebih banyak beban. Seolah-olah keadilan hanyalah dongeng, dan pemerintah adalah tukang ceritanya, sibuk membacakan kisah yang tidak pernah mereka percayai sendiri.
Jika pemerintah benar-benar peduli pada rakyat, hentikan kebijakan ini. Cari cara lain untuk memperbaiki APBN tanpa menjadikan rakyat kecil sebagai tumbal. Atau, jika memang tidak ada niat baik untuk itu, setidaknya, jangan bicara tentang keadilan sosial di depan podium. Itu hanya menambah ironi.