Connect with us

Opini

Poster Palestina yang Membuat London Panik

Published

on

Bayangkan sebuah kota yang disebut sebagai mercusuar demokrasi, tempat hak-hak sipil dipuja, tempat kebebasan berekspresi dianggap nyawa peradaban. Namun di jalanan kota itu, selembar poster sederhana bertuliskan solidaritas untuk Palestina tiba-tiba berubah menjadi “ancaman nasional.” Absurditas itu kini hidup di London. Bukan di negeri otoriter yang sering dijadikan sasaran kritik Barat, melainkan di jantung Eropa yang konon menjunjung kebebasan. Ironi ini begitu nyata hingga sulit dipercaya: London, kota yang pernah melahirkan Magna Carta, kini gentar oleh sebuah poster.

Polisi Metropolitan mengumumkan dengan nada percaya diri bahwa lebih dari 60 orang akan diproses hukum, dan lebih dari 700 sudah ditangkap hanya dalam hitungan minggu sejak Palestine Action dicap teroris. Bayangkan, lebih dari 500 orang ditangkap hanya dalam satu akhir pekan, sekadar karena membawa poster yang dianggap melanggar hukum. Statistik itu terdengar dingin, seakan laporan rutin, padahal setiap angka adalah wajah manusia yang digiring ke penjara karena kertas bertinta di tangan mereka. Polisi bahkan menyiapkan mekanisme khusus untuk memproses “jumlah besar” setiap pekan. Bukan mencegah kekerasan, bukan menghentikan bom, melainkan memproses orang-orang yang berani mengangkat poster.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Inilah absurditas zaman kita: poster diperlakukan setara senjata, kata-kata diperlakukan setara peluru. Pemerintah Inggris menjadikan Palestine Action sebagai aksi terorisme hanya karena aksi langsung mereka—okupasi pabrik senjata, vandalisme, pelumuran cat merah di gedung-gedung terkait industri militer. Apakah mereka melukai orang? Tidak. Apakah mereka meledakkan bom? Tidak. Mereka merugikan bisnis dan mengganggu kenyamanan, ya. Tapi melabelinya terorisme? Itu seperti menyebut mural di tembok sekolah sebagai “serangan bersenjata.”

Pakar PBB sudah mengingatkan. Mereka menegaskan, tindakan merusak properti tanpa niat melukai orang harus diperlakukan sebagai tindak pidana biasa, bukan terorisme. Namun peringatan itu diabaikan. Pemerintah Inggris tetap melangkah maju, seakan lebih takut pada poster di jalanan London daripada rudal yang menghantam rumah di Gaza. Ironi yang begitu telanjang: di negeri yang membiarkan skandal finansial miliaran pound melenggang, selembar poster justru bisa menyeret orang ke penjara enam bulan.

Saya rasa kita di Indonesia tidak asing dengan fenomena ini. Kita juga kerap mendengar istilah “mengganggu stabilitas nasional” sebagai alasan membungkam. Poster di London, atau spanduk di Jakarta, sama-sama bisa jadi dalih untuk mengerahkan aparat. Bedanya, di Inggris represi itu dibungkus dengan aksen aristokrat dan Undang-Undang Terorisme 2000, sementara di sini bisa dengan retorika kedaulatan atau ketertiban umum. Intinya sama: penguasa tidak suka jika rakyat membawa poster yang terlalu jujur.

Mari bayangkan seorang mahasiswa di London. Ia turun ke jalan, membawa poster sederhana dengan tulisan “Akhiri Apartheid Israel.” Ia tahu ada risiko ditangkap karena aksi duduk di trotoar. Tapi ia tak pernah menduga risiko yang menantinya adalah tuduhan terorisme. Dalam kepalanya, terorisme berarti bom bunuh diri, senjata otomatis, atau pembunuhan massal. Namun kini ia tahu, di Inggris terorisme juga bisa berarti kertas dengan tulisan solidaritas. Poster yang dulu simbol kebebasan kini diperlakukan sebagai barang bukti.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah Inggris begitu gusar pada poster ini? Jawabannya terletak pada kepentingan ekonomi dan geopolitik. Inggris punya hubungan erat dengan industri militer Israel, khususnya Elbit Systems. Produk senjata yang digunakan di Gaza banyak dibuat di pabrik-pabrik Inggris. Palestine Action menargetkan pabrik itu, menghentikan produksi, menelanjangi keterlibatan Inggris dalam mesin perang. Maka ketika kelompok ini dilabeli teroris, sejatinya yang dilindungi bukan keamanan publik, melainkan keamanan bisnis. Poster itu menjadi berbahaya karena ia menyingkap rahasia: bahwa darah di Gaza menetes hingga ke lantai pabrik di Inggris.

Lucu—atau lebih tepatnya tragis—bahwa pemerintah Inggris masih berani mengklaim diri sebagai pelindung demokrasi global. Mereka mengecam Rusia, menunjuk jari pada Cina, mengkritik negara-negara Selatan, lalu berkata: lihatlah kami, rumah kebebasan. Tapi kenyataan berkata lain: orang yang mengangkat poster Palestina bisa dipenjara enam bulan. Demokrasi rupanya bisa dijadikan kosmetik: cat tebal untuk menutupi wajah keras kekuasaan.

Ada pepatah Jawa: ajining diri ana ing lathi. Harga diri seseorang ada pada lisannya. Begitu pula negara. Jika lisannya selalu mengumandangkan kebebasan, tetapi tindakannya menindas poster, maka harga diri itu runtuh. Inggris kini tampak seperti guru moral yang berkoar tentang etika, padahal baru saja ketahuan menyontek. Kita boleh tertawa getir membayangkannya, tapi realitas ini pahit: standar ganda bukan sekadar memalukan, melainkan mematikan, sebab setiap senjata yang keluar dari pabrik Elbit bisa merenggut nyawa di Gaza.

Apakah aksi Palestine Action mengganggu? Jelas. Apakah itu tujuannya? Tentu. Demonstrasi memang dibuat untuk mengganggu, poster dibuat untuk mengguncang. Ketidaknyamanan adalah esensi protes. Yang seharusnya diperdebatkan adalah apakah aksi itu melukai manusia, bukan apakah ia melukai bisnis. Jika jawabannya tidak melukai manusia, maka menyebutnya terorisme adalah pemelintiran bahasa. Dan bahasa yang dipelintir adalah tanda awal dari otoritarianisme.

Saya teringat, jika logika ini diterapkan di Indonesia tahun 1998, mahasiswa yang membawa poster bertuliskan “Turunkan Soeharto” mungkin sudah disebut teroris. Jika dipakai di Amerika 1960-an, Martin Luther King bisa saja dituduh ancaman nasional karena posternya mengusik “ketertiban umum.” Kita tahu sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani membawa poster, bukan pada mereka yang menindasnya. Label teroris mungkin menempel hari ini, tapi besok sejarah akan menertawakan penguasa yang begitu takut pada kertas bertinta.

Ada kalanya saya merasa dunia sedang berjalan mundur. Ketika solidaritas Palestina diperlakukan sebagai kejahatan, sementara ekspor senjata diperlakukan sebagai bisnis normal, logika manusia jungkir balik. Poster dianggap bom, sementara bom dianggap komoditas. Dan kita disuruh percaya bahwa ini demi keamanan. Dunia yang terbalik, tapi kita dipaksa berdiri di atasnya.

Namun, justru di balik represi ini ada pengakuan terselubung: penguasa takut. Tidak ada negara yang panik hanya karena poster, kecuali negara itu merasa terguncang. Jadi penangkapan massal ini, alih-alih melemahkan, justru menunjukkan bahwa gerakan solidaritas Palestina semakin kuat. Poster itu memang kecil, selembar kertas, mudah diremas dan dibuang. Tapi ia membawa kekuatan simbolis yang membuat sebuah negara besar kehilangan akal sehat.

Pada akhirnya, ini bukan sekadar soal Palestina, bukan sekadar soal Inggris. Ini soal masa depan kebebasan sipil global. Jika sebuah poster bisa membuat London panik, maka kita harus waspada: apa yang akan terjadi ketika poster-poster lain bermunculan di seluruh dunia? Jika poster saja dianggap senjata, jangan-jangan besok suara kita, bahkan bisikan, akan dianggap ledakan. Dan ketika itu terjadi, yang runtuh bukan hanya pabrik senjata, melainkan fondasi kebebasan itu sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer