Connect with us

Opini

Politik Aksi, Bukan Basa-Basi: Membedah Kontroversi Gaya KDM

Published

on

Di Jawa Barat—tempat banjir menari di kali dan kemiskinan mencengkeram lumbung suara terbesar Indonesia—Dedi Mulyadi, si “Bapak Aing” dengan ikat kepala khasnya, hadir bagai petir di tengah kemarau. Ia berendam di gorong-gorong, membongkar bangunan liar di Puncak, menggiring anak nakal ke barak TNI—seolah dunia ini panggung dan ia aktor utamanya.

Di studio ILC, para panelis melempar duri: Rocky Gerung menyebutnya “society of the spectacle“, Ono Surono menuding pelanggaran Perda Jabar, KPAI meradang soal hak anak. Pencitraan, katanya. Tapi warga di pinggir kali yang rumahnya diselamatkan, atau ibu-ibu yang anaknya tak lagi bolos, melihat KDM sebagai angin segar. Ironi yang pahit: yang bergerak dicap cari muka, sementara para pengkritik di kursi empuk cuma meracau tanpa solusi. Tong kosong memang nyaring—tapi benarkah KDM sepenuhnya salah?

KDM bukan nama baru di panggung politik. Dari aktivis HMI, anggota DPRD, hingga Bupati Purwakarta—gaya eksentriknya konsisten: melarang pacaran di alun-alun, membangun patung budaya, menangis bersama warga miskin. Kini, dengan 68% suara di Pilgub Jabar dan 7 juta pengikut YouTube, narasi “Bapak Aing” menjalar hingga ke Sumatera Barat dan Sulawesi. Anggaran konten Rp3 miliar per tahun—jauh lebih hemat dari Rp50 miliar media mainstream—membuktikan ia paham psikologi publik. Tapi stigma “pencitraan” tetap melekat, karena tindakan konkret seperti membersihkan kali atau membantu rumah warga tak berkecukupan. Warga tak peduli Foucault atau Perda No. 5/2017; mereka butuh pemimpin yang kotor tangan, bukan manis lidah.

Namun, di balik sorak warga, ada lubang yang tak bisa diabaikan.

Ambil kebijakan anak nakal ke barak TNI, yang jadi sasaran empuk kritik. Dengan anggaran Rp6 miliar untuk 2.000 siswa—meski hanya 272 yang ikut—KDM mengirim remaja bermasalah ke Pangdam III Siliwangi untuk dilatih disiplin. Persetujuan orang tua ada, anak-anak tampil gagah di upacara Hari Kebangkitan Nasional. Tapi Ono Surono membongkar cacatnya: pelanggaran Perda No. 9/2019 yang seharusnya mengarahkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah khusus. Rocky Gerung lebih tajam: ini sekadar “docile body“, tubuh yang patuh tapi jiwa yang hampa. KPAI dan Komnas HAM menyebut pelanggaran hak anak. Studi menunjukkan dampak program ini minim. Rp3,2 miliar terasa mubazir. KDM memang bergerak—tapi pincang. Dan pincangnya bukan cuma eksekusi, tapi juga visi.

Lubang lain pun menganga. Kebijakan bansos bersyarat KB pria memicu badai: bertabrakan dengan UU Keluarga Berencana dan fatwa MUI soal vasektomi. Bukan sekadar pelanggaran teknis, tapi soal etika, privasi, dan martabat. Pemangkasan APBD Rp5,1 triliun dari Rp31 triliun—termasuk hibah pesantren dan bantuan daerah—membuat DPRD marah dan walkout. KDM dituduh otoriter, mengubah Pergub tanpa konsultasi, menjadikan legislatif cuma hiasan. Ini bukan soal gaya, tapi soal fondasi demokrasi: pemerintahan bukan one-man show, melainkan orkestra yang butuh harmoni. Dan KDM, dengan segala keberaniannya, kadang lupa membaca partitur.

Yang lebih ironis: para pengkritik jago menunjuk lubang, tapi malas menambalnya. Walkout DPRD memang dramatis, tapi setelah itu apa? Ono Surono tepat soal Perda, tapi mana alternatifnya? KPAI ribut soal pelanggaran hak anak, tapi mana rancangannya untuk sekolah khusus? Rocky Gerung mahir berteori, tapi tak pernah mengajak duduk bareng. Sementara itu, KDM—dengan segala cacatnya—membersihkan kali, melarang studi tur mahal, membantu nenek miskin. Ia tak sempurna, tapi ia bergerak. Para pengkritiknya? Sibuk rapat, sibuk berkomentar. Tong kosong, tetap nyaring.

Lihat Jokowi—sering dijadikan cermin KDM. Blusukannya didukung media hingga jadi presiden. Kalem, telaten, piawai meredam kritik. KDM? Reaktif, cepat membalas, lebih suka aksi instan: kali bersih, rumah layak, anak disiplin. Ini visual, bukan visi. Tapi di tanah dengan kemiskinan tertinggi kedua se-Jawa, warga memang butuh tindakan nyata. Meski begitu, KDM tak bisa jalan sendiri. Sistem pemerintahan adalah jaring kompleks: DPRD, dinas, masyarakat sipil, pakar—semua harus bergerak bersama. Kritik tanpa kolaborasi cuma jadi gonggongan di pinggir jalan: bising, tapi tak mengubah apa-apa.

Lubang-lubang KDM bukan untuk ditimbun, tapi dijahit jadi kebijakan yang utuh. Program anak ke barak bisa jadi pemicu perubahan: bayangkan Rp3,2 miliar itu dialihkan untuk mendirikan pusat rehabilitasi remaja berbasis pedagogi, dengan pelatihan guru dan konselor. Bayangkan KDM duduk bersama DPRD—bukan hanya tampil di YouTube—merumuskan Perda pendidikan inklusif berbasis komunitas. Ia punya modal: 68% suara, jutaan pengikut, dan kepercayaan emak-emak pasar. Tapi tanpa harmoni dengan legislatif, tanpa visi jangka panjang, ia hanya akan jadi badut heroik—menghibur, tapi tak mengubah.

Dan DPRD? Mereka juga harus berhenti jadi penonton yang sok bijak. Turun dari mimbar kritik, ulurkan tangan, dan rangkul KDM merancang solusi.

Solusi itu nyata. Bisa dimulai hari ini. Bentuk satgas pendidikan khusus, libatkan pakar, buat kurikulum rehabilitasi anak nakal. Anggarkan Rp3,2 miliar untuk sepuluh sekolah percontohan. Gunakan kanal media sosial KDM untuk kampanye kesadaran, bukan sekadar panggung aksi. Jika DPRD diam, mereka benar-benar tong kosong.

KDM, dengan segala lubangnya, adalah pemicu. Pertanyaannya: apakah kita siap menjahit lubang itu jadi kain perubahan, atau terus menonton drama ini sambil tersenyum getir—menanti banjir berikutnya menyapa?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *