Opini
Piraeus Bukan Milik Zionis: Penolakan yang Menggetarkan Dunia

“Kami tidak akan menurunkan satu inci pun dari muatan pembunuh untuk zionis.”
Kalimat ini tak lahir dari ruang diplomatik atau pidato para pemimpin negara. Ia lahir dari mulut buruh pelabuhan di Piraeus, Yunani—tempat di mana kehidupan sehari-hari lebih akrab dengan suara crane dan debu peti kemas ketimbang pernyataan politik. Tapi justru dari tempat seperti inilah, suara yang paling jujur dan mengguncang dunia bisa muncul. Serikat pekerja Enedep dengan lantang menyatakan bahwa mereka tidak akan menjadi kaki tangan penindasan, bahwa pelabuhan tempat mereka bekerja bukanlah milik penjajah.
Muatan yang mereka tolak adalah 75 bundel baja militer yang dikirim dari India. Bukan baja biasa. Ini adalah logam yang akan menjadi bagian dari mesin perang. Bisa jadi ia akan menjadi kerangka kendaraan lapis baja. Atau tulang punggung bunker yang dibangun di atas puing-puing rumah keluarga Palestina. Baja itu dibawa oleh kapal Ever Golden—kapal yang dikelola oleh perusahaan Jepang dan Taiwan, berbendera Panama, dan akan dipindahkan ke kapal milik Saudi untuk dikirim ke Haifa, pelabuhan militer Israel. Semua terdengar teknis, bahkan “legal”, namun di balik semua itu adalah sebuah jaringan global pengangkut kematian.
Enedep tak tinggal diam. Mereka menyebut muatan itu sebagai “barang perang”. Dan dengan nada tegas, mereka menolak menjadikan pelabuhan mereka sebagai tempat transit bagi kekerasan yang membunuh anak-anak di Gaza. “Kami tidak akan berpartisipasi dalam pembantaian yang dilakukan oleh negara pembunuh terhadap rakyat Palestina,” ujar mereka. Pernyataan ini bukan main-main. Piraeus bukan milik zionis. Ia adalah tanah buruh. Dan buruh yang sadar tak akan membiarkan tangannya mengangkat baja yang nantinya menjatuhkan bom ke sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah.
Aksi ini bukan berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari gelombang penolakan yang meluas di Eropa. Awal Juni lalu, buruh pelabuhan di Marseille, Prancis, menolak memuat 19 palet suku cadang senapan mesin yang ditujukan ke Haifa. Di Genoa, Italia, para buruh USB menolak kapal Contship Era yang memuat muatan serupa. Di Turki, kapal berbendera ZIM sempat dihadang dan ditolak bersandar setelah desakan masyarakat yang marah. Di Swedia, Spanyol, dan Maroko, penolakan serupa juga muncul dalam berbagai bentuk. Semuanya berbicara dalam satu bahasa: tidak untuk logistik penjajahan.
Apa yang dilakukan buruh pelabuhan ini bukan sekadar mogok. Ini adalah bentuk perlawanan logistik—serangan terhadap infrastruktur perang dari titik yang paling krusial. Sebab dalam konflik seperti yang terjadi di Gaza, kemenangan tak hanya ditentukan di medan perang, tapi juga di jalur distribusi. Israel, dengan semua teknologi militer yang dimilikinya, tetap bergantung pada rantai pasok global. Baja dari India. Kapal dari Taiwan dan Jepang. Logistik melalui pelabuhan di Yunani, Prancis, Italia. Perang modern tak akan terjadi tanpa kerjasama diam-diam dari dunia industri.
Piraeus telah menjadi simbol baru dari perlawanan. Pelabuhan ini, yang sebagian besar sahamnya dikuasai perusahaan milik negara Tiongkok (COSCO), kini berada di persimpangan antara keuntungan dan prinsip. Tapi buruhnya memilih berdiri pada sisi yang benar. Mereka tahu bahwa keputusan mereka bisa berujung pada tekanan, kriminalisasi, bahkan kehilangan pekerjaan. Tapi mereka tetap bersuara. Sebab mereka tahu bahwa diam berarti ikut ambil bagian. Dan bahwa menolak adalah satu-satunya cara untuk berdiri bersama yang tertindas.
Di Indonesia, kita jarang mendengar suara-suara seperti ini dari pelabuhan-pelabuhan besar kita: Tanjung Priok, Belawan, atau Tanjung Perak. Padahal lalu lintas perdagangan yang kita jalankan tak terpisah dari jaringan global yang sama—jaringan yang bisa jadi turut menopang penjajahan. Apakah kita pernah memeriksa kapal-kapal yang kita layani? Apakah kita tahu ke mana barang-barang itu akan dibawa? Atau kita terlalu sibuk pada pertumbuhan ekonomi, sehingga lupa bahwa sebagian pertumbuhan itu ditopang oleh perdagangan yang mencemari nurani?
Dalam konteks ini, suara buruh Piraeus adalah tamparan sekaligus undangan. Mereka tidak menunggu perintah negara atau fatwa politik. Mereka bertindak karena hati nurani. Dan dari tindakan kecil itulah gelombang besar bisa tumbuh. Dunia hari ini tak hanya diguncang oleh perang, tapi juga oleh kesadaran. Kesadaran bahwa penjajahan tak berdiri sendiri. Ia berdiri di atas rantai produksi dan logistik yang dioperasikan oleh manusia biasa. Dan ketika manusia-manusia itu memilih berhenti, sistem itu pun akan runtuh.
Penolakan di Piraeus adalah bentuk konkret dari kampanye BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) yang semakin mendapat dukungan luas. Namun ini bukan sekadar aksi simbolik. Jika kapal tak dibongkar, maka barang tak akan berpindah. Jika baja tak tiba, maka bunker tak akan dibangun. Jika senjata tak dirakit, maka bom tak akan dijatuhkan. Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Dan yang dilakukan buruh ini adalah menghadirkan konsekuensi terhadap kekerasan yang selama ini nyaris tanpa hambatan.
BDS Yunani menyebut pengiriman ini sebagai bagian dari “genosida terhadap 2,3 juta rakyat Palestina”. Kata “genosida” bukan digunakan sembarangan. Dengan puluhan ribu korban jiwa—sebagian besar perempuan dan anak-anak—dan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur sipil, apa yang terjadi di Gaza hari ini memang pantas disebut dengan istilah tersebut. Dan siapa pun yang terlibat dalam rantai pasok senjata—langsung atau tidak—adalah bagian dari sistem genosida itu.
Piraeus bukan milik zionis. Kalimat ini kini menjadi gema yang menyebar ke seluruh pelabuhan dunia. Ia bukan hanya deklarasi buruh Yunani, tapi potensi bagi semua pelabuhan untuk ikut menyatakan hal serupa. Ia adalah pernyataan bahwa tanah kerja bukan tanah penjajahan. Bahwa para pekerja bukan mesin tanpa jiwa. Bahwa pelabuhan, sekeras apa pun industrinya, masih bisa menjadi tempat bagi suara hati.
Di akhir pernyataannya, serikat pekerja Enedep menegaskan bahwa mereka menolak menjadi alat siapa pun yang menggunakan infrastruktur negeri mereka untuk menggambar ulang peta dunia dengan darah rakyat Palestina. Sebuah kalimat yang tegas, tak butuh penjelasan panjang, dan menusuk nurani siapa pun yang masih punya rasa keadilan. Dunia sedang digambar ulang. Tapi pertanyaannya: siapa yang memegang pena? Dan darah siapa yang dipakai sebagai tintanya?
Piraeus telah bicara. Dan suaranya menggetarkan dunia. Kini pertanyaannya, siapa yang menyusul? Akankah pelabuhan lain, negeri lain, rakyat lain, ikut berkata: cukup sudah. Zionisme tak akan melintasi pelabuhan kami.