Opini
Pinjol Ilegal: Jerat Digital dari Kegagalan Sosial Kita

Santi, seorang karyawan swasta berusia 26 tahun, menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Januari 2025, kebutuhan keluarga mendesak: ibunya terserang stroke, biaya pengobatan menumpuk, dan tabungannya lenyap. Tawaran pinjaman online (pinjol) ilegal sebesar Rp 3 juta dari aplikasi berkilau di layar terasa seperti tali penyelamat. Dengan gaji Rp 5,5 juta, ia yakin bisa mengatasinya. Namun, seperti ribuan lainnya, ia kini terjerat utang Rp 7 juta, diteror debt collector, dan menyesali pilihannya. Selamat datang di Indonesia 2025, di mana pinjol ilegal menjadi solusi palsu untuk krisis nyata, lahir dari kegagalan sosial yang kita semua biarkan tumbuh subur.
Kisah Santi bukanlah anomali, melainkan cerminan dari 1.944 korban pinjol yang mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sejak 2018 hingga 2024. Dari jumlah itu, 1.208 adalah perempuan, yang seperti Santi, sering memikul beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh keluarga. Satgas Pasti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 1.081 korban pinjol ilegal pada Januari–Maret 2025, dengan 61% di antaranya perempuan. Mengapa perempuan? Karena mereka adalah target empuk: akses kredit formal terbatas, tekanan ekonomi keluarga, dan iklan pinjol yang menjanjikan dana instan tanpa jaminan. Bukankah ironis, di era digital yang katanya inklusif, perempuan justru menjadi mangsa utama jerat modern ini?
Pinjol ilegal bukan sekadar aplikasi nakal; mereka adalah predator yang dirancang untuk menjebak. Bunga 1–2% per hari—jauh di atas batas legal 0,4% menurut POJK 10/2022—membuat utang Santi membengkak tak terkendali. Tenor singkat, sering kali hanya 7–14 hari, memastikan peminjam seperti Santi tak pernah bisa bernapas lega. Ketika ia gagal membayar, teror dimulai: ancaman verbal, doxing, hingga kekerasan seksual daring seperti sextortion. LBH Jakarta melaporkan bahwa korban pinjol menghadapi penagihan agresif yang menghancurkan psikis. Bukankah lucu, betapa negara yang bangga dengan UU TPKS dan Pasal 29 UU ITE masih membiarkan pelaku Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ini berkeliaran bebas?
Tapi, tunggu dulu, jangan salahkan Santi sepenuhnya. Ia tidak meminjam untuk belanja mewah atau judi online—meskipun OJK mencatat 30% korban pinjol terjerat karena judi. Santi meminjam untuk pengobatan ibunya, kebutuhan yang seharusnya ditanggung oleh sistem kesehatan nasional. BPJS Kesehatan, yang digadang-gadang sebagai penyelamat, ternyata tidak cukup menjangkau. Kemenkes 2024 melaporkan 20% pasien kronis seperti ibu Santi kesulitan akses layanan karena biaya atau birokrasi. Dengan tabungan habis dan gaji pas-pasan, Santi memilih pinjol karena takut ditolak kerabat. Bukankah ini tragikomedi, ketika seorang anak harus memilih antara utang haram dan kehormatan keluarga?
Lebih ironis lagi, kegagalan ini bukan hanya soal individu, tetapi cerminan dari jaring pengaman sosial yang compang-camping. Santi menghindari meminjam dari keluarga karena takut “sakit hati” akibat penolakan. Ini bukan sekadar budaya malu, tetapi bukti bahwa solidaritas keluarga dan komunitas, yang dulu kita banggakan sebagai gotong royong, kini merapuh. Urbanisasi dan individualisme telah mengikis mekanisme seperti arisan atau dana darurat komunal. BPS 2024 mencatat 40% rumah tangga Indonesia tidak punya tabungan darurat, meninggalkan individu seperti Santi tanpa pelampung. Bukankah menyedihkan, ketika budaya kolektivis kita hanya tinggal jargon kosong di seminar motivasi?
Negara, yang seharusnya menjadi benteng terakhir, malah absen. Satgas Pasti OJK memang rajin merilis laporan—1.081 korban di Q1 2025, tepuk tangan untuk statistik! Tapi, dengan 500 pinjol ilegal masih beroperasi, pemblokiran situs oleh Kominfo terasa seperti permainan kucing-kucingan. Penegakan hukum? Jangan harap. Pelaku teror dan KBGO jarang disentuh, meskipun ancaman mereka bisa dijerat Pasal 45B UU ITE dengan hukuman hingga 4 tahun penjara. Sementara itu, bansos dan kredit mikro seperti PNM Mekaar tidak menjangkau kelompok seperti Santi, yang bukan “miskin ekstrem” tetapi tetap rentan. Bukankah ini lelucon pahit, ketika negara lebih sibuk membanggakan startup unicorn ketimbang melindungi rakyatnya?
Pinjol ilegal juga berkembang karena kita, ya, kita semua, membiarkan literasi keuangan tetap di dasar jurang. OJK 2024 mencatat hanya 49% masyarakat Indonesia punya literasi keuangan memadai. Santi, seperti banyak korban, tidak memeriksa legalitas pinjol karena tergiur kemudahan. Iklan pinjol, yang membanjiri media sosial dengan janji “cair dalam 5 menit,” adalah jebakan berbalut kilau. X penuh dengan keluhan publik—tagar #HapusPinjol dan #StopTerorPinjol mencerminkan kemarahan—tapi tanpa edukasi, kemarahan itu hanya jadi teriakan di angin. Bukankah absurd, di zaman informasi, kita masih jatuh ke lubang yang sama berulang-ulang?
Lalu, ada dimensi lain yang tak kalah kelam: judi online, sahabat karib pinjol ilegal. Data OJK menunjukkan 30% korban pinjol terjerat karena mencoba melunasi kerugian judi. Platform judi, seperti pinjol, menjamur di ranah digital, memanfaatkan celah regulasi dan kecanduan masyarakat. Korban judi, seperti Santi, akhirnya terperosok dalam siklus utang, meminjam lagi untuk menutup lubang yang semakin dalam. Dampaknya? Depresi, perceraian, bahkan bunuh diri, sebagaimana diungkap di X. Bukankah ini opera sabun digital, di mana kita semua jadi penonton yang tak berdaya?
Solusi? Jangan harapkan keajaiban dari langit. Negara harus berhenti bermain petak umpet dengan pinjol ilegal. Satgas Pasti OJK dan Kominfo perlu memblokir situs dan aplikasi secara masif, bukan sekadar laporan tahunan yang mengesankan di PowerPoint. Hukum harus ditegakkan—pelaku KBGO harus dijerat, bukan dibiarkan tertawa di balik server. BPJS Kesehatan perlu direformasi agar menjangkau pasien kronis tanpa birokrasi yang mencekik, sehingga ibu Santi tak jadi alasan anaknya terjerat utang. Kredit mikro seperti PNM Mekaar harus diperluas, menawarkan pinjaman berbunga rendah untuk kelompok rentan. Bukankah ini masuk akal, atau kita lebih suka menyaksikan tragedi berikutnya?
Masyarakat juga punya peran, jangan pura-pura tak tahu. Keluarga harus membuka komunikasi—jika Santi bisa bicara terbuka tanpa takut ditolak, pinjol mungkin bukan pilihannya. Komunitas lokal, dari RT hingga masjid, bisa menghidupkan kembali dana darurat atau koperasi, menggantikan pinjol dengan solidaritas nyata. Edukasi literasi keuangan harus jadi gerakan nasional, bukan sekadar iklan di televisi. KemenPPPA dan OJK bisa memimpin kampanye “Cek Legalitas Pinjol” di posyandu, pasar, atau TikTok, menjangkau Santi-Santi lain sebelum terlambat. Bukankah ini lebih berguna ketimbang debat politik yang tak kunjung usai?
Korban seperti Santi perlu bantuan, bukan cemoohan. Layanan seperti SAPA 129 dan LBH Jakarta harus diperkuat, menyediakan konseling, bantuan hukum, dan mediasi utang. Skema keringanan utang untuk korban pinjol ilegal bisa jadi jalan keluar, bukan sekadar mimpi. Tapi, di atas semua itu, kita harus berhenti menormalisasi pinjol sebagai solusi. Mereka adalah parasit, hidup dari penderitaan orang-orang yang kita abaikan. Bukankah sudah saatnya kita berhenti jadi penonton dalam drama sosial ini?
Kisah Santi adalah cermin bagi kita semua. Ia bukan penutup, tetapi pengingat bahwa pinjol ilegal akan terus berkembang selama kita membiarkan kegagalan sosial menganga. Dari keluarga yang tak mendengar, komunitas yang tak peduli, hingga negara yang sibuk dengan retorika, kita semua punya andil. X bergemuruh dengan #PinjolPerangkap, tapi kemarahan saja tidak cukup. Kita butuh tindakan—sekarang, bukan besok. Karena, jika tidak, berapa lagi Santi yang harus kita saksikan tenggelam dalam jerat modern ini?
Daftar Sumber:
- Pilih Pinjol demi Obati Ibu, Santi: Daripada Sakit Hati Pinjam Saudara (https://megapolitan.kompas.com/read/2025/04/29/17274701/pilih-pinjol-demi-obati-ibu-santi-daripada-sakit-hati-pinjam-saudara)
- Tak Mampu Bayar, Korban Pinjol Diteror hingga Alami Kekerasan Seksual (https://megapolitan.kompas.com/read/2025/04/30/08203651/tak-mampu-bayar-korban-pinjol-diteror-hingga-alami-kekerasan-seksual)
- Kisah Santi Terjebak Utang Pinjol yang Tak Kunjung Usai…( https://megapolitan.kompas.com/read/2025/04/29/21445831/kisah-santi-terjebak-utang-pinjol-yang-tak-kunjung-usai)