Opini
Pidato Scholz: Simbol Politik Barat yang Hipokrit?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Pidato Olaf Scholz di penghujung tahun 2024 mengingatkan kita pada pertunjukan teater klasik yang penuh ironi. Dari atas panggung, sang kanselir berbicara dengan suara lantang tentang tragedi di Magdeburg, solidaritas rakyat, dan komitmen terhadap Ukraina. Namun, di balik gemuruh retorika itu, ada kebisuan mencolok terhadap penderitaan yang terjadi di Gaza. Seperti pemain yang sengaja melupakan naskah bagian tertentu, Scholz memilih untuk tidak menyentuh isu Palestina, seolah-olah krisis kemanusiaan di sana hanyalah latar belakang yang tak perlu diperhatikan.
Apakah ini sekadar kelalaian? Atau mungkin, seperti penonton yang cerdas akan segera menyadari, ada skenario lain yang sedang dimainkan. Solidaritas yang ditekankan Scholz tampaknya adalah solidaritas selektif. Ukraina, dengan segala kompleksitasnya, mendapat tempat utama dalam pidato itu. “Kami tidak akan meninggalkan Ukraina,” katanya tegas, dengan nada seorang pahlawan yang membela keadilan. Tapi ketika berbicara soal Gaza, ada keheningan yang memekakkan telinga. Jika penderitaan manusia adalah panggung besar, mengapa Gaza tidak layak disebutkan? Mengapa korban anak-anak yang mati di bawah reruntuhan tidak cukup penting untuk masuk dalam narasi besar “kemanusiaan” ala Scholz?
Mungkin jawabannya sederhana: tidak ada keuntungan strategis bagi Jerman di Gaza. Di Ukraina, ada cerita besar tentang melawan Rusia, tentang mempertahankan Eropa dari ancaman Timur. Ada aliansi NATO yang harus dijaga, ada ekonomi yang dipertaruhkan. Tapi di Gaza? Apa yang ada di sana? Hanya penderitaan tanpa nilai geopolitik, hanya kematian yang tidak menjual. Seperti seorang pedagang yang hanya menjajakan barang yang laku di pasar, pidato Scholz adalah selebrasi dari apa yang menguntungkan, bukan dari apa yang benar.
Dan jangan lupakan hubungan mesra Jerman dengan Israel. Jerman adalah salah satu pemasok senjata terbesar untuk Israel, tepat di belakang Amerika Serikat. Ini bukan sekadar hubungan diplomatik; ini adalah simbiosis ekonomi-politik yang mendalam. Scholz tahu, menyebut Gaza akan membuka pintu bagi pertanyaan tentang peran Jerman dalam mendanai mesin perang Israel. Jadi, lebih baik diam. Lebih baik membiarkan Gaza terkubur dalam keheningan, daripada mempertaruhkan kepentingan nasional.
Pidato ini adalah cerminan dari hipokrisi yang telah lama menjadi ciri khas politik Barat. Hak asasi manusia dipuja-puja ketika berbicara tentang Ukraina, tetapi dilupakan ketika menyangkut Gaza. Ini adalah permainan standar ganda yang begitu transparan, bahkan anak kecil pun bisa melihatnya. Scholz berbicara tentang persatuan, tetapi dia lupa bahwa persatuan sejati tidak dapat dibangun di atas penderitaan yang diabaikan. Dia berbicara tentang kekuatan bersama, tetapi bagaimana kita bisa kuat jika sebagian dari kita dibiarkan menderita sendirian?
Dan kita, sebagai penonton dari panggung besar ini, harus bertanya: Apakah ini masa depan yang kita inginkan? Sebuah dunia di mana nilai kemanusiaan diukur berdasarkan keuntungan politik? Sebuah dunia di mana penderitaan manusia hanya dianggap relevan jika mendukung agenda tertentu? Jika ya, maka kita tidak lebih baik dari aktor-aktor di panggung itu, yang bermain sesuai dengan naskah yang telah ditentukan. Tapi jika tidak, maka saatnya kita angkat suara. Saatnya kita bertanya, dengan keras dan jelas: Mengapa Gaza tidak cukup penting untuk disebutkan? Mengapa penderitaan di sana tidak layak mendapat perhatian yang sama seperti di Ukraina? Mengapa hak asasi manusia, yang katanya universal, berubah menjadi selektif ketika berbicara tentang Palestina?
Pidato Scholz, dengan semua kebisuannya, telah membuka tabir kepura-puraan politik yang sering disembunyikan di balik retorika kemanusiaan. Tabir ini memperlihatkan bahwa solidaritas dan hak asasi manusia, bagi pemimpin seperti Scholz, bukanlah nilai universal, melainkan alat yang dipilih berdasarkan keuntungan geopolitik. Kini, pilihan ada di tangan kita: akan diam seperti dia, atau berbicara demi keadilan yang sesungguhnya.
*Sumber: DW