Opini
Pidato Perang Netanyahu: Nyawa Sandera Jadi Tumbal

Di atas panggung yang disorot lampu, Benjamin Netanyahu berdiri dengan penuh keyakinan. Tapi di bawah panggung, tersembunyi suara-suara lirih dari Gaza yang tertelan gemuruh perang. Dalam pidato penuh semangat yang disampaikan pada 20 April 2025, Netanyahu menegaskan bahwa perang adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan. Ia menolak mentah-mentah gencatan senjata dengan Hamas, menyebutnya sebagai “penyerahan” yang akan menghapus pencapaian besar para pejuangnya.
Namun, di balik kata-kata berapi-api itu, tersembunyi kontradiksi mencolok, pengabaian terhadap penderitaan manusia, dan obsesi pada kekuatan militer yang diragukan hasil akhirnya. Pidato yang dimaksudkan sebagai unjuk tekad justru menelanjangi krisis kemanusiaan dan krisis kepemimpinan yang semakin dalam.
Netanyahu mengklaim bahwa tekanan militer telah berhasil membebaskan 196 sandera, termasuk 147 yang masih hidup, sebagai bukti keberhasilan strategi perang. Tapi kenyataannya jauh dari klaim itu. Sebagian besar pembebasan terjadi melalui pertukaran tahanan, seperti dalam kesepakatan bulan November 2023 yang melibatkan pembebasan 105 sandera dengan imbalan 240 tahanan Palestina. Operasi militer hanya menyumbang sebagian kecil, bahkan dalam beberapa kasus, sandera tewas akibat serangan udara Israel sendiri, sebagaimana dilaporkan Haaretz.
Kini, masih ada 24 sandera yang ditahan di Gaza. Kondisi mereka memburuk. Dalam video yang dirilis Hamas baru-baru ini, para sandera terlihat lelah, ketakutan, dan kehilangan harapan. Namun Netanyahu tetap menolak tawaran pertukaran tahanan. Ia menyebutnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional Israel. Pertanyaannya: apakah nyawa para sandera benar-benar prioritas, ataukah mereka hanya alat untuk mengukuhkan narasi kemenangan dan mempertahankan kekuasaan politik?
Pidato Netanyahu juga membanggakan sejumlah “pencapaian besar,” termasuk penguasaan koridor Philadelphia dan pelemahan struktur militer Hamas. Tetapi kenyataan di lapangan menyuguhkan gambaran lain. Setelah 18 bulan perang, tiga tujuan utama—menghancurkan Hamas, membebaskan semua sandera, dan menjadikan Gaza tidak lagi sebagai ancaman—belum satu pun tercapai secara penuh. Hamas masih mampu meluncurkan roket dan mempertahankan sejumlah sandera. Apakah ini yang disebut kemenangan?
Penguasaan koridor Philadelphia memang penting secara strategis, tetapi tanpa rencana pascaperang yang jelas, wilayah itu hanya menjadi medan kosong tanpa jaminan keamanan jangka panjang. Netanyahu tidak menawarkan visi konkret untuk masa depan Gaza. Yang ia sebut hanyalah dukungan terhadap “visi Trump” yang telah ditolak banyak pihak karena dianggap membuka jalan bagi pembersihan etnis. Seperti yang dilaporkan CNN, ketiadaan rencana pascaperang ini mengindikasikan bahwa yang disebut pencapaian tak lebih dari ilusi kemenangan taktis yang rapuh.
Yang paling menyakitkan, tentu saja, adalah pengabaian terhadap korban sipil. Lebih dari 48.520 warga Palestina telah tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Dua juta lebih terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Infrastruktur hancur, rumah sakit runtuh, dan listrik serta air bersih menjadi kemewahan langka. Gaza berubah menjadi tanah kematian dan penderitaan. Tetapi dalam pidato Netanyahu, semua itu nyaris tak disebut. Seolah-olah derita rakyat Palestina tidak layak dimasukkan dalam narasi perang.
Tuduhan genosida yang kini diproses di Mahkamah Internasional (ICJ), serta surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, mencerminkan kemarahan global terhadap serangan yang dianggap tidak proporsional. Netanyahu menolak tuduhan itu sebagai bentuk “kemunafikan,” namun tidak menyodorkan satu pun langkah nyata untuk mengembalikan legitimasi moral Israel di mata dunia.
Lebih jauh, ia menuduh oposisi dalam negeri—termasuk keluarga sandera yang menuntut gencatan senjata—sebagai pendukung propaganda Hamas. Ini adalah penghinaan yang menyakitkan. Ribuan orang Israel telah turun ke jalan di Tel Aviv, Yerusalem, dan kota-kota lain, menuntut pemerintah untuk mengutamakan nyawa sandera melalui jalan diplomasi. Tokoh oposisi seperti Yair Lapid dan Benny Gantz telah menawarkan alternatif negosiasi, tapi semuanya diabaikan demi mempertahankan aliansi politik sayap kanan ekstrem yang menopang kursi Netanyahu.
Sikap keras terhadap tawaran Hamas untuk pertukaran tahanan menunjukkan inti dari kebuntuan ini. Dalam proposal terakhir yang diajukan Hamas, ditawarkan pembebasan seluruh sandera dengan imbalan gencatan senjata dan pembebasan tahanan Palestina. Kesepakatan serupa pada 2023 telah berhasil menyelamatkan ratusan nyawa. Mengapa sekarang ditolak? Alasan resminya: itu akan menjadi “kemenangan bagi Iran.” Tapi realitas politik menunjukkan hal lain: menerima tawaran itu bisa menghancurkan koalisi Netanyahu, melemahkan posisinya, dan mempercepat proses hukum atas kasus korupsi yang selama ini membayanginya.
Dengan kata lain, nyawa manusia kembali menjadi alat tawar dalam permainan politik.
Sementara itu, posisi Israel di panggung internasional semakin goyah. Embargo senjata mulai diberlakukan oleh beberapa negara, tekanan dari PBB makin kuat, dan isolasi diplomatik terus membesar. Dalam pidatonya, Netanyahu mengakui bahwa legitimasi Israel terguncang, namun ia menyalahkan tekanan politik global—tanpa sedikit pun menilik bahwa kebijakan perang tanpa akhir-lah yang menjadi akarnya.
Ia terus menolak solusi dua negara, dan mendukung “visi Trump” yang ditentang keras oleh negara-negara Arab tetangga, termasuk Yordania. Padahal, seperti yang dicatat BBC, solusi dua negara adalah satu-satunya jalan yang masih masuk akal untuk menghindari siklus kekerasan tanpa henti. Tanpa itu, Gaza akan tetap menjadi lahan subur bagi radikalisasi, dan Israel tidak akan pernah benar-benar aman.
Netanyahu bicara soal kemenangan. Tapi dalam realitas yang penuh darah dan reruntuhan, kemenangan macam apa yang sedang ia maksud? Apakah kehancuran total Gaza, penderitaan dua juta manusia, dan kematian sandera sendiri layak disebut sebagai “pencapaian besar”? Jika demikian, maka kita tidak sedang menyaksikan seorang negarawan, melainkan seorang politisi yang haus legitimasi di tengah kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
Di balik retorika heroik Netanyahu, terlihat jelas bahwa ia lebih peduli pada kelangsungan politiknya daripada keselamatan sandera maupun penderitaan warga Gaza. Dengan terus menolak negosiasi yang telah terbukti efektif, ia mempertaruhkan nyawa 24 sandera yang tersisa dan memperpanjang tragedi kemanusiaan yang mencabik nurani dunia.
Ia mungkin melihat perang sebagai satu-satunya jalan. Tapi dunia melihat luka yang semakin dalam, dan rakyatnya sendiri mulai kehilangan kepercayaan. Israel layak mendapatkan pemimpin yang berani mencari damai, bukan yang terus memantik api perang demi mempertahankan singgasana.
Sumber:
- Pidato Benjamin Netanyahu, 20 April 2025, https://www.youtube.com/watch?v=380PaWYhC4Y
- Video tahanan Hamas, 19 April 2025, https://x.com/ME_Observer_/status/1913596163015483799
- Kementerian Kesehatan Gaza, laporan korban per April 2025
- BBC, laporan demonstrasi di Israel dan tuduhan genosida
- CNN, analisis kurangnya rencana pasca-perang Netanyahu
- Haaretz, laporan kematian sandera akibat serangan Israel
- Reuters, detail kesepakatan pertukaran tahanan November 2023
- Al Jazeera, laporan tawaran Hamas untuk pertukaran tahanan
- The Guardian, laporan tekanan internasional dan tuduhan ICC
- Mahkamah Internasional (ICJ), kasus genosida Afrika Selatan terhadap Israel