Connect with us

Opini

Perundingan atau Ultimatum Netanyahu?

Published

on

Hamas mengumumkan bahwa pertukaran tawanan yang dijadwalkan pada 15 Februari harus ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Alasannya? Israel, seperti biasa, melanggar kesepakatan yang baru saja mereka tanda tangani. Hamas menegaskan bahwa mereka telah mematuhi seluruh ketentuan gencatan senjata, sementara Israel justru terus menyerang, menghalangi bantuan kemanusiaan, dan melarang warga Palestina kembali ke rumah mereka sendiri. Lalu, Netanyahu dengan wajah datarnya tetap menyebut ini sebagai ‘proses perdamaian.’

Di sisi lain, PM Israel, Benjamin Netanyahu membawa daftar tuntutan yang lebih mirip daftar belanja seorang diktator daripada proposal negosiasi. Hamas harus dihapuskan, Brigade al-Qassam dibubarkan, dan semua pemimpin Hamas diusir dari Gaza. Oh, dan tentu saja, semua tawanan Israel harus dibebaskan tanpa syarat. Jika Hamas bersedia tunduk seperti boneka tanpa kepala, maka perang bisa berhenti. Perdamaian versi Netanyahu: serahkan segalanya atau hadapi kehancuran.

Jika ini yang disebut perundingan, maka pemerasan juga bisa disebut sebagai hadiah. Netanyahu tidak berusaha mencapai kompromi; dia ingin Gaza menyerah sepenuhnya. Dia ingin Hamas bertekuk lutut, menyerahkan senjata, dan pergi tanpa perlawanan. Sementara ribuan warga Palestina meringkuk di penjara Israel dalam kondisi tak manusiawi, Netanyahu hanya peduli pada 76 tawanan Israel. Seakan-akan nilai nyawa diukur berdasarkan kebangsaan.

Negosiasi ini lebih mirip pertunjukan sandiwara murahan. Haaretz bahkan melaporkan bahwa Netanyahu sengaja mengirim tim ke Doha tanpa mandat yang jelas, hanya untuk menciptakan ilusi bahwa dia sedang berusaha mencapai kesepakatan. Tujuan utamanya? Mengulur waktu, menekan Hamas, dan memanipulasi jalannya gencatan senjata agar sesuai dengan agenda politiknya sendiri. Jika Hamas tidak menerima, maka mereka akan dibiarkan mati kelaparan sambil Netanyahu berpura-pura menawarkan solusi.

Trump, tentu saja, muncul di latar belakang sebagai dalang yang ikut memainkan boneka perang ini. Presiden AS itu dikabarkan mendukung rencana Israel untuk merebut Gaza dan mengusir penduduknya. Sebuah visi besar tentang ‘perdamaian’ yang dicapai dengan cara menggusur seluruh penghuni asli wilayah tersebut. Jika ada satu pelajaran dari sejarah kolonialisme, inilah caranya: rebut tanah mereka, hancurkan perlawanan, lalu beri nama baru seolah semuanya berjalan adil.

Perdamaian Netanyahu sebenarnya hanyalah perang berkedok negosiasi. Jika Hamas setuju dengan syarat-syarat yang diajukan, itu bukan gencatan senjata, tapi pembantaian yang tertunda. Jika Hamas menolak, Israel akan tetap menghancurkan Gaza dan menyalahkan korban karena tidak cukup patuh. Dunia akan menonton, media akan memainkan narasi netral, dan para diplomat akan terus berbasa-basi seolah semuanya hanyalah ketidaksepakatan kecil.

Maka, pertanyaannya: ini perundingan atau ultimatum? Ini bukan kompromi, ini adalah pemaksaan. Ini bukan jalan menuju perdamaian, ini adalah skenario di mana satu pihak harus menghilang agar pihak lain merasa aman. Netanyahu tidak sedang mencari solusi, dia sedang mencari cara untuk memastikan bahwa Gaza tidak lagi punya suara untuk membantahnya. Dan dunia, seperti biasa, hanya akan berbisik pelan: “Kami prihatin.”

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *