Opini
Pertahanan Israel Rontok, AS Didesak Bantu atau Bernegosiasi

Di tengah malam yang kelam, saat dunia menahan napas, sebuah proyeksi mengerikan muncul dari akun intelijen open-source, @METT_Project. Mereka memperkirakan bahwa sistem pertahanan rudal Israel bisa runtuh pada hari ke-18 jika Iran terus meluncurkan 50 hingga 70 rudal balistik setiap hari. Ini bukan sekadar statistik dingin yang terpampang di layar. Ini adalah detak jantung konflik yang mengguncang Timur Tengah—mengancam nyawa jutaan orang—dan membuat kita, yang berada jauh di Indonesia, ikut merasakan getirnya.
Konflik ini bukan lagi sekadar ketegangan antara dua negara. Ini adalah pertaruhan besar yang melibatkan apakah Amerika Serikat akan terseret lebih dalam ke dalam pusaran perang terbuka, atau memilih untuk bertahan di jalur diplomasi yang rapuh. Satu per satu laporan berdatangan—peringatan evakuasi dari Teheran, sinyal pembicaraan rahasia, dan pengiriman pasukan tambahan—semuanya menandai tarik-menarik antara kekuatan militer dan diplomasi. Kita, yang pernah merasakan dampak langsung dari krisis minyak atau guncangan ekonomi global, tentu tak bisa lepas dari pertanyaan besar: ke mana arah dunia ini akan bergerak?
Gambaran sistem pertahanan udara Israel yang selama ini dianggap kokoh mulai tampak kelelahan. Arrow, David’s Sling, THAAD—nama-nama yang biasa terdengar dalam perbincangan strategis kini muncul dalam konteks ketahanan yang makin merapuh. Menurut @METT_Project, Israel dan sekutunya memiliki sekitar 950 hingga 1.120 interceptor, namun setiap rudal yang ditembakkan Iran membutuhkan antara 1,2 hingga 1,4 interceptor untuk dihentikan. Secara matematis, ini artinya dalam waktu 10 hingga 15 hari, sistem pertahanan Israel akan mulai membuka celah. Dan pada hari ke-18, rudal-rudal bisa menembus lebih dalam ke jantung wilayahnya. Laporan bahkan sudah menyebut delapan rudal yang berhasil lolos (“leakers“) dan tiga serangan langsung yang menghantam dekat pusat pertahanan di Haifa dan Tel Aviv.
Di Indonesia, kita tentu tidak asing dengan dampak lanjutan dari krisis semacam ini. Ketika harga minyak dunia melonjak 7% pada Mei 2025, kita langsung merasakan dampaknya. Harga BBM naik, biaya logistik membengkak, dan harga kebutuhan pokok ikut merangkak. Konflik ini bukan hanya tentang misil yang terbang ribuan kilometer jauhnya. Ini tentang kehidupan sehari-hari kita—tentang nasi di meja makan dan bensin di motor. Kita hidup di dunia yang saling terhubung, suka tidak suka.
Sementara itu, Amerika Serikat berdiri di titik yang rawan. Di bawah pemerintahan Donald Trump, Gedung Putih menegaskan bahwa kehadiran militernya di kawasan hanya bersifat “defensif.” Dua kapal perusak dengan sistem Aegis serta baterai THAAD telah dikerahkan untuk memperkuat pertahanan Israel. Juru bicara Alex Pfeiffer menekankan bahwa “AS tidak terlibat dalam serangan apa pun.” Menteri Pertahanan Pete Hegseth menambahkan bahwa penambahan pasukan di kawasan CENTCOM bertujuan untuk meningkatkan postur defensif, bukan ofensif.
Namun narasi ini tampaknya mulai retak ketika Trump memposting pernyataan mendesak warga Teheran untuk segera mengungsi—sebuah pernyataan yang ia unggah di Truth Social sebelum meninggalkan KTT G7 di Kanada lebih awal pada 16 Juni 2025. Tak lama setelah itu, laporan tentang ledakan di Teheran muncul ke permukaan. Publik dan analis pun mulai berspekulasi: apakah AS sedang mempersiapkan langkah militer? Di Indonesia, kita menyimak dinamika ini dengan keprihatinan. Kita masih ingat bagaimana retorika perang di Teluk Persia dahulu pernah mengguncang pasar minyak global dan menggetarkan ekonomi nasional.
Di tengah kekhawatiran akan perang, muncul secercah harapan. Laporan dari Al Mayadeen mengungkap bahwa AS sedang mempertimbangkan pembicaraan langsung dengan Iran. Nama Steve Witkoff, utusan khusus AS, disebut-sebut akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam beberapa hari ke depan. Trump—yang selama ini dikenal lebih sebagai negosiator ulung ketimbang diplomat klasik—melihat ini sebagai peluang “membuat kesepakatan.” Ia bahkan menyebut “bunker-busting bombs” sebagai kartu tekanan yang bisa menghancurkan situs nuklir Iran di Fordow.
Namun, pertanyaannya tetap: apakah Iran siap untuk membuka pintu diplomasi? Seorang pejabat AS menyatakan, “Iran ingin bicara,” namun menambahkan, “tapi apakah mereka sudah cukup tertekan untuk itu?” Pertanyaan ini menggantung di udara, seperti kabut polusi pagi di Jakarta. Kita tahu bahwa diplomasi, di mana pun, bukanlah proses yang mulus. Indonesia punya pengalaman panjang dalam mediasi, dari Aceh hingga ASEAN. Kita tahu bahwa niat baik tak selalu cukup. Ego politik, kalkulasi kekuasaan, dan trauma masa lalu bisa membuat meja perundingan menjadi ladang ranjau yang tak kalah berbahaya dari medan perang.
Iran, tentu saja, tak tinggal diam. Araghchi menyebut serangan Israel sebagai “pukulan belum pernah terjadi terhadap diplomasi,” sembari menuding AS sebagai penyokong agresi. Namun, ia juga menegaskan bahwa Iran tidak menutup pintu negosiasi—meski saat ini lebih memilih fokus pada respons militer yang “efektif dan menyakitkan.” Operasi True Promise III, yang menargetkan fasilitas militer dan ekonomi Israel, telah menyebabkan korban jiwa dan kerusakan signifikan, walau sebagian besar rudal berhasil dicegat. Iran tahu benar, seperti halnya kita, bahwa perang jangka panjang akan menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang berat.
Di tengah tekanan ini, muncul dilema besar: akankah Iran bersedia merespons tawaran dialog dari AS? Ataukah, seperti yang dikatakan Araghchi, mereka akan terus memilih jalur perlawanan hingga mendapat pengakuan atas hak mereka? Pertanyaan ini menggaung seperti gema azan dari surau kecil di pelosok Nusantara—mengingatkan kita akan rapuhnya perdamaian dan mudahnya dunia tergelincir ke dalam jurang perang.
Sementara itu, Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu tetap menunjukkan sikap keras. Laporan menyebutkan bahwa serangan balasan Israel menyasar berbagai target di Iran, termasuk fasilitas nuklir, instalasi militer, bahkan wilayah sipil. Netanyahu, yang selama ini dikenal tak pernah gentar dalam menghadapi konflik—baik di Gaza, Lebanon, maupun Suriah—kemungkinan melihat kesempatan ini sebagai momen untuk melemahkan Iran secara permanen. Namun, data dari @METT_Project mengingatkan bahwa bahkan sistem pertahanan tercanggih pun tidak abadi. Tanpa suplai ulang, sistem pertahanan Israel diprediksi akan kolaps dalam waktu kurang dari tiga minggu.
Dampak dari skenario ini akan terasa jauh hingga ke negeri kita. Kita tahu, bahkan konflik kecil di Laut Cina Selatan bisa mengganggu rantai pasok global. Maka bayangkan jika perang besar pecah di Timur Tengah—jalur perdagangan tersendat, harga minyak naik tajam, dan ekonomi kita yang masih dalam tahap pemulihan pascapandemi bisa terhantam habis-habisan.
Komunitas internasional, terutama G7, saat ini berada dalam posisi penting. Meski terpecah dalam banyak isu, sebagian besar anggota G7 mendorong jalan diplomasi. Jepang telah secara terbuka mengutuk serangan Israel, sementara Eropa bersedia memfasilitasi pembicaraan nuklir. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut bahwa AS sudah menawarkan pembicaraan kepada Iran, namun hasilnya masih belum tampak jelas. Di Indonesia, kita memahami betul pentingnya peran mediasi. Kita pernah menjadi penenang luka dalam konflik, tetapi juga paham bahwa mediasi menuntut kompromi—sebuah hal yang sulit dilakukan jika semua pihak merasa dipojokkan.
Maka kini, kita berada di persimpangan sejarah. Apakah dunia akan memilih pena atau pedang? Amerika Serikat punya banyak alasan untuk menghindari perang terbuka: krisis minyak, ketidakstabilan global, risiko politik domestik. Trump, dengan obsesinya terhadap “deal,” tampaknya ingin menekan Iran melalui diplomasi keras tanpa harus mengorbankan nyawa pasukan AS. Iran, meski berani, juga tahu bahwa konflik berkepanjangan hanya akan memperparah tekanan ekonomi internal. Tapi satu variabel tak terduga tetap menjadi faktor kunci: Benjamin Netanyahu. Jika ia bersikeras menyerang dan Iran terus merespons, maka kemungkinan eskalasi makin besar.
Dan kita di Indonesia—meski jauh secara geografis—bukanlah penonton pasif. Kita tahu bahwa satu rudal di Tel Aviv bisa berarti harga beras naik di pasar tradisional kita. Kita tahu bahwa retorika perang bisa berujung pada antrean panjang di SPBU. Karena itu, kita berharap, mendoakan, dan menuntut agar pemimpin dunia memilih jalan yang benar.
Refleksi terakhir, seperti angin malam yang menyapu sawah-sawah di Jawa, membawa renungan yang dalam: apakah umat manusia cukup bijak untuk memilih pena, bukan pedang? Semua laporan—dari rudal yang melesat hingga negosiasi yang tertatih—adalah cermin dari kemanusiaan kita. Dunia bisa saja jatuh dalam pusaran konflik, tetapi selama masih ada suara yang menyerukan damai, masih ada harapan. Kita hanya perlu lebih berani mendengarnya—dan menjadikannya nyata.
Sumber:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/analysis-finds-israeli-missile-defenses-may-crumble-by-day-1
- https://english.almayadeen.net/news/politics/us-seeks-iran-talks-this-week-on-nuclear-deal–ceasefire–ax
- https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-leaves-g7-summit-early-as-israel-iran-war-intensifies
- https://english.almayadeen.net/news/politics/iran-focused-on–effective–response-to-israeli-attacks–ara