Connect with us

Opini

Pergantian Ortagus: Tanda Gagalnya Tekanan AS?

Published

on

Ketika sebuah negeri hancur oleh perang, krisis, dan ketidakpastian, datang tekanan dari luar yang hendak mengatur isi rumahnya. Inilah yang kini dialami Lebanon. Di tengah ketegangan yang tak kunjung surut, kabar dari The Cradle pada 1 Juni 2025 mengguncang percakapan geopolitik: Morgan Ortagus, Wakil Utusan Khusus AS untuk Lebanon, akan segera diganti dan dialihkan ke posisi lain dalam administrasi Trump. Di balik berita ini, tersimpan pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dan nasib Lebanon yang terus terombang-ambing di antara krisis internal dan tekanan eksternal.

Kekhawatiran merayap di benak banyak pihak—terutama di Lebanon, negeri yang telah lama dihantui luka-luka konflik, krisis ekonomi, dan polarisasi politik. Bagaimana mungkin tekanan dari luar, yang dipersonifikasikan oleh Ortagus, berharap dapat membongkar kekuasaan Hizbullah, sementara rakyat Lebanon masih bergelut dengan puing-puing krisis yang tak kunjung pulih? Laporan itu, diperkuat oleh sumber Gedung Putih lewat jurnalis Laura Loomer di platform X, menandakan adanya perubahan arah. Apa yang mendorong langkah ini? Mungkinkah pendekatan tegas Ortagus justru menemui jalan buntu?

Ortagus dikenal luas karena pendekatannya yang keras dan tanpa kompromi. Dalam wawancara dengan Al-Arabiya pada April 2025, ia menyebut Hizbullah sebagai “kanker” yang harus “dipotong” dari tubuh Lebanon. Kata-kata itu tajam, menusuk, dan mencerminkan misi yang ia emban: menekan pemerintah Lebanon untuk melucuti senjata Hizbullah serta kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Kunjungannya ke Istana Baabda, di mana ia secara terbuka menyampaikan terima kasih kepada Israel atas apa yang ia sebut sebagai “kemenangan” atas Hizbullah, justru memperuncing tensi di wilayah yang sudah rapuh. Bayangkan, di tengah krisis ekonomi yang mencengkeram—dengan inflasi meroket dan mata uang yang ambruk—tekanan asing semacam ini terasa seperti menabur garam di atas luka terbuka.

Pengalaman Indonesia sendiri tidak asing dengan tekanan dari luar di masa krisis. Krisis moneter 1998 adalah contoh nyata bagaimana campur tangan eksternal, meskipun kadang dikemas sebagai bantuan, bisa memicu ketidakstabilan yang lebih dalam. Dalam konteks ini, Lebanon menjadi cermin yang memantulkan betapa gentingnya keseimbangan sebuah negara saat beban internal dan tekanan asing saling bertabrakan.

Namun, pendekatan Ortagus tidak berhenti pada retorika belaka. Menurut laporan media Lebanon, Al-Jadeed, ia dijadwalkan mengunjungi Beirut untuk mendorong agenda reformasi ala Amerika Serikat: demarkasi perbatasan, rekonstruksi, pelucutan senjata Hizbullah, serta normalisasi hubungan dengan Israel. Semua itu dibungkus dalam tenggat waktu yang ketat dan ancaman konsekuensi jika tak dipenuhi. Tetapi realitas politik dan sosial di Lebanon jauh lebih kompleks. Hizbullah, meski terbuka untuk dialog dengan pemerintah Lebanon, tetap menolak pelucutan senjata. Mereka menganggap senjata sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional dalam menghadapi ancaman eksternal, terutama dari Israel.

Dalam perspektif ini, senjata bagi Hizbullah bukan sekadar alat kekuasaan, tapi simbol pertahanan dan martabat. Kita di Indonesia mungkin teringat pada masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, ketika perjuangan bersenjata menjadi lambang harga diri dan eksistensi sebuah bangsa. Apakah adil jika sebuah kelompok yang merasa sedang menjaga tanah airnya dianggap sebagai penghalang perdamaian?

Sementara itu, dinamika domestik Lebanon terus bergerak. Laporan Al Jazeera pada 26 Mei 2025 memberi gambaran penting: pemilu kota yang digelar selama empat minggu, dari wilayah Mount Lebanon hingga Beirut, Bekaa, dan Lebanon selatan. Hasilnya mencerminkan paradoks yang menarik. Aliansi Hizbullah-Amal, meski diterpa perang selama 14 bulan dengan Israel dan terus mendapat tekanan pasca-gencatan senjata November 2024, tetap berhasil mengamankan puluhan kursi. Profesor Imad Salamey dari Lebanese American University mencatat bahwa dukungan basis Syiah terhadap Hizbullah “tidak mengalami erosi dramatis.”

Fakta ini mengejutkan banyak pengamat. Setelah begitu banyak tekanan, baik dari luar maupun dari dalam, Hizbullah tetap berdiri kokoh di hati konstituennya. Ini memperlihatkan bahwa kelompok ini bukan sekadar kekuatan militer, tetapi juga kekuatan politik dan sosial yang mengakar. Pengalaman Indonesia mengajarkan bahwa kelompok atau partai yang memiliki basis ideologis dan emosional yang kuat bisa bertahan melewati badai krisis—baik di masa Orde Baru maupun pasca-reformasi.

Namun, gelombang baru juga mulai muncul. Kandidat reformis, yang dikenal sebagai “el-tagheyereen” atau penggerak perubahan, lahir dari semangat protes anti-pemerintah tahun 2019 yang dipicu oleh krisis ekonomi. Mereka mulai memenangkan kursi, bahkan di wilayah Lebanon selatan yang selama ini dianggap benteng kuat Hizbullah. Profesor Salamey mencatat bahwa kandidat Syiah alternatif kini bisa bertarung tanpa intimidasi berarti. Ini mengisyaratkan adanya ruang disensi yang perlahan terbuka di tengah dominasi politik yang selama ini terasa kokoh.

Pertanyaannya: apakah tekanan dari luar, seperti yang dibawa Ortagus, secara tidak langsung justru memicu kebangkitan suara baru? Atau sebaliknya, apakah ini bukti bahwa strategi keras AS tak mampu menggoyahkan kekuatan lokal yang telah mengakar? Refleksi ini mengingatkan pada momen-momen pasca 1998 di Indonesia, ketika gelombang reformasi membuka jalan bagi suara-suara baru. Namun, kita tahu pula bahwa kekuatan lama tidak serta-merta runtuh. Yang terjadi justru tarik-menarik yang panjang dan melelahkan.

Kembali ke sosok Ortagus, penggantiannya—sebagaimana dilaporkan oleh The Cradle—merupakan bagian dari restrukturisasi Dewan Keamanan Nasional AS (NSC). Jurnalis Laura Loomer di X menyebut penggantinya akan diumumkan oleh Steve Witkoff, sementara sejumlah pejabat lain seperti Merav Ceren dan Eric Trager juga akan digeser. Channel 14 Israel menyebut langkah ini sebagai “perkembangan yang tidak menguntungkan bagi Israel”, mengisyaratkan kekhawatiran atas berkurangnya pengaruh pendekatan keras pro-Israel di dalam administrasi Trump.

Pertanyaannya, apakah penggantian ini merupakan pengakuan diam-diam bahwa pendekatan sebelumnya telah menemui jalan buntu? Ketahanan Hizbullah di pemilu, penolakan atas pelucutan senjata, dan meningkatnya suara-suara reformis menunjukkan bahwa tekanan luar belum mampu mengubah dinamika internal Lebanon. Barangkali, di balik langkah ini, tersimpan kesadaran bahwa strategi lama tidak lagi memadai.

Mengapa ini penting bagi kita di Indonesia? Meski secara geografis jauh, kisah Lebanon mencerminkan betapa rapuhnya keseimbangan suatu negara ketika intervensi luar berhadapan dengan resistensi lokal. Kita memiliki sejarah yang tak kalah getir dalam menghadapi campur tangan asing—baik dalam bentuk ekonomi, politik, maupun militer. Krisis 1998 menunjukkan bagaimana tekanan luar bisa memicu gelombang perubahan, tetapi juga membuka luka-luka baru. Lebanon menghadapi dilema serupa, namun dengan taruhan yang lebih tinggi: perang, senjata, dan pertaruhan identitas.

Dalam segala kerumitannya, Hizbullah bukan sekadar aktor militer. Ia telah menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat Syiah Lebanon: sebagai penyedia layanan sosial, sebagai suara politik, dan sebagai simbol perlindungan. Ini yang kerap luput dari pandangan para pengambil kebijakan di Washington. Strategi Ortagus tampak gagal memahami kompleksitas itu.

Refleksi ini mengantar kita pada pertanyaan mendasar: bisakah tekanan eksternal benar-benar mengubah struktur internal sebuah bangsa? Ataukah sebaliknya, setiap bangsa butuh ruang dan waktu untuk menyelesaikan pertarungan narasinya sendiri—antara kekuatan lama, suara-suara baru, dan rakyat yang menanggung beban?

Pemilu lokal Lebanon belum memberi jawaban pasti, tapi membuka gambaran awal tentang arah masa depan. Partai lama masih berjaya, tapi benih perubahan mulai tumbuh. Di sisi lain, penggantian Ortagus bisa dilihat sebagai isyarat bahwa AS tengah mempertimbangkan pendekatan baru—mungkin lebih lunak, mungkin lebih cerdik.

Namun, apakah pendekatan baru itu akan berhasil? Atau akan kembali gagal membaca denyut nadi rakyat Lebanon?

Kita, dari kejauhan, hanya bisa menyimak dan belajar. Indonesia pernah melalui badai: revolusi, reformasi, krisis. Kita tahu bahwa stabilitas sejati tidak lahir dari tekanan semata, tapi dari upaya membangun keseimbangan antara kekuatan lama dan harapan baru. Lebanon, dengan puing-puing perang dan suara-suara yang mulai terpecah, menyuguhkan pelajaran penting: sebuah bangsa hanya bisa bangkit jika diberi ruang untuk menyembuhkan diri. Dan mungkin, hanya rakyatnya sendiri yang tahu bagaimana caranya.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *