Opini
Perempuan Gaza: Perlawanan dalam Derita

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Di bawah langit Gaza yang dipenuhi asap dan debu, ada kisah yang terlalu pedih untuk diabaikan. Seperti yang dilaporkan oleh Middle East Eye pada 14 Desember 2024, perempuan Gaza adalah saksi sekaligus korban dari agresi kejam Israel. Mereka kehilangan segalanya: rumah, keluarga, dan masa depan. Tetapi dari kehancuran itu, mereka terus berdiri, melawan dengan apa yang tersisa—keberanian dan harapan.
Tidak hanya Linah Alradiya, gadis muda yang bermimpi menjadi atlet, tetapi juga Hind Sabri, seorang ibu yang kehilangan ketiga anaknya dalam satu malam yang mematikan. Hind kini tinggal di antara puing-puing, mencoba memahami bagaimana hidupnya berubah begitu cepat. Ia tidak memiliki rumah untuk pulang, tetapi yang lebih menyakitkan adalah tidak ada lagi tawa anak-anaknya yang menyambutnya. “Saya hanya ingin mereka kembali,” katanya, suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara pesawat tempur yang melintas di atas kepala.
Kemudian ada Sarah Mahmoud, seorang guru yang memilih tinggal di Gaza meskipun tahu nyawanya setiap saat terancam. Ketika sekolah tempatnya mengajar dihancurkan, Sarah tetap berkumpul dengan murid-muridnya di taman yang sudah hancur. Dengan kertas dan pensil yang ia kumpulkan dari reruntuhan, ia terus mengajar, berusaha memberikan secercah harapan kepada anak-anak Gaza. “Mereka ingin kita bodoh. Mereka ingin kita menyerah. Tapi saya tidak akan membiarkan itu terjadi,” katanya dengan mata yang penuh tekad.
Di Gaza, perempuan seperti Hind dan Sarah tidak hanya bertahan. Mereka melawan. Melawan rasa takut, melawan kehancuran, dan melawan keputusasaan yang coba dipaksakan kepada mereka. Dalam dunia yang sering kali menutup mata terhadap penderitaan Gaza, mereka adalah simbol perlawanan yang sesungguhnya.
Namun, ini bukan sekadar cerita tentang penderitaan. Ini adalah kisah keberanian luar biasa dari mereka yang tidak memiliki apa-apa tetapi memberikan segalanya. Ketika dunia sibuk dengan urusan-urusan lain, perempuan Gaza mengangkat reruntuhan, mencari kehidupan di bawah puing-puing, dan membangun kembali apa yang dihancurkan.
Apa yang terjadi di Gaza bukanlah konflik; ini adalah agresi brutal rezim Israel. Perempuan Gaza tidak hanya menjadi korban. Mereka adalah barisan terdepan dalam perjuangan mempertahankan kehidupan. Mereka mungkin tidak memiliki senjata, tetapi keberanian mereka adalah peluru paling tajam yang tidak bisa dihancurkan oleh bom atau rudal apa pun.
Di antara puing-puing rumah, sekolah, dan rumah sakit, ada suara-suara yang terus memanggil kita untuk tidak tinggal diam. Suara-suara itu bukan seruan meminta belas kasih, tetapi pengingat bahwa kemanusiaan seharusnya tidak pernah mati.
Kepada dunia, perempuan Gaza tidak meminta apa-apa. Tetapi setiap napas yang mereka ambil di tengah reruntuhan adalah bukti bahwa mereka menolak tunduk. Dan pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus membiarkan mereka berdiri sendirian?