Opini
Perdamaian Versi Trump: Ancaman dalam Balutan Gencatan

Israel menyatakan telah menyetujui “syarat-syarat yang diperlukan” untuk mengakhiri perang di Gaza selama 60 hari. Pernyataan ini bukan datang dari juru bicara resminya, bukan pula dari lembaga internasional, melainkan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mengumumkannya melalui akun Truth Social. Tak ada dokumen publik, tak ada konferensi pers bersama, dan tentu saja, tak ada rincian soal syarat apa yang dimaksud. Yang ada hanyalah satu kalimat penuh tekanan: “Saya harap Hamas menerima tawaran ini, karena tidak akan ada yang lebih baik—HANYA AKAN LEBIH BURUK.”
Ucapan itu tidak terdengar seperti ajakan damai, melainkan ultimatum. Ancaman halus dengan nada superior, seolah gencatan senjata adalah karunia dari atas, bukan hasil dari proses yang jujur dan adil. Tetapi Gaza bukan wilayah kosong yang bisa diputuskan nasibnya dari meja perundingan yang tidak diketahui siapa pesertanya. Gaza adalah reruntuhan hidup. Di atas puing-puing bangunan yang runtuh, lebih dari 56.647 warga Palestina telah kehilangan nyawa sejak Oktober 2023—kebanyakan dari mereka adalah warga sipil, anak-anak, perempuan, dan lansia, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza.
Gencatan senjata kali ini tampak seperti siasat yang pernah dimainkan sebelumnya. Pada 18 Maret 2025, gencatan yang difasilitasi AS dan beberapa negara Arab juga gagal, bahkan sebelum menyelesaikan tahap pertamanya. Israel kembali menggempur Gaza dengan dalih “serangan pre-emptive” untuk mencegah serangan Hamas yang katanya sedang mempersiapkan kekuatan. Narasi itu berulang, tapi yang mati tetaplah warga sipil. Pertanyaannya: mengapa dunia masih menganggap serius gencatan-gencatan yang dari awal tak pernah dimaksudkan untuk dihormati?
Yang mencolok dari pernyataan Trump bukan hanya tidak adanya kejelasan, tetapi juga polanya. Trump bukan pertama kali membuat klaim sepihak atas keberhasilan diplomatik. Ia mengaku telah mendamaikan Iran dan Israel pada akhir Perang 12 Hari—padahal Iran sendiri tidak pernah diajak bicara. Tak ada pertemuan, tak ada draf, bahkan tak ada pengakuan dari Teheran. Dalam konflik Rusia dan Ukraina, Trump menyebut dirinya “penengah”, namun terus mendorong pengiriman senjata ke Kyiv, memperkuat posisi Amerika sebagai pihak dalam konflik, bukan mediator. Ia juga pernah mengklaim mendamaikan India dan Pakistan—yang segera dibantah keras oleh pemerintah Pakistan.
Kini, gilirannya Gaza yang menjadi panggung klaim itu. Tapi Gaza bukan Iran. Gaza tak memiliki kekuatan untuk melawan propaganda. Ia terlalu lemah untuk menolak gencatan yang sepihak. Terlalu hancur untuk menentukan jalannya sendiri. Jika gencatan senjata diumumkan tanpa melibatkan pihak yang diserang, tanpa transparansi isi kesepakatan, tanpa pengawasan internasional, maka itu bukan perundingan, tapi penyerahan paksa.
Masalahnya tidak berhenti pada isi perjanjian yang tak jelas, tapi juga pada ketidaksinkronan dalam tubuh pemerintahan Israel sendiri. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, secara terbuka menolak gencatan senjata. Menurutnya, “tidak boleh ada perundingan, tidak boleh ada mediasi,” dan perang harus berakhir dengan kemenangan total. Ia bahkan menyebut bahwa tidak ada bahaya yang lebih besar bagi masa depan Israel selain menghentikan operasi ini sebelum mencapai “kemenangan absolut”. Jika suara seperti ini dominan dalam kabinet, mungkinkah ada gencatan senjata yang benar-benar dihormati?
Di saat para pemimpin membicarakan perdamaian di meja-meja diplomasi, kenyataan di lapangan justru menunjukkan hal yang berlawanan. Serangan udara Israel masih berlangsung. Di Khan Younis, 37 warga sipil dilaporkan tewas akibat serangan Selasa pagi. Di Gaza City dan Jabaliya, Komite Palang Merah Internasional melaporkan puluhan kematian hanya dalam waktu 36 jam. Rumah-rumah luluh lantak. Anak-anak mencari makanan di antara puing. Orang tua mengangkat kantong mayat. Dan para petugas medis—yang tersisa sedikit saja—harus memilih siapa yang masih bisa diselamatkan, dan siapa yang tak akan tertolong.
Bahkan distribusi bantuan pun kini berubah menjadi ladang kematian. Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga distribusi bantuan yang dibentuk dengan dukungan Israel dan AS, menjadi sasaran kritik keras dari 169 organisasi kemanusiaan internasional. Amnesty International, Save the Children, Oxfam, dan ratusan lainnya mendesak agar sistem ini dihentikan. Mereka menyebutnya “mematikan”—bukan karena sistem logistiknya buruk, tetapi karena terlalu banyak warga sipil tewas saat mengakses bantuan. Dalam dua bulan terakhir, lebih dari 400 warga Palestina tewas saat mencari makanan.
Apakah gencatan senjata 60 hari akan memperbaiki situasi? Atau justru menjadi jeda sementara bagi Israel untuk mengatur ulang kekuatan militernya, seperti dalam gencatan-gencatan sebelumnya? Hamas sendiri menyatakan siap menerima setiap proposal yang menjamin tiga hal: gencatan senjata permanen, penarikan penuh pasukan Israel, dan diakhirinya blokade total atas Gaza. Namun sejauh ini, tidak satu pun dari tuntutan itu yang diakomodasi secara jelas dalam pernyataan Trump. Bahkan, menurut sumber CNN, Hamas belum secara resmi menerima atau mengetahui isi proposal. Bagaimana mungkin ada kesepakatan jika satu pihak bahkan belum melihat isi drafnya?
Narasi perdamaian tanpa transparansi adalah narasi yang berbahaya. Ia tidak menyelesaikan konflik, tapi menambah ketidakpercayaan. Dunia internasional tidak bisa terus membiarkan proses perdamaian digiring oleh satu negara, satu suara, dan satu agenda. Jika niat damai itu tulus, maka semua pihak harus diajak bicara. Proposal harus diumumkan terbuka. Mekanisme implementasi harus dikawal oleh badan independen seperti PBB. Dan yang terpenting, warga sipil harus dilindungi secara konkret, bukan hanya dijadikan bahan pernyataan diplomatik.
Apa sebenarnya makna dari semua ini bagi Trump? Mungkinkah ini bagian dari ambisi untuk mengukir namanya sebagai juru damai global? Ataukah ini hanya strategi kampanye dan pencitraan internasional, mengingat kegagalan diplomatiknya dalam isu-isu besar sebelumnya? Dalam semua konflik yang ia klaim sebagai “keberhasilan” perdamaiannya, pola yang muncul selalu sama: pengumuman sepihak, tanpa proses transparan, dan akhirnya tak berdampak nyata bagi perdamaian jangka panjang.
Pada akhirnya, Gaza tidak butuh gencatan simbolik. Gaza tidak butuh dikasihani. Gaza butuh keadilan. Butuh penghentian kekerasan secara menyeluruh. Butuh sistem bantuan yang manusiawi dan tidak dipolitisasi. Butuh pengakuan bahwa mereka bukan hanya korban statistik, melainkan manusia dengan martabat dan hak. Jika 60 hari ke depan hanya akan menjadi jeda untuk pembantaian berikutnya, maka dunia sekali lagi gagal memahami makna perdamaian.
Gencatan senjata sejati tidak datang dari ultimatum. Ia datang dari pengakuan akan kesetaraan manusia. Jika dunia benar-benar ingin melihat akhir dari perang ini, maka ia harus berhenti memuja pernyataan simbolik dan mulai mendesak keadilan nyata. Sebab jika tidak, Gaza hanya akan terus berdarah—dengan atau tanpa pengumuman gencatan.
Sumber: