Connect with us

Opini

Perdamaian Tanpa Keadilan: Suara Iran yang Dibelokkan

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin bising, seruan diplomasi dari tokoh-tokoh Eropa seperti Kaja Kallas—Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa—dan Keir Starmer, Perdana Menteri Inggris, terdengar seperti angin sepoi yang sekilas menenangkan, namun tak cukup untuk meredakan badai. Seruan itu datang menyusul serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran. Kallas melalui unggahan di platform X kembali menegaskan narasi lama: “Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.” Sebuah pengulangan retorika yang tak asing, namun tetap memunculkan kegelisahan: mengapa Iran, yang diserang, kembali diposisikan sebagai ancaman? Sementara agresor nyaris tak tersentuh kritik.

Laporan dari Al Mayadeen dan The Cradle membongkar lapisan-lapisan konflik yang kerap luput dari lensa media arus utama. Laporan ini mengajak kita—termasuk masyarakat Indonesia yang dikenal mendambakan perdamaian—untuk berhenti sejenak dan merenungkan ulang: di tengah desakan menuju meja perundingan, di mana keadilan hendak ditempatkan?

Serangan udara Amerika Serikat ke situs Fordow, Natanz, dan Isfahan diumumkan secara terbuka oleh Presiden Donald Trump pada 22 Juni 2025. Ia menyebutnya sebagai “operasi yang sangat sukses.” Tapi serangan ini bukan insiden tunggal. Ia merupakan kelanjutan dari gelombang agresi Israel pada 13 Juni yang menghantam upaya perundingan damai di Oman. Serangan itu menewaskan sejumlah tokoh penting: komandan IRGC, ilmuwan nuklir, hingga warga sipil Iran. Salah satu serangan bahkan menghantam pemukiman di utara Teheran, menewaskan 60 orang, termasuk 20 anak-anak.

Angka-angka ini, sebagaimana dilaporkan Al Mayadeen, tak sekadar statistik. Ia adalah potret nyata dari tragedi yang menghancurkan keluarga, harapan, dan kemanusiaan. Bayangkan jika kejadian serupa terjadi di Aceh atau Surabaya, di mana masjid atau sekolah dibom. Apakah kita cukup mengatakan “semua pihak harus menahan diri?”

Iran, sebagai negara penandatangan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), telah lama menegaskan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan damai. Pengawasan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) terus berlangsung. Bahkan, Pemimpin Tertinggi Iran, Sayyid Ali Khamenei, telah mengeluarkan fatwa tegas yang melarang produksi maupun penggunaan senjata nuklir. Namun dunia tampaknya memilih tuli terhadap fakta-fakta ini.

Dalam konferensi di Jenewa, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyampaikan sikap resmi negaranya: “Tidak akan ada ruang untuk diplomasi hingga agresi Israel dihentikan dan para pelakunya diadili.” Ia menyebut serangan terhadap fasilitas nuklir yang berada di bawah pengawasan IAEA sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.

Bagi sebagian pihak, sikap ini mungkin terdengar konfrontatif. Namun di Indonesia sendiri, suara-suara perdamaian seperti dari NU, Muhammadiyah, dan tokoh agama seperti Quraish Shihab telah lama bergema, menyampaikan doa agar Timur Tengah kembali tenteram. Tapi suara damai ini kerap terdengar seperti menyeimbangkan dua pihak yang sama-sama bersalah. Padahal, data dari The Cradle memperjelas bahwa Iran berada dalam posisi merespons—bukan memulai—konflik. Perundingan damai di Oman bahkan telah mencapai putaran keenam sebelum dihancurkan oleh serangan Israel. Apakah ini bukan bentuk ketimpangan yang pantas kita kritisi?

Sementara itu, Eropa melanjutkan desakannya. Starmer menuding program nuklir Iran sebagai “ancaman besar terhadap keamanan global,” tanpa menyinggung latar belakang agresi yang justru menggagalkan diplomasi. Jerman, melalui Friedrich Merz, meminta Iran untuk kembali berunding, sembari menyebut serangan AS telah merusak sebagian besar program nuklir Iran. Anehnya, tak ada satu pun pernyataan tentang legalitas serangan itu. Prancis, melalui Jean-Noël Barrot, mengambil posisi ambigu: menegaskan ketidakterlibatan dalam serangan namun tetap menyerukan diplomasi dalam kerangka NPT. Sementara Italia, melalui Menteri Pertahanan Guido Crosetto, lebih realistis dengan memperingatkan risiko balasan Iran terhadap kepentingan AS.

Kontradiksi ini mencolok. Eropa seolah menyerukan perdamaian, namun menutup mata terhadap agresi yang menjadi penyebab utama konflik. Mengapa keadilan untuk Iran selalu dinomorduakan?

Indonesia memiliki warisan panjang dalam membela keadilan internasional. Presiden Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung secara lantang menolak kolonialisme dan menyerukan solidaritas bagi bangsa-bangsa tertindas. Seruan tokoh-tokoh agama kita hari ini, seperti Quraish Shihab, mencerminkan semangat yang sama. Namun, jika narasi perdamaian dilepaskan dari konteks, ia justru menyamarkan fakta bahwa Iran sedang menjadi korban agresi. Jika kejadian serupa menimpa Palestina atau Aceh, apakah kita cukup menyerukan “damai” tanpa menuntut pertanggungjawaban?

Ketimpangan semakin nyata jika melihat posisi Israel. Negara tersebut bukan penandatangan NPT, namun memiliki arsenal nuklir yang tak diakui dan tak diawasi. Iran, sebaliknya, tunduk pada mekanisme internasional. Namun narasi dominan justru menggambarkan Iran sebagai ancaman. Laporan The Cradle bahkan mencatat bahwa AS dan Israel pernah mengancam keselamatan Sayyed Ali Khamenei—sebuah pelanggaran besar terhadap hukum internasional. Namun nama-nama seperti Kallas, Starmer, atau Merz tak menyebut ancaman ini sedikit pun.

Media Indonesia pun, tak jarang, terjebak dalam narasi Barat. Masyarakat diajak memandang Iran sebagai aktor keras kepala yang menolak berdamai. Padahal, Araghchi sudah jelas menyatakan bahwa Iran terbuka untuk diplomasi—setelah agresi berhenti. Logikanya sederhana: siapa pun akan menolak berunding saat rumahnya baru saja dibom.

Peringatan akan risiko eskalasi bukan tanpa dasar. Iran, menurut laporan Al Mayadeen, kemungkinan besar akan membalas serangan AS. Dan seperti kita tahu, konflik di Timur Tengah bisa berdampak global: kenaikan harga minyak, gangguan jalur perdagangan, dan ketegangan geopolitik yang merembet hingga ke Asia Tenggara.

Namun, menyerukan perundingan tanpa membahas akar masalah justru memperpanjang ketidakadilan. Iran menegaskan haknya untuk membela diri, sebagaimana dijamin dalam Pasal 51 Piagam PBB. Jika Indonesia mengalami serangan serupa, mungkinkah kita hanya menyerukan “tenang dan damai” tanpa menuntut keadilan?

Pertanyaan penting pun muncul: mengapa dunia, termasuk kita di Indonesia, begitu cepat menyerukan diplomasi, namun lambat menuntut akuntabilitas? Serangan ke fasilitas nuklir Iran yang menewaskan puluhan anak bukan sekadar angka. Ia adalah tragedi nyata. Di Jenewa, Araghchi menyayangkan kegagalan Eropa dalam mengecam agresi Israel. Kritik ini layak dipertimbangkan.

Indonesia memiliki tradisi musyawarah. Namun musyawarah yang adil hanya dapat terjadi jika semua pihak didengar dan dihargai. Dalam kasus ini, suara Iran seolah dibungkam oleh dentuman roket dan bisu diplomasi sepihak.

Sebagai penutup, penting untuk ditegaskan: perdamaian dan keadilan bukan dua kutub yang saling menegasikan. Perdamaian sejati justru dibangun di atas keadilan. Iran, melalui ketegasan Araghchi, menunjukkan bahwa ruang diplomasi tetap terbuka—namun bkan di bawah ancaman. Indonesia dapat memainkan peran penting dalam menciptakan narasi yang lebih berimbang: mendukung upaya damai, namun tetap berani menuntut pertanggungjawaban dari agresor.

Fakta-fakta dari Al Mayadeen dan The Cradle telah cukup memberi kita alasan untuk bersuara lebih tegas. Pertanyaannya kini: apakah kita siap mendengar suara keadilan di tengah riuhnya seruan perdamaian? Atau, apakah kita akan terus menyederhanakan konflik dengan mengatakan “kedua belah pihak sama-sama salah,” padahal kenyataannya tidak demikian!

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *