Connect with us

Opini

Perang Yaman: Jalan Buntu Baru bagi Amerika Serikat

Published

on

Ledakan mengguncang kawasan Shaab al-Hafa di Sanaa. Asap mengepul dari puing-puing rumah warga, sementara teriakan dan tangis anak-anak membelah udara. Di antara kepulan debu dan reruntuhan, tubuh-tubuh tak bernyawa dievakuasi; sebagian masih memeluk sisa-sisa perayaan Idul Fitri yang berubah menjadi tragedi. Serangan udara Amerika Serikat yang menyasar wilayah itu menewaskan empat warga sipil dan melukai 16 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Peristiwa ini bukan sekadar insiden. Ia adalah cermin dari kegagalan strategis yang mulai tampak dalam kampanye militer AS terhadap Ansar Allah (Houthi) di Yaman—sebuah kegagalan yang kini mengulang pola yang pernah dialami oleh koalisi Saudi dan UEA.

Serangan tersebut merupakan bagian dari Operation Rough Rider yang diluncurkan sejak 15 Maret. Dalam tiga minggu, hampir satu miliar dolar dihabiskan, menurut CNN. Namun, fasilitas dan arsenal bawah tanah Houthi tetap utuh, menunjukkan bahwa keunggulan teknologi dan kekuatan senjata tidak serta-merta menghasilkan kemenangan. Apa yang membuat negara adidaya seperti AS terancam tersandung di medan yang sama, di mana Saudi dan UEA pernah tertatih?

Bayangkan: sebuah negara dengan kemampuan meluncurkan rudal presisi dari ribuan kilometer gagal membedakan antara pertemuan militan dan perayaan keagamaan. Dua hari sebelum serangan di Sanaa, Donald Trump mengunggah video serangan udara yang diklaim menewaskan banyak pejuang Houthi di Hodeidah. “Oops,” tulisnya, seolah membenarkan keabsahan target. Namun sumber Saba membantah: itu bukan operasi militer, melainkan perayaan Idul Fitri. Foto-foto yang beredar menampilkan anak-anak dan warga sipil dalam suasana gembira, bukan kelompok bersenjata. Ini mengingatkan dunia pada insiden di Kabul, 2021, saat drone AS membunuh 10 warga sipil karena mengira wadah air sebagai bom. Salah tafsir intelijen semacam ini menjadi jebakan pertama yang kini mengintai AS.

Koalisi Saudi dan UEA pernah mengalami hal serupa. Sejak 2015, mereka melancarkan perang habis-habisan terhadap Houthi, dengan dukungan logistik dan senjata dari AS dan Inggris. Sekitar 150.000 tentara Saudi dan 10.000 pasukan UEA pernah dikerahkan. Namun, kota-kota kunci seperti Sanaa dan Hodeidah tak pernah berhasil ditaklukkan. Bahkan dalam Pertempuran Hodeidah 2018, meskipun koalisi nyaris mencapai pelabuhan, kekuatan Houthi bertahan hingga akhirnya muncul Perjanjian Stockholm. Kini, AS menghadapi musuh yang sama, dengan medan yang sama, dan intelijen yang tampaknya tak jauh berbeda rapuhnya.

Medan perang di Yaman bukan ladang yang bisa ditaklukkan hanya dengan bom pintar atau drone canggih. Pegunungan terjal, padang gurun luas, dan jaringan bunker bawah tanah menjadi labirin yang sulit diterobos oleh kekuatan konvensional. Serangan udara AS di Kamaran Island dan Sanaa dilaporkan gagal menjangkau target strategis. Rudal dan drone Houthi tetap aktif. Mereka bahkan berhasil menyerang dua kapal perusak AS di Laut Merah dan meluncurkan rudal ke arah Tel Aviv pada 7 April, menurut laporan Xinhua. Ini bukan sekadar keberanian militer, melainkan buah dari adaptasi atas kegagalan musuh sebelumnya.

Lebih dari sekadar kekuatan fisik, Houthi memiliki fondasi ideologis yang kuat. Brigadir Jenderal Yahya Saree, juru bicara Angkatan Bersenjata Yaman (YAF), menegaskan bahwa serangan terhadap zionis dan AS akan berlanjut hingga agresi terhadap Gaza dihentikan. Di mata sebagian besar masyarakat Yaman dan banyak simpatisan regional, sikap ini memberi mereka legitimasi moral. Ketika serangan AS justru membunuh warga sipil—92 orang tewas dan 165 luka-luka sejak Maret menurut data Kementerian Kesehatan Yaman—narasi Houthi sebagai korban imperialisme justru semakin kokoh. Ini pola yang sama dialami Saudi dan UEA: makin banyak korban sipil, makin besar dukungan lokal untuk Houthi, dan makin mustahil mencapai kemenangan strategis.

Faktor eksternal turut memperumit konstelasi konflik. Houthi diduga mendapat dukungan dari Iran—berupa rudal, drone, dan pelatihan. Serangan terhadap kapal induk USS Harry S. Truman di Laut Merah menunjukkan bahwa mereka kini punya kapabilitas maritim yang tak bisa diremehkan. Koalisi Saudi/UEA gagal memutus jalur suplai ini, meski pelabuhan Hodeidah diblokade. AS, dengan pangkalan militer di Djibouti dan armada kapal induk, masih menghadapi tantangan logistik serupa. Laut Merah kini bukan lagi jalur aman. Serangan dari darat di wilayah Saudi atau dari udara melalui Aden akan membutuhkan waktu, perhitungan, dan menghadapi risiko besar.

Biaya yang membengkak menambah absurditas situasi ini. Dalam tiga minggu, AS telah menghabiskan hampir satu miliar dolar. Saudi diperkirakan telah menghabiskan lebih dari $100 miliar sejak 2015 tanpa hasil berarti. Tanpa strategi yang benar-benar mampu menghancurkan Houthi—bukan sekadar melemahkan—pengeluaran ini hanya menjadi pemborosan. Houthi tak bergantung pada infrastruktur ekonomi formal yang bisa disanksi. Mereka bertahan lewat ketangguhan komunitas lokal dan jaringan akar rumput. Ini adalah konflik asimetris, di mana kekuatan konvensional seperti militer AS justru sering kali tidak relevan.

Mengerahkan pasukan darat bukan solusi—justru bisa menjadi bumerang. Ribuan pasukan Saudi dan UEA telah gagal karena taktik gerilya Houthi yang memanfaatkan pegunungan, ranjau, dan serangan mendadak. Pasukan AS, meski dilengkapi teknologi termutakhir dan pelatihan elit, mungkin saja merebut Sanaa atau Hodeidah. Tapi mempertahankannya? Itu cerita lain. Afghanistan menjadi peringatan keras: setelah dua dekade dan triliunan dolar, Taliban tetap berdiri. Houthi bisa saja menarik diri ke daerah terpencil, menunggu, lalu kembali merebut ruang saat musuh kehilangan semangat dan dana.

Ada pula faktor politik domestik AS yang tak bisa diabaikan. Korban sipil di Sanaa atau Hodeidah bukan hanya menciptakan tekanan internasional, tapi juga membangkitkan penolakan di dalam negeri. Seperti halnya di Afghanistan, opini publik yang muak dengan perang tanpa ujung bisa menjadi pemicu penarikan pasukan. Bagi rakyat Amerika, Houthi bukanlah ancaman eksistensial. Tanpa legitimasi publik, perang macam ini tak bisa berlangsung lama.

Dan akhirnya, pertanyaan tentang “kemenangan” itu sendiri menjadi kabur. Jika tujuannya menghentikan serangan Houthi ke Israel dan kapal AS, maka invasi darat pun belum tentu efektif. Houthi bisa terus melancarkan serangan dari lokasi tersembunyi. Jika tujuannya menggulingkan Houthi, siapa yang akan menggantikan mereka? Saudi gagal membentuk pemerintahan alternatif. AS, jika mencoba jalur yang sama, akan menghadapi rawa politik yang sama dalam.

Lalu mengapa AS berpotensi gagal seperti Saudi dan UEA? Karena intelijen yang rapuh membuat mereka menembak dalam gelap. Karena medan Yaman tak bisa ditaklukkan hanya dengan kekuatan udara. Karena Houthi bukan sekadar milisi bersenjata, tapi kekuatan ideologis dan komunitas yang solid. Karena perang ini bukan tentang siapa yang memiliki senjata lebih canggih, tetapi siapa yang punya ketahanan lebih dalam. Dan karena, seperti yang dibuktikan sejarah, kekuatan imperialis akan selalu kalah ketika berhadapan dengan perlawanan yang tumbuh dari tanah yang mereka injak.

*Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/4-martyrs–16-injuries-in-us-aggression-on-house-in-sanaa–y

https://english.almayadeen.net/news/politics/yaf-attack-military-targets-in-occupied-yafa–red-sea–saree

https://english.news.cn/20250408/2558fbf6b8254ce28353f7c2fe7200f9/c.html

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *