Connect with us

Opini

Perang terhadap Jurnalis, Haruskah Kita Diam?

Published

on

Lampu kamera padam. Suara mikrofon hening. Layar televisi hitam. Itu bukan sekadar simbol protes ratusan media internasional, tetapi potret masa depan yang sedang digiring ke hadapan kita: dunia tanpa saksi, dunia tanpa cerita, dunia tanpa kebenaran. Hampir 200 media dari 50 negara memilih untuk “menghilang” sejenak dari halaman depan mereka demi menyampaikan satu pesan yang menyesakkan: jurnalis sedang dibantai, dan jika terus begini, tak akan ada lagi yang tersisa untuk memberi tahu kita apa yang sebenarnya terjadi.

Lebih dari 210 jurnalis terbunuh sejak Oktober 2023 di Gaza, angka yang membuat perang ini menjadi kuburan terbesar bagi pekerja media dalam sejarah modern. Nama-nama mereka berserakan seperti catatan yang tercecer di antara reruntuhan: Hamza al-Dahdouh, Fatma Hassona, Anas al-Sharif. Mereka bukan sekadar penulis berita, mereka adalah mata yang masih terbuka di tengah pekatnya debu. Namun, mata itu kini dipaksa tertutup. Apakah ini sekadar kebetulan? Atau memang ada tangan yang dengan sadar menargetkan saksi sejarah agar cerita perang bisa dikubur bersama jasad mereka?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa kita tahu jawabannya. Ketika serangan udara menghantam kompleks media di al-Nasser dan menewaskan lima jurnalis sekaligus, di situ tak ada lagi alasan “salah sasaran.” Ketika enam jurnalis dibunuh dalam satu serangan sebelumnya, rasanya terlalu naif jika kita masih berpikir ini hanya konsekuensi perang. Bahkan Reporters Without Borders menyebutnya terang-terangan sebagai war on journalism. Perang melawan jurnalisme. Bayangkan absurditas ini: senjata bukan hanya ditujukan pada milisi bersenjata, tetapi juga pada mereka yang memegang pena dan kamera.

Ironinya, di luar sana masih ada sebagian jurnalis yang merasa aman. Mereka duduk nyaman di kantor berpendingin udara, menulis analisis panjang lebar seakan tragedi Gaza hanya milik orang lain. “Your war, not my war,” begitu seolah-olah bisikan tak terdengar yang mengendap di ruang redaksi. Mereka lupa, profesi ini tidak mengenal batas geografis. Jika hari ini jurnalis di Gaza dibungkam, besok bisa saja giliran jurnalis di Jakarta, Manila, atau New York yang menjadi target. Jurnalisme bukan pekerjaan lokal, ia adalah garis depan global dalam melawan kebohongan.

Tentu, masih ada yang bersuara. Ratusan media dunia yang rela menghitamkan halaman depan mereka adalah bukti bahwa nurani belum sepenuhnya mati. Avaaz, IFJ, dan RSF mencoba mengguncang dunia dengan pesan sederhana: tanpa jurnalis, tak ada yang tersisa untuk bercerita tentang kelaparan, tentang pengungsian, tentang genosida yang disamarkan menjadi “operasi militer.” Namun mari jujur, dukungan itu masih jauh dari cukup. Terlalu banyak media besar yang memilih berhati-hati, takut kehilangan akses, takut terseret arus politik, atau mungkin sekadar takut kehilangan iklan.

Kita semua tahu, jurnalis bukan malaikat. Mereka juga bisa bias, bisa salah, bisa tergoda kepentingan. Tetapi di medan perang, jurnalis adalah satu-satunya jembatan antara tragedi dan kesadaran global. Ketika jembatan itu dihancurkan, yang tersisa hanyalah jurang gelap tempat kebenaran jatuh dan tak pernah kembali. Kita yang tinggal jauh dari Gaza mungkin berpikir, “ah, itu hanya di sana.” Tapi ingat, pembungkaman ini bukan sekadar soal Palestina. Ini ujian bagi seluruh dunia: apakah kita rela kebenaran ditentukan oleh bom dan peluru, bukan oleh catatan tangan dan lensa kamera?

Ada satu ironi pahit: dunia lebih ribut ketika satu atau dua jurnalis asing terluka di medan perang lain, tapi ratusan jurnalis Palestina terbunuh tanpa membuat geger yang setara. Apakah nyawa mereka kurang berharga? Apakah suara mereka dianggap terlalu lokal untuk didengar global? Sikap ganda ini hanya memperdalam luka. Saya tidak bisa tidak merasa bahwa sebagian media dunia secara diam-diam membiarkan pembantaian ini berjalan, asalkan tidak mengganggu kenyamanan mereka sendiri.

Bayangkan jika di Indonesia, semua media lokal yang meliput bencana atau konflik tiba-tiba lenyap. Tak ada lagi berita tentang banjir bandang, tak ada lagi laporan investigasi korupsi, tak ada lagi wajah-wajah korban kecelakaan yang mengingatkan kita pada rapuhnya hidup. Apa yang tersisa? Propaganda. Hanya satu versi realitas, versi mereka yang berkuasa. Itulah yang sedang berlangsung di Gaza: sebuah eksperimen besar-besaran untuk menunjukkan bagaimana dunia bisa dibentuk ulang jika jurnalis dilenyapkan.

Kematian seorang jurnalis selalu personal. Ia bukan sekadar kehilangan bagi industri pers, tapi juga bagi keluarga yang menunggu di rumah, bagi anak-anak yang tak lagi mendengar cerita sebelum tidur. Namun di Gaza, kematian itu sudah menjadi massal. Satu generasi jurnalis Palestina hampir musnah. Siapa yang akan menggantikan mereka? Siapa yang akan melanjutkan cerita ketika saksi terakhir sudah tiada? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui saya, dan seharusnya juga menghantui kita semua.

Kita sering mengutip pepatah: pena lebih tajam daripada pedang. Tapi kini kita melihat, pedang tidak hanya melawan pedang, pedang juga melawan pena. Bedanya, pedang membunuh seketika, sedangkan lenyapnya pena membunuh ingatan. Dunia tanpa jurnalis adalah dunia tanpa cermin. Kita tidak lagi bisa melihat wajah kita yang sebenarnya, hanya bayangan buram yang dipoles propaganda.

Saya tidak sedang menyeru agar semua orang turun ke jalan. Tetapi saya percaya, sikap diam adalah bentuk persetujuan terselubung. Diam berarti kita rela hidup dalam kebohongan yang disusun rapi. Diam berarti kita menerima bahwa suara korban bisa dikubur begitu saja. Diam berarti kita mengkhianati profesi jurnalisme itu sendiri.

Perang terhadap jurnalis bukan sekadar isu Palestina. Ini persoalan kita bersama. Jika kita biarkan, maka kita sedang menandatangani kontrak bunuh diri bagi kebebasan pers di seluruh dunia. Dan ketika tiba saatnya kamera terakhir padam, pena terakhir terjatuh, dan saksi terakhir terbunuh, jangan salahkan siapa-siapa kalau dunia berubah menjadi panggung besar yang dipenuhi aktor tanpa penonton, tanpa kritikus, tanpa catatan sejarah.

Jadi, haruskah kita diam? Saya rasa jawabannya sudah jelas. Diam bukan pilihan. Diam adalah penyerahan. Dan jurnalisme—meski berdarah-darah—tidak pernah lahir untuk menyerah.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer