Connect with us

Opini

Perang Tarif Trump: Langkah Berani atau Bunuh Diri?

Published

on

Presiden Donald Trump, dengan penuh percaya diri, berdiri di atas panggung virtualnya di Truth Social, mengangkat jari telunjuk dan menuliskan ancaman baru. “Perang tarif dimulai!” Seolah-olah dia seorang gladiator di arena ekonomi global, bersiap melawan tidak hanya musuh-musuh lama, tetapi juga sekutu-sekutunya sendiri. Sasarannya? BRICS, Kanada, Meksiko, dan siapa pun yang berani berpikir untuk menyaingi dolar AS.

Dengan semangat nasionalisme yang membara, Trump mengumumkan tarif 100% bagi BRICS jika mereka menciptakan mata uang sendiri. “Ini tak bisa dibiarkan!” serunya. BRICS, yang selama ini hanya bergerak perlahan mencari alternatif dari dominasi dolar, kini disambut dengan gertakan yang lebih mirip ancaman mafia ketimbang kebijakan ekonomi. Seakan AS bisa sendirian mengendalikan aliran uang dunia tanpa konsekuensi.

Tapi BRICS bukan satu-satunya sasaran. Kanada dan Meksiko juga tidak lolos dari amukan Trump. Dia mengancam tarif 25% jika dua tetangganya tidak bisa mengendalikan imigran ilegal dan fentanyl yang masuk ke AS. Kanada pun merespons dengan peringatan tajam: kalau AS mau menghentikan impor minyaknya, maka pilihan lain adalah Venezuela. Dan kita tahu, Trump dan Venezuela bukanlah pasangan harmonis.

Di atas kertas, tampaknya Trump ingin menegaskan supremasi ekonomi AS. Tapi di dunia nyata, langkah ini lebih mirip sabotase diri sendiri. Memukul BRICS, sekutu dekat, dan mitra dagang utama secara bersamaan ibarat menendang kaki meja tempat AS duduk. Tarif tinggi tak hanya menyakiti lawan, tapi juga menaikkan harga barang di AS sendiri, mempercepat inflasi, dan memicu reaksi balasan.

Sejarah membuktikan bahwa perang tarif jarang membawa kemenangan mutlak. Di era 1930-an, AS mencoba kebijakan proteksionisme ekstrem lewat Undang-Undang Smoot-Hawley. Hasilnya? Dunia membalas dengan tarifnya sendiri, perdagangan global runtuh, dan AS jatuh ke dalam Great Depression. Kini Trump tampaknya ingin mengulangi sejarah, hanya saja kali ini dengan lebih banyak musuh dan lebih sedikit sekutu.

Yang lebih menarik adalah pendekatan Trump terhadap Kanada dan Meksiko. Dengan nada angkuh, dia berkata akan mempertimbangkan apakah minyak mereka layak dikecualikan dari tarif. Seakan-akan ekonomi dunia adalah kasino pribadinya, di mana dia bebas mengubah aturan sesuai suasana hati. Kanada, tentu saja, tak tinggal diam dan sudah menyiapkan tarif balasan.

Sementara itu, BRICS tampaknya tak terlalu gentar. Jika dolar AS menjadi terlalu berisiko, mereka bisa beralih ke mekanisme perdagangan lain, dari yuan hingga sistem keuangan alternatif. Ancaman tarif 100% mungkin terdengar mengintimidasi, tapi dalam jangka panjang justru bisa mempercepat kejatuhan dominasi dolar. Trump mungkin berniat menegaskan kekuatan AS, tapi dia justru memberi alasan bagi negara lain untuk semakin mandiri.

AS bukan lagi satu-satunya raksasa ekonomi yang bisa mengancam tanpa konsekuensi. China, India, dan Rusia telah lama mencari cara mengurangi ketergantungan pada dolar. Jika Trump benar-benar memicu perang tarif global, dia bisa saja menciptakan dunia di mana AS tak lagi menjadi pusat ekonomi, melainkan hanya salah satu pemain di dalamnya. Dan pemain yang semakin tersisih.

Tarif memang bisa menjadi alat negosiasi, tapi ketika digunakan secara serampangan, efeknya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Trump tampaknya percaya bahwa AS tetap berada di puncak rantai makanan global. Padahal, dunia telah berubah. Perang dagang bukan lagi duel satu lawan satu, tapi pertempuran multipihak di mana setiap langkah bisa berbalik menghantam si pemula konflik.

Jika Trump benar-benar menerapkan semua ancamannya, AS mungkin akan menemukan dirinya dalam situasi ironis: menghadapi inflasi tinggi, kehilangan akses ke pasar internasional, dan dipaksa membeli minyak dari Venezuela—negara yang selama ini dia caci maki. Perang tarif ini bukan strategi cerdas, melainkan langkah panik seorang petinju yang kehabisan stamina, memukul siapa saja yang ada di sekelilingnya.

Jadi, apakah Trump bisa menang dalam perang tarif ini? Jawabannya sederhana: tidak. Sebab, perang ini bukan lagi tentang AS melawan musuh-musuhnya. Ini adalah perang di mana Trump bertarung melawan seluruh dunia, termasuk sekutu-sekutunya sendiri. Dan dalam sejarah, siapa pun yang mencoba melawan semua orang sekaligus, pada akhirnya akan tumbang oleh kesombongannya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *