Connect with us

Opini

Perang Tarif Trump: Antara Ambisi Ekonomi dan Ancaman Resesi

Published

on

Gedung Putih berdiri megah, namun di dalamnya, hiruk-pikuk kebijakan baru menciptakan gelombang ketidakpastian. Di meja oval, Donald Trump, dengan gestur penuh keyakinan, menandatangani perintah eksekutif yang mengguncang dunia: tarif “Liberation Day” yang mengenakan bea masuk 10% untuk hampir semua mitra dagang Amerika Serikat dan 145% untuk barang dari Tiongkok. Di luar, pasar saham bergoyang, harga barang meroket, dan kekhawatiran resesi membayang. Kebijakan ini, kata Trump, akan “membuat Amerika hebat lagi” dengan memaksa negara lain bernegosiasi dan membawa investasi kembali ke AS. Namun, di tengah ambisi ekonomi ini, data menunjukkan gambaran kelam: ekonomi AS menyusut, rantai pasok terganggu, dan sekutu dagang mulai menjauh. Apakah perang tarif ini benar-benar jalan menuju kejayaan, atau justru menuju jurang resesi?

Kebijakan tarif Trump bukanlah hal baru, tetapi skala dan keberaniannya belum pernah terjadi sebelumnya. Pada 1 Mei 2025, Senat AS gagal memblokir tarif ini dalam voting dramatis 49-49, dengan Wakil Presiden JD Vance memberikan suara penentu, menurut laporan Reuters. Tiga senator Republik—Rand Paul, Susan Collins, dan Lisa Murkowski—mendukung pembatalan tarif, namun absennya Mitch McConnell dan Sheldon Whitehouse menggagalkan upaya tersebut. Tarif 10% diberlakukan untuk negara seperti Kanada, Meksiko, dan Indonesia (32%), sementara Tiongkok menghadapi pukulan terberat dengan 145% untuk barang seperti elektronik dan tekstil. Trump menyebut ini sebagai “senjata ekonomi” untuk melindungi pekerja AS, tetapi Kamar Dagang AS memperingatkan bahwa tarif ini dapat memicu inflasi dan merugikan usaha kecil.

Data ekonomi terbaru memperkuat kekhawatiran ini. Biro Analisis Ekonomi AS melaporkan bahwa PDB AS menyusut 0,3% pada kuartal pertama 2025, penurunan pertama sejak 2022, sebagian karena gangguan akibat tarif. Sebelum tarif diberlakukan, importir AS mempercepat pengiriman barang, menyebabkan kemacetan pelabuhan dan lonjakan harga. Menurut The Wall Street Journal, harga barang konsumen seperti pakaian dan elektronik naik rata-rata 7% sejak Februari 2025. Sementara itu, Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi 5,2% di periode yang sama, didorong oleh ekspor cepat sebelum tarif berlaku. Ekonom dari Goldman Sachs memprediksi bahwa jika tarif berlanjut, inflasi AS bisa mencapai 4% pada akhir 2025, mendorong Federal Reserve menaikkan suku bunga dan memperbesar risiko resesi.

Dunia usaha AS merasakan dampaknya secara langsung. UPS mengumumkan pemotongan 20.000 pekerjaan, sementara General Motors menunda panggilan investor karena ketidakpastian, menurut Bloomberg. Industri otomotif mendapat keringanan dengan pengecualian tarif untuk beberapa suku cadang, tetapi sektor lain seperti mainan dan peralatan olahraga menghadapi ancaman serius. Trump sendiri mengakui potensi kekurangan barang, dengan berkomentar di Fox News bahwa “anak-anak mungkin hanya punya dua boneka, bukan 30.” Kamar Dagang AS mendesak proses pengecualian tarif untuk produk yang tidak diproduksi di AS, namun Gedung Putih menolak, memilih fokus pada pemotongan pajak besar-besaran. Langkah ini, kata kritikus, hanya akan memperparah defisit anggaran, yang sudah mencapai $1,9 triliun pada 2024, menurut Kantor Anggaran Kongres.

Di panggung global, perang tarif Trump mengubah dinamika perdagangan. Tiongkok, meski terpukul, menunjukkan tanda-tanda fleksibilitas. Pada 2 Mei 2025, Kementerian Perdagangan Tiongkok menyatakan sedang “mengevaluasi” proposal AS untuk negosiasi, menurut South China Morning Post. Namun, mereka menegaskan bahwa AS harus mencabut tarif sepihak sebagai tanda “ketulusan.” Sumber diplomatik menyebutkan bahwa tim Trump telah menghubungi Beijing melalui saluran tidak resmi, meskipun Trump bersikeras bahwa Presiden Xi Jinping harus memulai pembicaraan. Sementara itu, sekutu AS seperti Kanada dan Uni Eropa mengancam tarif balasan. Kanada, misalnya, berencana mengenakan tarif 15% untuk barang AS seperti daging dan perangkat lunak, menurut CBC News. Langkah ini dapat memperburuk hubungan dagang di bawah USMCA.

Indonesia, sebagai mitra dagang AS, juga terdampak. Tarif 32% untuk ekspor seperti sepatu, tekstil, dan elektronik mengancam industri yang mempekerjakan jutaan orang. Kementerian Perdagangan Indonesia memperkirakan kerugian ekspor sebesar $2 miliar pada 2025 jika tarif berlanjut, menurut Kompas. Pengusaha lokal khawatir rantai pasok global akan beralih ke negara seperti Vietnam, yang mendapat tarif lebih rendah (15%). Situasi ini menunjukkan bahwa perang tarif Trump tidak hanya merugikan AS, tetapi juga mitra dagang kecil yang bergantung pada pasar AS. Sementara Trump berjanji untuk menciptakan lapangan kerja di AS, data Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan bahwa manufaktur AS hanya menambah 12.000 pekerjaan pada Maret 2025, jauh di bawah ekspektasi.

Kritik domestik terhadap tarif Trump semakin menggema. Senator Chuck Schumer menyebut kebijakan ini “mengasingkan sekutu dan mendorong negara lain ke pelukan Tiongkok,” dalam wawancara dengan CNN. Kamala Harris, dalam pidato di Michigan, mengecam 100 hari pertama Trump sebagai “penelantaran nilai-nilai Amerika.” Bahkan di kalangan Republik, ada ketidaknyamanan. Senator Susan Collins memperingatkan bahwa tarif dapat “menghancurkan petani Amerika,” yang sudah terpukul oleh tarif balasan Tiongkok pada kedelai dan jagung. Namun, Trump tetap optimistis. Dalam wawancara dengan Breitbart, ia mengklaim bahwa tarif akan memaksa Tiongkok dan negara lain menandatangani “kesepakatan dagang yang adil” dalam waktu enam bulan. Penasihat Perdagangan Peter Navarro menambahkan bahwa tarif telah menciptakan “15 kesepakatan dagang baru,” meskipun Gedung Putih belum merilis detailnya.

Namun, optimisme Trump bertabrakan dengan realitas ekonomi. Studi dari National Bureau of Economic Research memperkirakan bahwa tarif 10% universal dapat mengurangi PDB AS sebesar 0,8% dalam dua tahun, sementara tarif 145% untuk Tiongkok dapat meningkatkan harga barang impor hingga 20%. Konsumen AS, yang sudah menghadapi inflasi 3,2% pada Maret 2025, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja, akan merasakan tekanan lebih besar. Peritel seperti Walmart dan Target telah memperingatkan kenaikan harga untuk barang seperti pakaian dan peralatan rumah tangga. Sementara itu, Tiongkok tampaknya lebih siap menghadapi perang tarif kali ini, dengan diversifikasi ekspor ke Eropa dan Asia Tenggara, menurut laporan Nikkei Asia. Ketahanan Tiongkok ini melemahkan argumen Trump bahwa tarif akan memaksa Beijing menyerah.

Lalu, ke mana arah perang tarif ini? Sinyal negosiasi dari Tiongkok menawarkan secercah harapan, tetapi sikap keras kedua belah pihak dapat memperpanjang konflik. Jika negosiasi gagal, AS berisiko menghadapi resesi, dengan proyeksi pertumbuhan PDB hanya 1,5% pada 2026, menurut Moody’s Analytics. Sekutu seperti Kanada dan Uni Eropa mungkin memperdalam tarif balasan, mengisolasi AS dalam perdagangan global. Bagi Trump, tarif adalah pertaruhan besar: jika berhasil, ia bisa mengklaim kemenangan ekonomi; jika gagal, ia akan menanggung beban kemarahan publik. Indonesia dan negara lain, sementara itu, harus mencari cara untuk bertahan di tengah badai ini, mungkin dengan memperkuat perdagangan regional seperti ASEAN.

Di Gedung Putih, Trump mungkin masih yakin bahwa tarifnya akan membawa kemenangan. Namun, di luar tembok itu, dunia melihat dengan cemas. Pasar saham yang goyah, rak toko yang berpotensi kosong, dan sekutu yang semakin jauh adalah harga yang harus dibayar untuk ambisi ini. Data menunjukkan bahwa perang tarif ini lebih merugikan AS daripada Tiongkok, setidaknya untuk saat ini. Pertanyaan besar tetap: akankah Trump mundur, atau justru menggandakan taruhannya, menyeret dunia ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam? Sejarah akan mencatat apakah ini adalah langkah jenius atau kesalahan besar, tetapi untuk saat ini, dunia hanya bisa menunggu—dan menghitung kerugiannya.

Sumber:

  1. Reuters, “Senate Fails to Block Trump’s ‘Liberation Day’ Tariffs,” 1 Mei 2025.
  2. The Wall Street Journal, “U.S. Economy Shrinks as Tariffs Disrupt Supply Chains,” 30 April 2025.
  3. Bloomberg, “UPS Cuts 20,000 Jobs Amid Tariff Uncertainty,” 1 Mei 2025.
  4. South China Morning Post, “China Signals Openness to Tariff Talks with U.S.,” 2 Mei 2025.
  5. CBC News, “Canada Plans Retaliatory Tariffs on U.S. Goods,” 1 Mei 2025.
  6. Kompas, “Tarif AS Ancam Ekspor Indonesia Rp28 Triliun,” 2 Mei 2025.
  7. Fox News, Trump Interview, 29 April 2025.
  8. CNN, Schumer Interview, 1 Mei 2025.
  9. Breitbart, Trump Interview, 30 April 2025.
  10. Nikkei Asia, “China Diversifies Exports Amid U.S. Tariff War,” 28 April 2025.
  11. Biro Analisis Ekonomi AS, Biro Statistik Tenaga Kerja, Kantor Anggaran Kongres, National Bureau of Economic Research, Moody’s Analytics.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *