Opini
Perang Tarif: Pertarungan untuk Jiwa Globalisasi

*Oleh: Mohamad Seifeddine, penulis dan peneliti
Ketika pasar global terguncang akibat gejolak geopolitik yang semakin intens, langkah terbaru Tiongkok untuk memberlakukan tarif sebesar 125% terhadap barang-barang AS—yang mulai berlaku pada 12 April 2025—menandai titik balik dalam salah satu babak paling bergejolak dalam perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Jauh dari sekadar tindakan reaktif, respons Beijing mencerminkan penyesuaian strategi yang matang: sebuah posisi baru yang mengombinasikan kehati-hatian taktis dengan ketegasan kedaulatan. Ini bukan lagi sekadar soal balas dendam ekonomi—melainkan perwujudan dari pertarungan yang lebih luas mengenai kekuasaan global, legitimasi, dan alternatif sistemik terhadap globalisasi yang dipimpin Barat.
Dari Posisi Bertahan ke Doktrin yang Tegas
Berbeda dengan episode friksi dagang sebelumnya, eskalasi kali ini tidak dibalut dalam bahasa kompromi atau pencegahan. Sebaliknya, ini adalah pergeseran sadar menuju pendekatan dua jalur: menahan tanpa menyerah, dan menegaskan kedaulatan ekonomi. Pernyataan publik Presiden Xi Jinping—“Kami tidak takut… Permusuhan terhadap dunia hanya akan berujung pada isolasi”—bukan hanya ditujukan kepada Washington, tetapi juga ke ibu kota Eropa yang masih ragu-ragu. Disampaikan bersamaan dengan seruannya kepada para pemimpin Uni Eropa untuk menolak “intimidasi ekonomi”, kata-kata Xi mengungkapkan upaya terkoordinasi untuk mengubah narasi, menggambarkan Tiongkok sebagai pembela pluralisme ekonomi global, berseberangan dengan proteksionisme AS.
Kementerian Keuangan Tiongkok pun menggemakan sikap tersebut, mengumumkan bahwa Beijing tidak akan melanjutkan eskalasi lebih lanjut, terlepas dari apakah AS menaikkan tarif lagi atau tidak. Ini bukan bentuk konsesi, melainkan isyarat bahwa Tiongkok tidak lagi menganggap instrumen hukuman Washington sebagai ancaman utama. Pesan yang tersirat: biaya dari unilateralisme Amerika kini harus ditanggung oleh konsumennya sendiri, basis industrinya, dan bahkan tatanan konsensus politik domestiknya.
Tarif sebagai Instrumen Penataan Ulang Strategis
Ekonomi Tiongkok memasuki fase konfrontatif ini dari posisi yang rapuh di dalam negeri. Dengan pasar properti yang terus menurun, pengangguran pemuda yang meningkat, dan kepercayaan konsumen yang terkikis, ekspor tetap menjadi benteng terakhir yang menopang target pertumbuhan. Maka, keputusan untuk menaikkan tarif—meski berani—didasari oleh pragmatisme ekonomi. Beijing sangat menyadari bahwa eskalasi yang terlalu mencolok dapat memperdalam tekanan deflasi dan menggagalkan agenda transformasi ambisius Xi untuk menjadikan Tiongkok pusat manufaktur dan teknologi canggih dunia.
Namun Beijing tidak kehabisan cara. Pemerintah sedang mempersiapkan serangkaian kebijakan fiskal dan moneter, mulai dari suntikan likuiditas, subsidi konsumsi rumah tangga, hingga insentif peningkatan industri. Meski langkah-langkah ini bukan hal baru, pelaksanaannya kali ini terasa lebih mendesak: semakin Washington memperketat jerat, semakin Tiongkok terdorong untuk menstimulasi pertumbuhan dari dalam dan memperkuat ketahanan domestik.
Sementara dari pihak AS, keputusan Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif 145% atas seluruh barang Tiongkok bukan sekadar langkah proteksionis yang berlebihan—ini adalah manuver terencana untuk menekan ruang gerak ekonomi Tiongkok sekaligus merusak ambisinya di bidang teknologi. Para analis memperingatkan bahwa fase selanjutnya bisa mencakup pembatasan ekspor yang lebih luas terhadap teknologi krusial seperti semikonduktor, peralatan bioteknologi, dan alat manufaktur presisi—sektor-sektor yang masih menjadi titik lemah Tiongkok.
Respons tarif Beijing, karenanya, tidak bisa semata dilihat dari lensa ekonomi, tetapi sebagai pernyataan geopolitik: Tiongkok tidak akan dipaksa tunduk, dan tidak akan membiarkan peran ekonominya di dunia ditentukan oleh kehendak satu lawan.
Eropa: Titik Tumpu antara Penyelarasan dan Otonomi
Retorika Tiongkok terhadap Eropa dalam beberapa pekan terakhir tampak lebih tajam dan strategis dari biasanya. Seruan langsung Xi kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez bukan sekadar formalitas diplomatik—tetapi upaya terencana untuk memosisikan Uni Eropa sebagai poros ketiga dalam tatanan global yang sedang berubah. Dengan mendorong Brussels agar menolak unilateralisme AS dan merangkul “otonomi strategis”, Beijing tidak hanya menawarkan akses pasar kepada UE, tapi juga alternatif geopolitik.
Namun, ajakan ini datang di saat para pembuat kebijakan Eropa semakin khawatir terhadap kelebihan kapasitas industri Tiongkok. “Tsunami ekspor” yang mungkin timbul akibat tertutupnya pasar AS akan mengalihkan barang-barang Tiongkok ke Eropa dan negara-negara Global South, memunculkan potensi reaksi proteksionis baru. Eropa kini terjebak dalam posisi sulit: harus menyeimbangkan kembali ketergantungan pada rantai pasok Tiongkok sembari menahan tekanan dari AS untuk melakukan pemisahan total (decoupling).
Lebih dari Sekadar Perdagangan: Pertarungan atas Jiwa Globalisasi
Apa yang awalnya dimulai sebagai sengketa tarif kini telah berkembang menjadi konfrontasi mengenai arsitektur globalisasi itu sendiri. Doktrin dagang Trump bukan semata transaksional; ia bersifat revisionis, bertujuan untuk membongkar mekanisme yang telah menopang liberalisasi perdagangan global selama puluhan tahun. Dengan menyasar status Tiongkok sebagai “pabrik dunia”, Trump berupaya mengembalikan supremasi industri AS—meski melalui cara koersif, bukan kompetitif.
Tiongkok, di sisi lain, membela lebih dari sekadar pendapatan ekspor. Ia membela model pembangunan yang menantang tatanan ekonomi liberal pasca-2008—model yang didasarkan pada kapitalisme yang dipimpin negara, leverage infrastruktur, dan kemitraan dengan negara-negara Global South.
Namun, kedua pihak harus membayar harga mahal. Konsumen AS menghadapi lonjakan harga di berbagai sektor utama, dari elektronik hingga energi. Sementara produsen Tiongkok bergulat dengan pembatalan pesanan, pemutusan hubungan kerja, dan ketidakpastian pasar. Kepercayaan investor global pun mulai goyah, dengan lembaga seperti Goldman Sachs menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB Tiongkok, dalam beberapa kasus bahkan di bawah ambang simbolis 4%.
Ke Depan
Untuk saat ini, arah dari perang dagang ini masih belum pasti. Namun yang jelas, Tiongkok tidak lagi bersedia menyerap guncangan secara diam-diam. Era “kesabaran strategis” tampaknya telah berakhir. Yang muncul kini adalah Tiongkok yang lebih konfrontatif namun tetap terukur—menggabungkan semangat nasionalisme dengan realisme ekonomi.
Apakah Xi Jinping dapat mengubah krisis ini menjadi titik balik untuk reformasi struktural dan kemandirian yang lebih dalam masih menjadi pertanyaan terbuka. Demikian pula apakah serangan tarif Trump akan menghasilkan kebangkitan domestik atau justru mempercepat perpecahan dalam ekonomi global.
Apa pun hasilnya, konflik ini telah melampaui wacana kebijakan perdagangan. Ini telah menjadi ujian ketahanan bagi tatanan ekonomi pascaperang dunia, dan dunia mungkin segera menyadari bahwa sistem yang ada tak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman.
Artikel ini telah diterbitkan oleh media daring Al-Mayadeen dan diterjemahkan serta disunting oleh tim Vichara.id.