Opini
Perang Tarif: Ketika UE Hanya Menjawab Setengah Hati

Di sebuah ruang rapat berpanel kayu di Brussels, para diplomat Uni Eropa (UE) duduk mengelilingi meja panjang, peta perdagangan dunia terbentang di benak mereka, sementara aroma kopi pekat mengisi udara. Di luar, dunia menyaksikan ketegangan baru: Presiden AS Donald Trump baru saja mengenakan tarif 25% pada baja dan aluminium UE, diikuti 20% pada semua ekspor UE yang mulai berlaku Rabu ini. UE, dengan 26 dari 27 negara anggota mendukung (Hungaria menolak), menjawab dengan langkah yang disebut-sebut tegas: tarif balasan pada barang AS senilai €22 miliar per tahun. Namun, di balik angka itu, respons ini terasa setengah hati, penuh keraguan, dan jauh dari pukulan telak yang bisa mengguncang kebijakan AS.
Laporan terbaru menunjukkan UE menargetkan unggas, biji-bijian, pakaian, dan logam AS, kebanyakan dengan tarif 25%, beberapa 10%, efektif per 15 April. Angka €22 miliar ($23,8 miliar) memang besar, tapi bandingkan dengan dampak tarif Trump: ekspor UE ke AS bernilai ratusan miliar dolar terancam, belum lagi tarif 25% pada mobil yang baru diumumkan. Bourbon, simbol produk AS, malah dikeluarkan dari daftar setelah Trump mengancam tarif 200% pada alkohol Eropa—tekanan dari Prancis, Irlandia, dan Italia jelas berperan. Ini bukan pertama kalinya UE tampak ragu; pada 2018, mereka hanya membalas tarif baja AS dengan €2,8 miliar barang seperti Harley-Davidson dan selai kacang. Pola ini berulang: respons yang terukur, tapi tak pernah maksimal.
Mengapa setengah hati? Trump menyebut UE “pedagang sangat keras,” menuduh mereka memeras AS dengan pajak nilai tambah $200 miliar per tahun dan hambatan perdagangan. Tarif “Liberation Day” miliknya, termasuk 20% pada semua ekspor UE, adalah serangan frontal. Namun, UE memilih langkah kecil, menutup mata pada skala penuh ancaman AS. Volume €22 miliar itu signifikan, tapi perdagangan AS-UE mencapai lebih dari $1 triliun tahunan—artinya balasan UE hanya menggores permukaan. Pengecualian bourbon menunjukkan pragmatisme, tapi juga kelemahan: mereka takut eskalasi, takut Trump benar-benar menepati ancaman 200% itu, dan takut industri alkohol Eropa jadi korban berikutnya.
Sejarah memberi petunjuk. Pada 2018, tarif balasan UE tak membuat Trump mundur—ia malah memperluas kebijakan proteksionisnya. Kini, dengan paket kedua sedang disiapkan untuk menjawab tarif mobil 25%, UE tampak berjalan di jalur yang sama: bertahap, hati-hati, dan reaktif. Komisi Eropa bilang tarif AS “tak beralasan dan merusak,” merugikan kedua belah pihak dan ekonomi global—pernyataan yang benar, tapi ironis. Jika merugikan, mengapa tak membalas setimpal? €22 miliar adalah angka besar bagi warga biasa, tapi dalam konteks perdagangan global, ini seperti tamparan di pergelangan tangan bagi AS, bukan pukulan yang membuat gentar.
Ada argumen bahwa UE sedang bermain cerdas, bukan lemah. Dengan menahan diri, mereka membuka pintu negosiasi—Komisi Eropa menegaskan tarif bisa ditangguhkan jika AS menawarkan “hasil yang adil dan seimbang.” Ini pendekatan diplomatik khas UE, menghindari perang dagang penuh yang bisa melukai ekspor mereka sendiri, yang menyumbang 16% PDB gabungan. Tapi diplomasi ini punya batas. Trump, dengan retorika “keadilan perdagangan,” tak pernah menunjukkan tanda mundur dari ancaman sebelumnya. Ancaman tarif mobil 25% adalah bukti: ia terus menyerang, sementara UE menjawab dengan setengah tenaga, berharap logika ekonomi akhirnya menang.
Data memperkuat kesan ini. Ekspor UE ke AS pada 2023 mencapai $576 miliar, sementara impor dari AS $438 miliar—defisit yang Trump sering soroti. Tarif 20% pada semua ekspor UE berpotensi memotong puluhan miliar dari angka itu, jauh melebihi €22 miliar yang UE balas. Industri otomotif Jerman, misalnya, bisa kehilangan miliaran dari tarif mobil 25%, tapi UE belum menargetkan sektor AS yang setara—katakanlah teknologi atau energi—dengan skala sama. Pilihan barang seperti unggas dan biji-bijian memang menyakiti petani AS, tapi efeknya lokal, tak sistemik, tak cukup menggoyang Gedung Putih.
Kritik bisa bilang UE terjebak dalam dilema politik. Dengan 27 negara anggota, konsensus sulit dicapai—Hungaria menolak paket ini, dan tekanan internal (seperti dari Prancis soal bourbon) memaksa kompromi. Solidaritas mereka rapuh, dan Trump tahu itu. Ia menyebut UE “sulit” dan memperingatkan langkah lebih jauh jika mereka membalas—retorika yang terbukti efektif menahan UE. Pada 2018, ancaman serupa membuat UE ragu, dan kini, meski 26 negara setuju, responsnya tetap tak mencerminkan kekuatan penuh blok dengan PDB $18 triliun. Mereka seperti raksasa yang tak mau mengayunkan tinjunya.
Namun, ada sisi lain. Pasar global sudah goyah—ketegangan ini memicu kekhawatiran resesi dunia. UE mungkin sadar bahwa perang tarif penuh akan mempercepat itu, menaikkan harga konsumen dan mengacaukannya rantai pasok. Baja dan aluminium yang lebih mahal dari AS sudah memukul manufaktur Eropa; membalas maksimal bisa memperparah luka itu. Jadi, respons setengah hati ini bisa dilihat sebagai upaya bertahan hidup, bukan hanya kelemahan. Tapi pertanyaannya tetap: apakah bertahan cukup melawan Trump, yang jelas tak main-main dengan ancaman 200% atau tarif mobil?
Realitasnya, UE terjepit. Trump menyerang dengan senjata besar—20% pada semua ekspor bukan leletan kecil—tapi UE menjawab dengan ketapel, bukan meriam. Paket kedua yang dijanjikan mungkin menambah bobot, tapi tanpa perubahan drastis, ini tetap setengah hati. Mereka ingin menunjukkan sikap, tapi tak berani memukul keras. Pada 2018, strategi ini gagal membalikkan tarif AS; kini, dengan ancaman lebih luas, hasilnya bisa sama. UE berharap Trump ke meja perundingan, tapi sejarah bilang ia lebih suka meja perang dagang.
Akhirnya, respons setengah hati ini adalah cermin identitas UE: kuat secara kolektif, tapi terkekang oleh kepentingan individu dan cinta pada diplomasi. Mereka menolak jadi penutup mata, tapi juga tak mau jadi petinju. €22 miliar adalah pernyataan, tapi tak cukup keras untuk mengguncang Trump, yang terus menabuh genderang proteksionisme. Sementara pasar global bergetar dan resesi mengintip, UE bertaruh pada kesabaran—taruhan yang mungkin terlalu mahal jika AS tak pernah berkedip. Respons ini, seperti angin sepoi di tengah badai, mungkin tak cukup menyelamatkan mereka dari gelombang berikutnya.