Connect with us

Opini

Perang Sunyi: Rencana Terselubung AS & Israel

Published

on

Amerika Serikat dan Israel, dua kekuatan yang paling ahli dalam menjual perang sebagai perdamaian, kini tengah merancang skema baru: pengusiran diam-diam warga Palestina dari Gaza ke Afrika. Bukan melalui konferensi terbuka atau kesepakatan diplomatik yang diumumkan dengan gagah, melainkan lewat percakapan rahasia dengan Sudan, Somalia, dan Somaliland. Mereka tahu bahwa rencana ini terlalu busuk untuk dijual terang-terangan.

Diplomasi bayangan ini berawal dari ide Donald Trump, pemimpin yang menganggap dunia ini seperti bisnis real estate murahan. Dengan penuh percaya diri, ia membayangkan Gaza sebagai proyek properti mewah, mengusulkan pengusiran massal dan pembangunan ulang ala ‘Riviera Timur Tengah’. Tak perlu rakyat Palestina, cukup hotel bintang lima dan kasino untuk para investor. Itulah kapitalisme kolonial dalam bentuk paling brutal.

Namun, bahkan rencana ini terlalu absurd bagi kebanyakan negara. Sudan dengan tegas menolak, sementara Somalia dan Somaliland bahkan tak tahu mereka telah dijadikan target negosiasi. Tapi, itu tak menghentikan Israel dan AS. Mereka tahu, jika cukup banyak tekanan ekonomi dan diplomatik diberikan, beberapa negara bisa tergoda untuk menerima ratusan ribu pengungsi dengan imbalan bantuan dan pengakuan internasional.

Begitulah cara kerja imperialisme modern. Tidak lagi mengandalkan tank dan senapan mesin semata, tetapi juga utang, kesepakatan ekonomi, dan tekanan politik. Negara-negara lemah dipaksa tunduk, bukan karena mereka setuju, tetapi karena mereka tahu konsekuensi jika menolak. Dalam permainan ini, Washington menjadi pemegang kendali, sementara Tel Aviv berperan sebagai algojo.

Ini bukan sekadar rencana pemindahan populasi, ini adalah kelanjutan proyek kolonialisme Israel. Pembersihan etnis yang telah berlangsung selama puluhan tahun kini memasuki tahap akhir: mengusir rakyat Palestina secara permanen. Sejak 1948, ini telah menjadi strategi utama Israel. Dari Nakba hingga blokade Gaza, semua adalah bagian dari proyek menghapus Palestina dari peta sejarah.

Zionisme tidak pernah hanya tentang membangun negara Yahudi, melainkan tentang menciptakan tanah tanpa orang Palestina. Apa yang dilakukan Smotrich dan Netanyahu bukanlah kebijakan sementara, ini adalah warisan dari para pendiri Israel. Mereka menyebutnya keamanan, padahal yang mereka maksud adalah dominasi total atas tanah dan peradaban yang telah ada jauh sebelum mereka.

Sementara dunia mengutuk, AS tetap setia. Gedung Putih menolak proposal damai Mesir yang tidak mencakup pengusiran, tetapi tetap berpura-pura peduli dengan penderitaan Palestina. Ini adalah skizofrenia politik tingkat tinggi: di satu sisi mereka berbicara tentang solusi dua negara, di sisi lain mereka mendukung penghapusan satu negara dari eksistensi.

Dalam analisis realisme politik, ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang kepentingan. AS tidak peduli dengan hukum internasional karena mereka tahu bahwa hukum dibuat oleh mereka, untuk mereka. Israel memahami hal ini lebih dari siapa pun. Ketika mereka mendirikan ‘migration administration’ untuk mengusir orang-orang Palestina, mereka tidak perlu takut akan sanksi. Siapa yang akan berani memberi sanksi kepada anak emas Washington?

Negara-negara Arab menolak, tetapi penolakan tanpa tindakan adalah angin lalu. Beberapa dari mereka telah menormalisasi hubungan dengan Israel, menggadaikan solidaritas Palestina demi investasi dan keamanan rezim. Sementara itu, dunia Muslim terpecah-belah, terlalu sibuk dengan urusan domestik untuk menghentikan pengusiran massal yang akan segera terjadi di depan mata mereka sendiri.

Dan di balik semua ini, kapitalisme global bermain sebagai dalang. Dengan menjanjikan pembangunan ulang Gaza setelah ‘dibersihkan’, AS dan Israel menciptakan ilusi kemajuan yang berakar pada kejahatan perang. Tanah yang subur oleh darah kini dijual kepada investor sebagai peluang bisnis. Ini bukan rekonstruksi, ini adalah penghapusan jejak sejarah dengan kedok revitalisasi ekonomi.

Inilah wajah neokolonialisme abad ke-21: memindahkan manusia seperti barang dagangan, menggunakan negara miskin sebagai tempat pembuangan, dan membungkus genosida dengan retorika pembangunan. Israel telah merancang metode baru untuk mencuri tanah, sementara AS memberikan stempel persetujuan. Dan dunia? Dunia hanya menonton, seperti biasa.

Namun, ada aspek lain yang lebih dalam dari strategi AS dan Israel ini: perang psikologis. Dengan menyebarkan ketakutan dan ketidakpastian di antara warga Palestina, mereka berharap bisa membuat eksodus ini tampak seolah-olah sebagai satu-satunya jalan keluar. Dengan terus-menerus mengebom, membatasi akses pangan, air, dan kebutuhan dasar, mereka menciptakan kondisi yang memaksa warga Gaza berpikir bahwa meninggalkan tanah mereka adalah pilihan yang lebih baik dibanding bertahan dalam neraka yang diciptakan Israel.

Inilah bentuk perang modern yang tak hanya bertumpu pada senjata, tetapi juga manipulasi psikologis. Jika orang-orang Palestina bisa dibuat percaya bahwa tidak ada masa depan bagi mereka di Gaza, maka pengusiran ini bisa dilakukan tanpa perlawanan besar-besaran. Itulah sebabnya media Barat terus menggambarkan Gaza sebagai zona yang tak layak huni, tanpa menyoroti bahwa kondisi ini adalah akibat kebijakan Israel sendiri.

Sementara itu, strategi asimetris yang dimainkan Israel dan AS semakin terlihat. Mereka tidak hanya bertindak di medan perang, tetapi juga dalam kebijakan internasional. Setiap kali ada kritik terhadap kebijakan pengusiran ini, mereka akan membelokkannya dengan narasi antisemitisme. Dengan memainkan kartu ini, mereka bisa membungkam kritik dan terus menjalankan agenda mereka tanpa gangguan.

Israel paham bahwa perlawanan terhadap mereka hanya bisa dihentikan dengan menghilangkan rakyat Palestina itu sendiri. Mereka telah mencoba segala cara: pembunuhan, blokade, serangan udara. Kini, mereka mencoba skenario baru—membuang rakyat Palestina ke belahan dunia lain dan mencuci tangan mereka dari semua kejahatan ini.

Bagi AS, ini adalah kesempatan emas untuk memainkan peran sebagai mediator palsu. Mereka tahu dunia tidak akan menerima pengusiran terang-terangan, tetapi jika dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit, maka masyarakat internasional akan terbiasa. Inilah cara kolonialisme bekerja di era modern: tanpa perlu invasi besar-besaran, cukup dengan memanipulasi kebijakan, ekonomi, dan diplomasi.

Palestina telah menjadi ajang eksperimen kebrutalan yang terus berubah formatnya. Dari pendudukan langsung, ke blokade, ke serangan udara, hingga kini strategi pengusiran terselubung. Ini bukan hanya tentang Gaza, ini adalah tentang hak asasi manusia yang diinjak-injak dengan kedok kebijakan keamanan.

Dunia seharusnya tidak lagi sekadar mengutuk, tetapi bertindak. Karena jika pengusiran ini berhasil, maka preseden baru telah tercipta: bahwa dengan kekuatan yang cukup, siapa pun bisa memindahkan populasi tanpa konsekuensi. Dan jika itu terjadi, siapa yang bisa menjamin bahwa ini tidak akan terjadi lagi di tempat lain?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *