Connect with us

Opini

Perang Sarung: Ramadan Penuh Darah dan Ironi

Published

on

Di bawah langit Ramadan yang seharusnya suci, Indonesia menyuguhkan drama tahunan yang lebih tragis dari sinetron murahan: perang sarung. Apa yang dulu cuma permainan iseng anak kampung kini berubah jadi ajang adu nyawa remaja. Kontrol sosial ambruk, simbol sarung dipelintir, dan kita semua pura-pura kaget saat darah tumpah di bulan yang penuh berkah ini.

Bayangkan, malam Ramadan yang seharusnya tenang, remaja berkumpul setelah tarawih, bukan untuk tadarus, tapi untuk saling lempar sarung berisi batu. Teori Kontrol Sosial menyebut ini sebagai dampak dari ikatan sosial yang rapuh. Orang tua sibuk khusyuk di masjid, polisi ngantuk di pos ronda, sementara anak-anak dibiarkan liar. Hasilnya? Pekanbaru dan Lampung menjadi saksi bisu kematian sia-sia.

Lalu ada Interaksionisme Simbolik, yang tertawa sinis melihat sarung—kain sederhana untuk salat—berubah menjadi senjata maut. Dulu hanya sekadar candaan, kini menjadi lambang keberanian jalanan. Remaja tak lagi sekadar melempar sarung untuk bersenang-senang; mereka mengisinya dengan besi, menantang lawan via WhatsApp, dan berubah menjadi gladiator abad digital. Makna baru lahir dari obrolan malam penuh testosteron.

Kontrol sosial di Indonesia memang patut dipertanyakan. Di mana orang tua saat anak mereka kabur membawa sarung dan celurit? Sibuk mencari pahala atau asyik scroll TikTok? Sekolah hanya sibuk mengurus seragam, tak peduli dengan jiwa liar siswanya. Komunitas? Hanya sebatas rapat RT penuh gosip. Tanpa ikatan yang kuat, remaja menjadi raja jalanan, dan Ramadan berubah menjadi arena pertarungan.

Sementara itu, simbol sarung terus bergeser, dan kita hanya menjadi penonton bodoh. Awalnya, perang sarung hanya untuk lucu-lucuan dengan teman sekampung. Namun, era media sosial datang, dan anak-anak ini haus pengakuan. Sarung tak lagi sekadar kain biasa—tambahkan batu, jadilah trofi macho. Posting video tawuran, dapat like, dan nyawa teman cuma bonus kolateral.

Lihat kasus Reyhan di Pekanbaru, 15 tahun, mati sia-sia pada Maret 2025. Empat temannya ditangkap, tapi siapa peduli? Kontrol sosial gagal total—polisi baru bergerak setelah mayat tergeletak. Keluarga hanya bisa menangis, masyarakat pura-pura prihatin. Ini bukan lagi sekadar kenakalan remaja, tapi cerminan sistem yang bobrok. Ramadan menjadi panggung horor, dan kita semua memilih menutup mata secara sukarela.

Interaksionisme Simbolik mengatakan bahwa makna dibentuk dari interaksi, dan betapa hebatnya interaksi remaja kita! Grup WhatsApp jadi markas perang: “Bro, jam 2 sahur, bawa sarung isi batu!” Sarung yang dulu untuk salat kini menjadi bendera perang antar kampung. Simbol suci dipelintir jadi alat bunuh, dan kita hanya berkomentar, “Namanya juga anak muda.”

Kontrol sosial yang lelet membuat polisi hanya menjadi penutup acara. Patroli malam hanya formalitas—lampu biru berkelap-kelip, sementara remaja sudah selesai duel. Di Purbalingga, 21 anak ditangkap, tapi besoknya ada lagi. Hukuman? Kerja sosial yang hanya membuat mereka tertawa. Orang tua takut anaknya dikucilkan teman, jadi memilih diam—kontrol nol, kekacauan seribu.

Simbol sarung makin liar di tangan generasi layar sentuh. Dulu, perang sarung hanya soal gengsi kecil-kecilan. Sekarang, rekam tawuran, unggah ke Instagram, dan tunggu applause virtual. Sarung tak lagi kain murah—tambahkan besi, jadi status. Anak-anak ini bukan sekadar nakal, mereka adalah produk zaman yang kita ciptakan: haus perhatian, miskin makna.

Ironi Ramadan mencapai puncaknya. Bulan suci yang seharusnya damai justru penuh darah. Levino, 14 tahun, mati di Lampung Selatan, Maret 2025, kepalanya remuk terkena sarung berisi batu. Kontrol sosial? Orang tua hanya berkata, “Dia cuma main-main.” Simbol sarung? Kini menjadi penutup jenazah yang tragis. Kita gagal, tapi malah sibuk menyalahkan anak-anak—klasik.

Pemerintah dan polisi hanya bisa menawarkan solusi basi: patroli, razia, imbauan. Padahal, kontrol sosial tak cuma soal seragam biru—ia tentang ikatan nyata. Keluarga cuek, sekolah tak peduli, masjid hanya untuk ceramah kosong. Remaja tak punya tempat, dan sarung jadi pelampiasan. Kita membangun sistem yang hanya bagus di berita, tapi gagal di jalanan.

Dan simbol sarung terus bergoyang di tangan remaja pemberontak. Mereka tak peduli Ramadan apa adanya—bagi mereka, ini hanya musim baru untuk jadi jagoan. Sarung yang dulu untuk sujud kini menjadi alat menghajar kepala lawan. Interaksi di gang-gang gelap dan grup chat menjadi panggung, sementara kita hanya menjadi penonton yang tepuk tangan pelan.

Coba bayangkan jika kontrol sosial benar-benar berjalan. Orang tua duduk bersama anak, bukan sekadar memberi uang jajan. Komunitas mengadakan lomba sahur seru, bukan sekadar bagi takjil. Polisi tak hanya selfie di posko. Tapi ini mimpi jauh—realitasnya, kita lamban, sementara remaja lebih cepat. Sarung berdarah menjadi bukti kegagalan kita semua.

Simbol sarung yang kini menjadi alat bunuh adalah cermin diri kita sendiri. Dulu, anak bermain sarung, kita tertawa. Sekarang, mereka mati, kita hanya menggeleng kepala. Interaksi sosial yang kita biarkan liar di media sosial dan jalanan membentuk monumen kekerasan baru. Sarung tak lagi suci—ia hanya kain yang kita nodai bersama.

Ramadan seharusnya bulan refleksi, tapi kita justru menjadi ahli menutup mata. Kontrol sosial hanya jargon, ikatan keluarga hanya ada di iklan sirup. Remaja dibiarkan liar, dan sarung menjadi senjata karena kita tak memberi mereka apa-apa. Mereka bukan nakal—kita yang malas. Hasilnya? Darah di kain putih, dan kita hanya berkata, “Biasalah.”

Lalu apa solusinya, jika kita tak ingin hanya menjadi penutup acara? Kontrol sosial butuh keberanian—orang tua harus berhenti menjadi ATM berjalan, komunitas harus lebih dari sekadar grup arisan. Beri remaja panggung yang nyata: lomba, olahraga, apa saja yang membuat mereka lupa pada sarung berdarah. Tapi itu butuh kerja nyata, bukan sekadar omong kosong.

Simbol sarung juga bisa kita rebut kembali. Ubah maknanya—jadikan kain ini lambang kreativitas, bukan kekerasan. Buat kompetisi desain sarung, lomba cerita Ramadan, apa pun yang membuat anak-anak bangga tanpa perlu melempar batu. Tapi ini butuh otak, dan sepertinya kita kehabisan stok. Jadi, sarung tetap jadi senjata, dan kita tetap pura-pura kaget.

Lihat, kasus demi kasus—Reyhan, Levino, dan entah siapa lagi besok. Kontrol sosial kita hanya tameng rapuh, dan simbol sarung menjadi cermin kegagalan kolektif. Ramadan yang suci hanya jargon, realitasnya penuh darah. Kita bisa menyalahkan remaja, tapi coba cek diri—siapa yang membuat mereka menjadi gladiator? Kita semua, dan itulah fakta paling pahit.

Ini bukan sekadar soal perang sarung, tapi soal bangsa yang lupa mengurus anaknya. Kontrol sosial ambruk karena kita sibuk mencari muka, bukan menciptakan makna. Ramadan berubah menjadi ironi, dan kita hanya menjadi penonton yang tak pernah belajar apa-apa.

Jadi, selamat menikmati Ramadan penuh darah ini. Kita tetap lamban, dan sarung tetap menjadi trofi kekerasan. Remaja mati, kita menangis sehari, lalu lupa. Sarung tetap berdarah, dan kita tetap aktor drama paling buruk di bulan suci ini. Applause!

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *