Connect with us

Opini

Perang Psikologis Hamas: Senjata yang Lebih Mematikan

Published

on

Dua pria dalam kondisi lusuh, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang tak terbantahkan. Kamera menyorot mereka dengan intensitas dingin, seolah-olah sedang menguliti kebohongan yang selama ini ditelan bulat-bulat oleh bangsanya sendiri. “Netanyahu, cukup, kau membunuh kami…” suara mereka pecah di antara udara yang tegang, mengiris ego negara yang katanya tak terkalahkan.

Di layar kaca, di media sosial, di ruang-ruang rapat yang dipenuhi kebingungan, suara mereka menggema. Bukan dari corong Hamas, bukan dari propaganda musuh, tetapi dari bibir mereka sendiri—orang-orang yang katanya akan dibebaskan oleh pasukan elit yang digembar-gemborkan sebagai tak terkalahkan. Tapi kenyataannya? Mereka tetap di sana, menyaksikan yang lain pulang, sementara mereka terus menjadi pion dalam permainan perang yang tak berujung.

Ini bukan pertama kalinya Hamas memainkan kartu psikologis. Tetapi kali ini berbeda. Tidak ada pidato panjang. Tidak ada ancaman terselubung. Hanya sebuah tontonan yang lebih menyayat: para tahanan yang ditinggalkan, yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana rekan-rekan mereka dipulangkan satu per satu. Setiap prosesi pembebasan adalah pengingat kejam bahwa nasib mereka ada di tangan Netanyahu, bukan di tangan Hamas. Jika Netanyahu menyetujui pertukaran tahanan, mereka bisa pulang. Namun, mereka hanya bisa menyaksikan orang lain bebas, sementara mereka masih menunggu keputusan pemimpin mereka sendiri.

Netanyahu dan para jenderalnya membayangkan bahwa serangan militer akan membebaskan semua tawanan. Roket dilempar, tanah Gaza dihancurkan, nyawa melayang. Tetapi, di hadapan dua pria ini, mitos itu runtuh dengan sendirinya. “Tekanan militer bukan solusi,” mereka berkata. Bukan Hamas yang mengatakannya, bukan juru bicara musuh, tetapi korban kebijakan sendiri yang kini mendekam dalam ketidakpastian.

Hamas tidak perlu membuat ancaman terbuka. Cukup dengan menghadirkan wajah-wajah yang hidup dalam ketakutan, yang setiap harinya dihantui oleh janji palsu pemerintah mereka sendiri. Di sisi lain, Hamas tahu persis bagaimana membangun narasi ini: prosesi pembebasan dibuat dramatis, para tahanan yang dibebaskan menjadi saksi hidup bagi mereka yang masih terjebak. Mereka yang tersisa? Kini tahu siapa yang benar-benar menentukan hidup dan mati mereka.

Dengan strategi ini, Hamas tidak hanya menguasai wilayah fisik, tetapi juga medan psikologis. Tidak perlu membakar lebih banyak kota, tidak perlu ledakan tambahan—cukup biarkan para tawanan yang masih tersisa menyadari kenyataan pahit ini dan menyampaikannya sendiri. Biarkan mereka merasakan betapa nilai mereka di mata pemerintah mereka sendiri hanyalah angka dalam kalkulasi politik Netanyahu.

Di Tel Aviv, para keluarga tawanan mulai gelisah. Mereka yang tadinya mendukung serangan militer kini mulai bertanya: apakah ini benar-benar solusi? Bukankah lebih baik bernegosiasi daripada menunggu keluarga mereka pulang dalam peti mati? Hamas tahu gelombang protes ini akan datang. Mereka menanamkan bom waktu yang tidak berbunyi, tapi dampaknya jauh lebih menghancurkan: kepercayaan yang terkikis, harapan yang dipermainkan.

Sementara itu, Netanyahu menghadapi dilema. Mengalah pada tuntutan Hamas berarti menunjukkan kelemahan, tetapi terus mengabaikan nasib tawanan berarti kehilangan dukungan politik. Hamas telah menjebaknya dalam perangkap sempurna. Ini bukan lagi soal strategi militer, tetapi pertarungan tentang siapa yang bisa mengendalikan opini publik lebih baik. Dan sejauh ini, Hamas unggul tanpa perlu menembakkan satu pun peluru.

Maka, para tahanan yang tersisa itu menjadi senjata yang lebih efektif daripada rudal mana pun. Mereka tidak perlu berbicara panjang lebar, tidak perlu berteriak marah—cukup dengan wajah mereka yang hampa, suara mereka yang lelah, dan pengakuan sederhana bahwa pemerintah mereka sendiri sedang membiarkan mereka mati perlahan. Netanyahu mungkin bisa membangun tembok, tapi bagaimana ia bisa menahan ombak ketidakpercayaan yang kini mulai menggerogoti pemerintahannya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *