Opini
Perang Netanyahu, Jerat bagi Bangsanya Sendiri

Ada rasa getir yang sulit ditepis ketika melihat kenyataan yang kini bergulir di tengah jantung masyarakat Israel. Bukan karena empati itu memudar, melainkan justru karena ia semakin jelas menunjukkan bentuknya—bahwa perang yang dikobarkan demi “keamanan nasional” perlahan berubah menjadi jerat yang menawan warganya sendiri. Ketika keluarga para tawanan berbicara, ketika suara-suara dari dalam negeri sendiri mulai menggugat kerasnya keputusan politik, kita dipaksa untuk melihat bahwa logika kekuasaan kerap mengabaikan luka yang paling nyata: hilangnya manusia.
Tidak ada alasan untuk bersikap netral dalam menyaksikan tragedi kemanusiaan seperti ini. Sebagai penulis yang berpihak pada nilai hidup dan martabat manusia, saya meyakini bahwa yang tengah kita saksikan bukan sekadar kegagalan politik, melainkan kebuntuan moral yang dibiarkan terus berlarut. Ketika seorang ibu berseru bahwa ia tak lagi sanggup menanggung mimpi buruk tentang anaknya yang ditawan, lalu menyebut nama Netanyahu sebagai sosok yang menahan kebebasan anaknya, itu bukan hanya luapan emosional. Itu adalah jeritan logika, jeritan naluri seorang manusia yang telah kehilangan kepercayaannya pada kepemimpinan.
Laporan tentang meningkatnya protes internal dari keluarga para tawanan Israel di Gaza, termasuk desakan untuk mengakhiri perang, mengungkap fakta yang tak bisa dipandang sebelah mata. Di berbagai kota, mulai dari al-Quds hingga Habima Square, ratusan orang turun ke jalan. Mereka tak lagi menuntut kemenangan; mereka hanya ingin orang-orang tercinta kembali pulang. Dalam konteks seperti ini, sangat sulit untuk membenarkan narasi “penyelamatan melalui operasi militer” yang belakangan lebih sering berakhir dengan kematian, bukan pembebasan.
Yang menyedihkan, ini bukan opini kosong. Ini data yang bersumber dari militer Israel sendiri. Dari 55 tawanan yang diyakini masih berada di Gaza, sebanyak 33 telah dipastikan tewas. Hanya 20 yang diyakini masih hidup. Dua sisanya belum jelas nasibnya. Dalam angka-angka ini, kita melihat bahwa risiko bagi tawanan untuk terbunuh dalam proses penyelamatan bukan kemungkinan, melainkan kenyataan. Dan kenyataan ini tak bisa dipisahkan dari keputusan politik yang menolak penghentian perang.
Netanyahu bersikukuh melanjutkan serangan dengan dalih menekan Hamas. Tapi apa yang sebenarnya ditekan? Hamas masih bertahan, dan bahkan mampu mengatur ulang posisi politiknya. Sementara itu, keluarga-keluarga di Israel justru tertekan oleh ketakutan kehilangan. Ketika keluarga Bar Kuperstein berbicara bahwa anaknya hidup lebih dari 600 hari dalam gelap, dalam kelaparan, dan ketakutan terhadap bom yang justru dijatuhkan oleh militernya sendiri, kita tahu ada ironi besar yang tidak lagi bisa ditutup-tutupi.
Dalam masyarakat yang terus mengklaim dirinya demokratis, suara rakyat semestinya menjadi pangkal pengambilan keputusan. Tapi saat suara itu mulai menggema dengan tegas dan tak lagi percaya pada jalur militer, pemerintah justru sibuk memuluskan RUU penghindaran wajib militer bagi kelompok Haredi. Alih-alih memikirkan solusi damai, pemerintah lebih sibuk menjaga fondasi kekuasaan, bahkan jika itu harus dibayar dengan perpecahan koalisi. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, ini pengkhianatan terhadap tanggung jawab kepemimpinan.
Forum Keluarga Sandera, yang awalnya menjadi pendukung upaya penyelamatan, kini menolak keras kesepakatan parsial. Mereka tahu, sebagian kesepakatan berarti sebagian korban. Mereka sadar, penyelesaian menyeluruh adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua, bukan hanya mereka yang lebih dahulu disebut namanya dalam daftar pertukaran. Ketika keluarga Omar Neutra mengatakan bahwa “tidak akan ada yang kembali kecuali perang dihentikan”, itu bukan sikap lemah. Itu keteguhan yang lahir dari cinta dan kejujuran pada kenyataan.
Di luar gejolak internal ini, penderitaan di Gaza masih berlangsung. Rumah-rumah runtuh. Pasokan medis lumpuh. Anak-anak meninggal bukan karena peluru, tapi karena infeksi yang tak tertangani, karena dehidrasi, karena trauma. Fakta ini sudah dilaporkan dan diverifikasi oleh lembaga-lembaga internasional. Namun, perang tetap dilanjutkan. Dunia seakan terpecah: satu sisi ingin melihat akhir yang manusiawi, sisi lain tetap mendukung serangan dengan dalih “hak membela diri”.
Tapi bisakah kita membela diri dengan membunuh anak-anak? Apakah perang yang berlangsung sembilan bulan lebih ini masih bisa disebut responsif? Ataukah ia telah berubah menjadi proyek penghancuran sistematis atas satu bangsa yang tak diberi ruang untuk hidup?
Refleksi ini penting, bahkan dari posisi kita di Indonesia. Negara yang selama ini berdiri bersama Palestina juga harus mampu melihat dinamika dari dalam Israel sendiri. Kita tidak bisa terus membayangkan bahwa semua warga Israel mendukung genosida. Kini, sebagian mereka justru menjadi oposisi yang paling tulus terhadap perang. Mereka bukan aktivis, bukan politikus, bukan musuh bangsa sendiri—mereka hanya keluarga, orangtua, saudara dari mereka yang kini hidup dalam bayang-bayang kematian.
Dan di tengah protes ini, muncul pula ancaman pembubaran parlemen. Tekanan dari kelompok Haredi terhadap Netanyahu menjadi semakin kentara. Jika parlemen bubar, maka pemilu dini akan menjadi keniscayaan. Bukan tidak mungkin Netanyahu akan kehilangan dukungan, bahkan dari kalangan yang selama ini menjadi tulang punggung koalisinya. Ini bisa jadi titik balik. Tapi juga bisa menjadi jebakan baru, jika tidak dimaknai sebagai panggilan untuk perubahan kebijakan secara mendasar.
Apakah Netanyahu akan memilih untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan melanjutkan perang, meski harus kehilangan kepercayaan dari sebagian besar rakyatnya? Atau justru akan berani mengambil langkah yang lebih manusiawi dengan menerima bahwa penghentian perang bukanlah kekalahan, melainkan bentuk tertinggi dari keberanian politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya relevan bagi Israel, tapi juga untuk kita semua yang mengaku mencintai perdamaian. Apakah kita cukup berani menuntut penyelesaian yang adil dan menyeluruh? Apakah kita mampu berdiri di pihak yang paling rentan, sekalipun itu artinya berseberangan dengan kebijakan negara yang selama ini diklaim sebagai sekutu?
Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya wilayah atau reputasi politik, tapi hidup manusia. Hidup yang tak bisa dikembalikan sekali hilang. Hidup yang semestinya tidak dijadikan alat tukar atau umpan propaganda. Jika perang ini terus dilanjutkan, maka korban berikutnya bukan hanya mereka yang di medan tempur. Tapi juga kemanusiaan itu sendiri.