Opini
Perang Narasi: Trump dan Media di Persimpangan

Gedung Putih melarang beberapa wartawan dari berbagai media, termasuk Reuters, untuk menghadiri pertemuan kabinet pertama Presiden Donald Trump, sejalan dengan kebijakan baru administrasi dalam peliputan media. Seakan-akan, dalam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers, presiden punya hak prerogatif menentukan siapa yang berhak tahu kebenaran. Karena, tentu saja, kebenaran harus dikurasi oleh pemerintah agar tak menyesatkan masyarakat.
Seorang presiden yang gemar menyebut media sebagai “berita palsu” kini mengambil langkah lebih maju: memilih sendiri siapa yang boleh meliputnya. Gedung Putih tampaknya bukan sekadar pusat pemerintahan, tetapi juga rumah produksi realitas alternatif, di mana jurnalis bukan lagi pengawas kekuasaan, melainkan pengikut setia naskah yang sudah ditentukan.
Dalam skenario besar demokrasi Amerika, media seharusnya menjadi pemeran utama dalam memastikan transparansi. Namun, Trump tampaknya lebih nyaman dengan sutradara yang lebih patuh. Wartawan dari Reuters, HuffPost, dan Der Tagesspiegel, sayangnya, tidak lolos audisi. Sementara itu, Newsmax dan The Blaze, yang terkenal dengan peran mereka sebagai pendukung setia, mendapat kursi di barisan depan.
Perseteruan antara Trump dan media bukan sekadar drama politik biasa. Ini adalah opera sabun yang penuh intrik, di mana presiden memegang pena sebagai senjata dan Twitter sebagai megafon perang. Media yang tidak setuju dengannya dicap sebagai musuh rakyat. Yang tunduk, mendapatkan akses eksklusif. Kebebasan pers? Ah, itu mungkin hanya mitos liberal.
Tentu saja, keputusan ini bukan tanpa dalih. Gedung Putih berdalih bahwa mereka hanya “menata ulang akses media.” Bagaimana mungkin demokrasi bisa berjalan dengan baik jika semua orang bisa berbicara bebas? Kontrol adalah esensi ketertiban, bukan? Jika media mulai bertanya hal-hal yang tidak nyaman, mengapa tidak sekalian saja dicoret dari daftar tamu?
Tapi yang paling menarik adalah bagaimana Trump bukan hanya ingin mengontrol berita, tetapi juga bahasa. Associated Press (AP) bahkan digugat hanya karena menolak mengganti nama “Teluk Meksiko” menjadi “Teluk Amerika.” Seolah-olah geografi bisa diubah dengan dekrit presiden. Mungkin, sebentar lagi, Washington Post akan diwajibkan menulis berita dalam pujian-pujian kepada pemimpin agung.
Namun, media tidak tinggal diam. AP, Bloomberg, dan Reuters menolak tunduk, dengan mengeluarkan pernyataan yang menegaskan pentingnya pers bebas dalam demokrasi. “Rakyat berhak mendapatkan berita dari media independen,” kata mereka. Sayangnya, kata “independen” di Gedung Putih tampaknya memiliki arti lain: independen selama sejalan dengan kebijakan administrasi Trump.
Ironi terbesar adalah bagaimana presiden yang mengklaim dirinya sebagai pejuang kebebasan berbicara justru paling alergi terhadap kritik. Ia memimpin dengan pidato-pidato berapi-api tentang konstitusi, tetapi mendadak lupa pada Amandemen Pertama yang menjamin kebebasan pers. Kebebasan bagi siapa? Ah, tentu saja, bagi mereka yang setia mengabdi pada narasi resmi.
Gugatan AP terhadap Gedung Putih semakin memperjelas konflik ini. Media tidak hanya dilarang meliput, tetapi juga dicegah melaporkan hal-hal yang tidak sesuai dengan selera Trump. Jika ini bukan bentuk pembungkaman, mungkin kita butuh definisi baru tentang demokrasi—versi yang lebih fleksibel, sesuai kebutuhan penguasa.
Mungkin kita sedang menyaksikan kelahiran era baru dalam politik Amerika: era di mana narasi lebih penting dari fakta. Di mana pers bukan lagi pilar demokrasi, tetapi alat propaganda. Di mana pemerintah bukan lagi entitas yang diawasi, tetapi produser utama berita. Selamat datang di masa depan, di mana kebebasan berbicara hanya berlaku jika Anda berbicara dalam bahasa Gedung Putih.
Perang narasi ini belum berakhir. Media masih berdiri, meski dihantam dari berbagai arah. Trump dan para pendukungnya mungkin mencoba menulis ulang aturan main, tetapi sejarah menunjukkan satu hal: kebenaran selalu menemukan jalannya, meskipun harus melewati labirin sensor dan manipulasi. Pertanyaannya, siapa yang akan menang? Kebebasan pers atau realitas yang direkayasa?