Connect with us

Opini

Perang Medsos Dimulai: Strategi Baru Israel di Era Influencer

Published

on

Ketika sebuah negara mengundang para influencer muda untuk mengabadikan dirinya dalam unggahan Instagram, cerita TikTok, atau cuitan Twitter dengan gaya kekinian—dan mendanainya dengan uang negara—itu bukan sekadar diplomasi budaya. Ini adalah bentuk baru dari propaganda, yang tak lagi mengandalkan juru bicara resmi, tapi membiarkan narasi disampaikan oleh wajah-wajah muda dengan jutaan pengikut. Itulah yang sedang dirancang oleh Kementerian Luar Negeri Israel, sebagaimana dilaporkan oleh Haaretz dan dikutip oleh Al Jazeera (20 Juli 2025).

Dalam laporan itu disebutkan, pemerintah Israel tengah menyiapkan tur khusus untuk 16 influencer muda dari Amerika Serikat. Semuanya pendukung garis keras gerakan MAGA (Make America Great Again) dan agenda America First. Usia mereka di bawah 30 tahun. Audiens mereka luas, pengikut mereka di media sosial mencapai ratusan ribu hingga jutaan. Dan misi mereka, secara tersirat, sederhana namun sarat muatan politis: mengubah persepsi generasi muda Amerika terhadap Israel yang kian menurun, terutama sejak agresi brutal ke Gaza tahun 2023.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

“Kami bekerja dengan influencer, kadang dalam bentuk delegasi,” ujar salah satu sumber anonim dari Kementerian Luar Negeri Israel. “Jaringan mereka jauh lebih efektif dibandingkan pesan yang datang langsung dari kementerian.” Kalimat ini terdengar seperti pengakuan jujur: bahwa negara tak lagi memonopoli diplomasi, dan kebenaran pun bisa dibentuk oleh siapa yang lebih dahulu mengunggah dan lebih sering muncul di feed kita.

Israel tak main-main. Mereka menargetkan 550 delegasi influencer akan didatangkan hingga akhir tahun ini. Tur yang difasilitasi Israel365, sebuah organisasi sayap kanan yang menjadikan dukungan pada Israel sebagai misi keagamaan, adalah bagian dari skema itu. Organisasi ini terang-terangan menolak solusi dua negara, menyebutnya sebagai delusi. Di situs resminya, mereka menyatakan berdiri “tanpa kompromi” untuk hak ilahi Yahudi atas seluruh tanah Israel.

Maka tak heran, agenda tur ini tidak netral. Ini bukan wisata budaya atau kunjungan kemanusiaan. Para influencer akan “didorong”—dalam bahasa diplomatis, ini berarti “dibriefing” dan diarahkan—untuk menyampaikan pesan-pesan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah Israel, termasuk narasi mengenai Palestina. Mereka akan berbicara tentang perbatasan, terorisme, perdamaian, dan sejarah, tetapi hanya dari satu sisi. Satu narasi. Satu kebenaran yang telah disiapkan.

Jika pada masa Perang Dingin, Amerika mendanai Radio Free Europe untuk menyiarkan nilai-nilai Barat ke negeri-negeri Blok Timur, hari ini Israel mendanai tur influencer MAGA untuk menyebarkan simpati pada rezim yang mengokupasi wilayah, membombardir Gaza, dan mengabaikan resolusi PBB. Bedanya, dulu instrumennya radio gelombang pendek. Kini ia muncul dalam bentuk reels berdurasi 30 detik, dengan musik yang mudah diingat dan visual yang menawan.

Yang menggelisahkan adalah bahwa narasi ini disampaikan oleh wajah-wajah muda. Mereka bukan politisi tua yang kehilangan kredibilitas. Mereka adalah sosok yang sehari-hari berbagi soal gaya hidup, keluarga, bahkan kesehatan mental. Kedekatan inilah yang membuat pesan politik mereka—betapapun berat atau sepihak—jadi terasa personal. Dan karena itu, berbahaya.

Kita perlu bertanya: bagaimana sebuah negara dapat begitu masif membangun propaganda luar negeri, sementara komunitas yang menjadi korban dari kebijakannya—rakyat Palestina—terus mengalami penindasan, pengusiran, bahkan pembersihan etnis yang sistematis? Sejak Oktober 2023, serangan ke Gaza telah menewaskan lebih dari 35.000 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, dan menghancurkan infrastruktur sipil. Tapi narasi yang dibangun dari tur ini hampir pasti tidak akan menyentuh aspek itu. Tidak akan ada footage dari reruntuhan rumah di Khan Younis. Tidak akan ada pertemuan dengan keluarga yang kehilangan anak-anaknya di Rafah.

Alih-alih, mereka akan diajak ke lokasi-lokasi yang “aman”, bertemu dengan tentara Israel yang “ramah”, menyantap makanan lokal dengan nuansa eksotis, dan tentu saja—berpose dengan latar belakang Yerusalem yang damai. Sebuah skenario yang sengaja disusun untuk menutupi wajah kekerasan yang tak pernah berhenti di tanah yang sama.

Di tengah gempuran narasi seperti ini, publik dunia—termasuk di Indonesia—perlu berhati-hati. Kita tahu, ada sebagian kalangan di tanah air yang mudah terperangkap dalam politik identitas. Maka, propaganda semacam ini juga bisa dimanfaatkan untuk membenturkan umat Islam lewat isu sektarian. Tak jarang kita mendengar tudingan bahwa perjuangan membela Palestina hanya “proyek Syiah”, atau bahwa dukungan Iran terhadap perlawanan hanya bermotif ekspansi mazhab.

Padahal yang sedang terjadi di Palestina bukan konflik antar mazhab. Bukan Sunni versus Syiah. Bukan Arab versus Persia. Ini adalah konflik kolonial yang nyata: ada penjajah dan ada yang dijajah. Ada apartheid dan ada rakyat yang dikungkung di balik tembok. Dan dalam perjuangan melawan penjajahan ini, berbagai kelompok dari latar belakang yang beragam telah menunjukkan solidaritas—dari Hamas yang berbasis Sunni, hingga Hizbullah dan IRGC yang berasal dari spektrum Syiah.

Namun Israel, melalui alat-alat propagandanya, akan terus berusaha menunggangi ketegangan itu. Mereka tahu, perpecahan di tubuh umat Islam adalah keuntungan strategis. Maka tak mengherankan jika mereka bersahabat dengan kelompok Kristen Evangelis di Amerika, menganggap Islam politik sebagai musuh, dan dalam waktu yang sama mendanai tur influencer konservatif demi menciptakan ilusi bahwa dunia sudah menerima pendudukan Israel sebagai norma baru.

Di Indonesia sendiri, isu Palestina kerap menjadi pemersatu lintas ideologi dan mazhab. Namun tantangannya adalah bagaimana menjaga narasi itu tetap utuh di tengah banjir informasi, manipulasi algoritma, dan infiltrasi narasi sektarian yang menyesatkan. Pertanyaannya: apakah kita siap membangun narasi tandingan yang kuat, bukan hanya emosional, tetapi juga berbasis data dan keadilan? Apakah para pemuda kita—yang juga aktif di media sosial—akan diam saja ketika ruang digital diisi oleh propaganda yang dibiayai oleh penjajah?

Dalam dunia yang penuh noise ini, kebenaran tidak selalu muncul ke permukaan. Ia harus diperjuangkan. Ia harus diulang, ditegaskan, disampaikan dari berbagai sudut. Dan ia membutuhkan keberanian—keberanian untuk melawan arus, untuk bertanya, untuk berpihak bukan pada yang kuat, tapi pada yang dizalimi.

Tur para influencer MAGA ke Israel ini bukan peristiwa remeh. Ini bukan sekadar soal media sosial. Ini adalah strategi geopolitik. Ini adalah perang persepsi. Dan dalam perang seperti ini, netralitas adalah kemewahan yang tak bisa kita pilih. Kita tak bisa netral ketika yang satu mengabadikan senyum di Yerusalem, dan yang lain menguburkan anaknya di Gaza.

Narasi yang adil harus terus dibangun, dari ruang kelas, dari masjid, dari kantor berita, dan juga dari ruang-ruang digital kita. Kita punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa algoritma tidak mengubur realitas, bahwa pengaruh tidak menggantikan kebenaran. Sebab di ujung setiap unggahan yang dimodali negara penjajah itu, ada nyawa yang terhapus dari catatan sejarah. Jangan biarkan kita menjadi generasi yang abai.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer