Connect with us

Opini

Perang Iran-Israel dan Getaran Global: Bagaimana Indonesia Bertahan?

Published

on

Di tengah ruang sidang yang disesaki sorot kamera dan mata penasaran awak media, Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka laporan APBN 2025 dengan kalimat yang sederhana, tapi sarat makna, “Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ia kemudian menyapa dalam salam lintas agama: om swastiastu, namo buddhaya, shalom. Sebuah sapaan yang terasa seperti pelukan hangat—di tengah dunia yang semakin dingin, rapuh, dan tak pasti.

Pada hari itu, 18 Juni 2025, Indonesia berdiri di tengah pusaran dunia yang berguncang. Perang Israel-Iran yang telah memasuki hari kelima, tak hanya menebar kecemasan global, tapi juga mengguncang pasar minyak. Harga minyak mentah Brent melonjak 8 persen, dari \$70 menjadi \$78 per barel. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah denyut ketidakpastian yang mengalir dari bursa minyak dunia hingga kantong rakyat kecil—dari pedagang pasar di Medan hingga sopir angkot di Makassar.

Dunia yang Tak Lagi Tenang

Laporan Menteri Keuangan mencerminkan kegelisahan global yang kian nyata. Geopolitik bukan lagi sekadar wacana di layar berita, tapi menjadi ancaman konkret yang menyentuh langsung perekonomian rakyat. Perang di Timur Tengah hanya salah satu elemen dalam pusaran besar: ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, ditambah proyeksi defisit fiskal AS yang diperkirakan membengkak hingga $10 triliun dalam dekade mendatang, menciptakan badai global yang tak bisa diabaikan.

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat dari 3,2% pada 2024 menjadi 2,8% di 2025. Bank Dunia bahkan lebih pesimistis, menempatkan angka itu di 2,3%. Sementara itu, perdagangan global ikut terseret: dari 3,8% turun menjadi 1,7%. Indonesia, sebagai negara dengan ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas seperti batubara, nikel, dan CPO, turut merasakan dampaknya. Harga nikel turun 12% secara tahunan, batubara terkoreksi 21%, dan pasar ekspor mulai menunjukkan gejala kelelahan.

Ketahanan di Tengah Ketidakpastian

Namun di tengah gejolak tersebut, ada sisi ketangguhan yang coba dipertahankan. APBN 2025, menurut Sri Mulyani, tetap difungsikan sebagai jangkar fiskal dan tameng dari tekanan eksternal. Hingga Mei, pendapatan negara tercatat mencapai Rp995,3 triliun, atau sekitar 33,1% dari target tahunan. Dari jumlah tersebut, pajak menyumbang Rp683,3 triliun, bea cukai Rp112,9 triliun, dan PNBP Rp198,7 triliun. Khusus di bulan Mei saja, negara mengumpulkan Rp185 triliun—angka yang menunjukkan bahwa mesin pendapatan, terutama perpajakan, masih bergerak di tengah tantangan global.

Di sisi lain, belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun atau 28% dari pagu anggaran, termasuk transfer ke daerah sebesar Rp322 triliun. Defisit anggaran hanya Rp21 triliun, atau 0,09% dari PDB, jauh di bawah target tahunan 2,53%. Ini mencerminkan kehati-hatian fiskal, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa ruang fiskal kita tak tak terbatas.

Di Balik Angka, Ada Kehidupan

Yang membuat laporan ini lebih dari sekadar deretan angka adalah narasi yang menyertainya. Inflasi hingga Mei 2025 tercatat 1,6%—angka yang rendah berkat turunnya harga pangan seperti beras dan jagung. Panen raya serta intervensi stabilisasi harga dari BULOG berperan besar dalam capaian ini. Namun, stabilitas ini datang dengan konsekuensi. Harga pangan yang terlalu rendah bisa menyakiti petani. Sri Mulyani mengingatkan pentingnya menjaga harga gabah agar tidak terjun bebas—karena di balik fluktuasi itu, ada harapan seorang petani di Banyuwangi yang hanya ingin menyekolahkan anaknya dari hasil panen yang layak.

Ekonomi Domestik: Kuat tapi Tertekan

Ekonomi domestik pun menampilkan dua wajah. Indeks kepercayaan konsumen di angka 117 menunjukkan optimisme masyarakat, tetapi sektor otomotif mencatat pelemahan: penjualan mobil turun 15,1%, dan motor merosot tipis 0,1%. Di sisi lain, pertumbuhan sektor ritel tetap positif di 2,6%, dan konsumsi listrik di sektor bisnis naik 4,5%, sementara industri mencatat peningkatan 6,7%. Investasi bangunan bahkan melonjak 30% pada April.

Namun, sektor manufaktur belum pulih sepenuhnya. Indeks PMI manufaktur berada di zona kontraktif pada 47,4. Ini menandakan pelaku industri masih menahan ekspansi, mungkin karena ketidakpastian global dan tekanan biaya produksi. Meski demikian, neraca perdagangan tetap membukukan surplus sebesar $4,9 miliar di Mei, didorong oleh ekspor pertanian (naik 56,2%) dan industri pengolahan (25,8%). Sebaliknya, ekspor tambang justru menurun 26%.

Komoditas: Pilar yang Rentan

Komoditas menyumbang sekitar 10-13% dari total penerimaan negara. Namun, sektor ini paling rentan terhadap gejolak global. Harga minyak Brent saat ini masih berada di kisaran $75 per barel, di bawah asumsi APBN sebesar $82. Namun, ketegangan di Timur Tengah bisa mendorong harga jauh lebih tinggi. Sementara itu, harga CPO telah turun 18% dalam periode Januari hingga Mei, nikel anjlok 12% secara tahunan, dan batubara 21%. Angka-angka ini bukan sekadar catatan perdagangan, tapi juga mencerminkan nasib pekerja tambang di Kalimantan dan petani sawit di Riau.

Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan. Saat ini, rupiah berada di level Rp16.437 per dolar AS—melemah dibandingkan asumsi APBN sebesar Rp16.000. Pelemahan ini tentu berdampak pada biaya impor dan menekan daya beli. Di sisi hulu energi, lifting minyak hanya mencapai 567.000 barel per hari, masih jauh dari target 615.000. Ini berarti negara harus berjuang lebih keras, bukan untuk melaju, tetapi sekadar bertahan.

APBN sebagai Tameng: Cukupkah?

Sri Mulyani menekankan bahwa APBN 2025 dirancang sebagai instrumen counter-cyclical. Artinya, belanja negara dimaksimalkan untuk mengimbangi pelemahan ekonomi global. Pemerintah tetap menggulirkan stimulus untuk UMKM, sektor padat karya, perumahan, dan otomotif. Program sosial seperti makan bergizi gratis di sekolah, layanan kesehatan dasar, dan penguatan koperasi desa tetap dipertahankan. Semuanya dijalankan dengan efisiensi ketat, mengikuti arahan Inpres Nomor 1/2025.

Diskon tarif listrik, tol, dan tiket pesawat yang diberlakukan selama libur sekolah adalah salah satu contoh bagaimana pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat. Namun, tetap ada keraguan yang mengintip: jika harga minyak terus naik dan perang dagang semakin meruncing, apakah tameng ini cukup kuat untuk melindungi kita?

Jalan Panjang Menuju Ketahanan

Surplus keseimbangan primer sebesar Rp192,1 triliun menunjukkan pengelolaan fiskal yang relatif sehat. Namun, defisit Rp21 triliun tetap menjadi sinyal untuk tetap waspada. Neraca perdagangan yang surplus lima tahun berturut-turut, inflasi yang terkendali, dan struktur APBN yang adaptif adalah fondasi penting. Tetapi fondasi saja tak cukup ketika 70,8% negara dunia masuk ke zona kontraktif di sektor manufaktur. Ketika yield obligasi AS meningkat akibat kebijakan moneter yang “besar dan ambisius”, dunia menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa berjalan sendiri.

Refleksi: Peran Kita dalam Krisis Global

Laporan APBN ini bukan hanya milik pemerintah. Ia adalah cerminan kita semua. Pemerintah memang memegang kendali fiskal, tetapi sebagai warga negara, kita pun punya peran. Menghemat energi, membeli produk lokal, atau sekadar memahami bahwa setiap kebijakan pasti punya trade-off adalah bentuk kontribusi sederhana namun berarti.

Di tengah dunia yang penuh badai ini, Indonesia tetap berjalan. Dengan hati-hati, penuh kehati-hatian fiskal, dan dengan harapan yang tak padam. Maka, pertanyaannya bukan hanya “apa yang akan dilakukan pemerintah?”, tetapi juga, “apa yang bisa kita lakukan bersama?”

Sumber: Kompas TV – https://www.youtube.com/watch?v=qm6npOb02C8

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *