Connect with us

Opini

Perang Iran–Israel: AS dan Jerman Jadi Bandarnya

Published

on

Empat belas pesawat kargo militer mendarat di Israel sejak perang terbuka dengan Iran dimulai. Bukan sembarang pesawat—ini adalah armada pengangkut senjata dan perlengkapan tempur, dikirim langsung dari Amerika Serikat dan Jerman. Kementerian Pertahanan Israel tak menyangkal. Mereka menyebutnya sebagai bagian dari “dukungan keberlanjutan operasional” untuk kebutuhan militer Israel, termasuk kesiapan menghadapi serangan balasan dari Iran. Pernyataan yang, di balik kesan teknokratisnya, menyimpan kengerian yang konkret.

Karena ini bukan satu atau dua pengiriman saja. Sejak Oktober 2023, sejak serangan brutal ke Gaza dimulai, Israel telah menerima total 800 pengiriman kargo militer. Sebuah angka yang tak hanya menggambarkan skala logistik, tapi juga menunjukkan seberapa besar ketergantungan Israel terhadap sokongan militer dari kekuatan asing—dan seberapa besar pula keterlibatan negara-negara seperti AS dan Jerman dalam konflik yang mereka klaim sebagai urusan kawasan.

Amerika Serikat menjadi penyokong utama. Dari pengiriman rudal Hellfire yang dilakukan diam-diam sebelum Israel menyerang Iran, hingga gelontoran 90.000 ton perlengkapan militer selama kampanye di Gaza, Washington nyaris tak pernah berhenti menyalakan mesin perang Tel Aviv. Bahkan saat Iran meluncurkan rudal balistik sebagai balasan, sistem pertahanan Israel tak bekerja sendirian. Jet-jet tempur dan kapal perang AS ikut berjaga, melindungi bukan hanya infrastruktur Israel, tapi juga dominasi strategis Amerika di kawasan.

Jerman pun ambil bagian. Negeri yang secara historis terbelit utang moral terhadap Yahudi, kini terperangkap dalam aliansi politik yang mengaburkan batas antara dukungan politik dan partisipasi dalam kekerasan. Keterlibatannya bukan simbolik. Pesawat-pesawat yang mengangkut peralatan militer juga datang dari tanah Eropa itu—mengalir ke negara yang saat ini dikecam karena membombardir Gaza dan berkonflik terbuka dengan Iran.

Laporan dari The Cradle dan Middle East Eye bukan sekadar membongkar alur logistik. Ia memaksa kita melihat bahwa perang ini bukan hanya Iran versus Israel. Ia adalah teater besar dari hubungan saling menguntungkan antara negara pemasok senjata dan negara pemakainya. Di sinilah makna kata “bandar” menemukan relevansinya. AS dan Jerman bukan hanya pendukung. Mereka adalah penyedia: dana, rudal, sistem pertahanan, pengaruh diplomatik. Tanpa mereka, Israel tidak akan mampu bertahan dalam konflik berkepanjangan seperti ini.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, potensi eskalasi belum berhenti. Mantan Presiden AS, Donald Trump, dalam pernyataannya, menyebut sedang mempertimbangkan serangan ke fasilitas nuklir Fordow di Iran. Ia mengklaim bahwa keputusan akan dibuat dalam dua minggu. Tapi media Israel menyebut, bisa jadi ini hanya strategi pengelabuan. Serangan bisa terjadi lebih cepat. Di sisi lain, Iran mengingatkan bahwa seluruh pangkalan militer AS di kawasan sudah berada dalam jangkauan rudalnya. Titik-titik panas ini hanya butuh satu pemicu tambahan untuk mengobarkan konflik yang jauh lebih luas.

Apakah Indonesia—dengan posisi geopolitik yang jauh dari pusat konflik—berhak merasa resah? Mungkin ya. Karena di tengah retorika diplomatik yang menyerukan perdamaian, kita tahu betapa gempuran senjata, genosida atas warga sipil, dan pelanggaran terhadap hukum internasional tidak mendapat hukuman, justru diberi suplai. Dunia yang mengutuk perang di Ukraina, seakan kehilangan suara saat menyaksikan kehancuran Gaza, atau menyaksikan pesawat-pesawat kargo militer terus berdatangan ke Tel Aviv, membawa muatan yang hanya punya satu tujuan: memperpanjang penderitaan.

Ada ironi yang begitu telanjang. Negara-negara yang kerap berbicara tentang rule-based international order justru melanggar aturan yang mereka tegakkan. Yang mereka bantu bukan korban, tapi pelaku. Mereka menyalurkan rudal dan bom ke tangan kekuasaan yang telah membunuh lebih dari 37.000 warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak. Lalu ketika Iran membalas serangan itu, mereka menyebutnya sebagai “agresi”. Padahal publik internasional tahu: Israel yang menyerang duluan.

Tentu, Iran bukan tanpa cacat. Negara itu juga bermain dalam logika kekuasaan, membangun kekuatan balistik dan jaringan pengaruh regional. Tapi dalam konflik ini, kita tak sedang menimbang moralitas sempurna. Kita sedang membaca peta kekuasaan—dan siapa yang duduk di balik meja distribusi senjata. Kementerian Pertahanan Israel dengan gamblang mengakui bahwa pengiriman senjata dilakukan bersama unit-unit pembelian militer di AS dan Jerman. Ini kerja sama formal, terstruktur, dan terus berjalan.

Apa yang membuat kita lebih khawatir adalah bahwa dunia telah terbiasa. Terbiasa melihat perang, terbiasa melihat jet tempur dijual seperti barang dagangan biasa, terbiasa membaca berita tentang kematian ratusan anak hanya dalam satu pekan. Keterbiasaan inilah yang membunuh empati. Dan dengan empati yang mati, logika kemenangan atas nama pertahanan diri menjadi wacana yang dominan. Tanpa disadari, kita semua pelan-pelan terperangkap dalam normalisasi kekerasan yang disponsori negara.

Saat kita di Indonesia sibuk dengan polemik politik domestik, kita juga sedang hidup di dunia di mana perang bisa dikirim lewat kargo, dan negara yang menyuplai rudal disebut “sekutu”. Kita menonton dari jauh, tapi keterlibatan kita lebih dari sekadar penonton. Karena kebungkaman kita, apatisme kita, bisa dibaca sebagai restu—terutama jika tak ada solidaritas yang nyata. Kita bangga mengibarkan bendera Palestina, tapi diam saat negara penyumbang senjata diundang sebagai mitra ekonomi atau strategis.

Lalu pertanyaannya: siapa yang sebenarnya sedang kita dukung?

Perang ini bisa jadi berlanjut. Tapi yang paling mengerikan bukan hanya perangnya. Yang lebih gelap adalah jika dunia kehilangan keberanian untuk menyebut siapa yang menjadi bandarnya. Sebab selama itu belum dilakukan, kematian akan terus datang lewat pesawat kargo. Dan mereka yang membiayai perang akan tetap berdiri di podium, bicara tentang perdamaian.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *