Opini
Perang Iran-Israel: Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Di tengah dunia yang kian terasa rapuh, pecahnya perang terbuka antara Iran dan Israel pada 13 Juni 2025 menyisakan kegelisahan yang sulit dielak. Dua kekuatan utama di Timur Tengah akhirnya melewati batas, membawa dampak yang berpotensi mengguncang tatanan global. Selat Hormuz, yang mengalirkan 20–30% minyak dunia, terancam ditutup oleh Iran. Di sisi lain, Selat Bab al-Mandab, di bawah bayang-bayang Ansarullah Yaman, menambah ketidakpastian. Dunia menahan napas, dan Indonesia, meski jauh di Asia Tenggara, tak luput dari getaran konflik ini. Apa artinya bagi pedagang di pasar tradisional, nelayan di pesisir, atau buruh di kota-kota kita?
Perang ini bukan sekadar pertarungan regional. Selat Hormuz—jalur vital yang mengangkut sekitar 19–21 juta barel minyak per hari—adalah urat nadi ekonomi global. Dalam skenario eskalasi seperti saat ini, proyeksi Goldman Sachs memperkirakan harga minyak bisa melonjak ke $120–$157 per barel. Situasi ini mengingatkan pada embargo minyak 1973 yang membuat dunia terhuyung. Kepanikan pasar mulai terasa sejak awal April 2024 ketika rudal Iran menghantam fasilitas militer Israel dan serangan balasan dilancarkan, sebagaimana dicatat Reuters. Namun perang terbuka yang meletus pada Juni 2025 mengunci pasar global dalam ketidakpastian lebih dalam.
Indonesia tak bisa menutup mata. Sekitar 20% kebutuhan minyak mentah Indonesia berasal dari kawasan Teluk Persia. Jika harga Indonesian Crude Price (ICP) menembus di atas $100 per barel, beban subsidi bahan bakar bisa membengkak hingga Rp100 triliun, berdasarkan estimasi Kementerian Keuangan terhadap skenario harga minyak naik $10 per barel dan rupiah melemah Rp500 terhadap dolar. Pada saat ini, rupiah yang sudah berada di kisaran Rp16.000 berisiko jatuh ke Rp17.000 atau lebih. Inflasi yang sempat berada di angka 1,84% pada akhir 2024 berpotensi melonjak, memaksa Bank Indonesia menaikkan suku bunga. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi yang semula diproyeksikan 5% bisa terpangkas ke 4,6–4,8%.
Bayangkan dampaknya di kehidupan sehari-hari. Ibu-ibu di Pasar Johar Semarang harus menghadapi harga beras dan minyak goreng yang melambung. Sopir angkot di Medan harus antre BBM dengan biaya lebih mahal. Industri tekstil di Bandung, yang sangat bergantung pada bahan baku impor, mungkin terpaksa mem-PHK pekerja karena biaya produksi melonjak. Ini bukan sekadar angka di laporan keuangan, melainkan realitas yang menyentuh kehidupan jutaan orang. Kita pernah merasakan krisis bahan bakar di masa lalu—apakah kita siap menghadapi guncangan yang lebih besar kali ini?
Selat Bab al-Mandab turut menambah lapisan ancaman. Jalur ini, pintu gerbang menuju Terusan Suez, mengalirkan sekitar 10% perdagangan laut dunia. Ansarullah Yaman, sekutu Iran, telah meningkatkan serangan terhadap kapal-kapal dagang di Laut Merah sejak 2023. Akun X resmi Al Jazeera bahkan mencatat penurunan aktivitas pelabuhan Eilat Israel hingga 85% akibat serangan Ansarullah. Jika Selat ini benar-benar ditutup atau tak aman dilalui, kapal-kapal harus memutar lewat Tanjung Harapan, menambah waktu pengiriman hingga dua minggu dan meningkatkan biaya logistik hingga 20–30%, menurut laporan Lloyd’s List.
Dampaknya bagi Indonesia sangat konkret. Impor gandum dari Eropa atau pupuk dari Timur Tengah, yang biasanya melalui Terusan Suez, akan terhambat. Petani padi di Jawa Timur bisa kehilangan akses terhadap pupuk terjangkau, sementara pedagang roti di Makassar menghadapi kenaikan harga tepung. Ekspor minyak sawit dan batu bara ke Eropa pun ikut terancam, memperlebar defisit perdagangan nasional. “Gangguan di Bab al-Mandab bisa memicu krisis rantai pasok yang lebih buruk dari pandemi,” ujar Dr. Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, dalam wawancara dengan Bloomberg pada 2024.
Kini, setelah kedua selat strategis itu berada dalam bayang-bayang konflik, dunia menghadapi skenario terburuk. Jika Selat Hormuz dan Bab al-Mandab ditutup secara bersamaan, hingga 40% pasokan minyak global dan lebih dari 50% perdagangan melalui Suez bisa terganggu. Bank of America dalam laporan awal 2024 memproyeksikan harga minyak bisa menembus $150 per barel. Dengan kenyataan perang saat ini, proyeksi tersebut bukan lagi skenario hipotetik, melainkan ancaman nyata. Bank Dunia, yang sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di angka 2,3% untuk 2025, mungkin harus memangkas estimasi tersebut. Inflasi global yang sudah di ambang 2,9% bisa terdorong jauh lebih tinggi.
Indonesia akan merasakan dampak ini lebih keras dibanding banyak negara maju. Rupiah yang telah melemah 5,48% sepanjang 2024 bisa terpuruk lebih dalam pada paruh kedua 2025. Industri makanan olahan, seperti mi instan dan roti yang bergantung pada gandum impor, bisa menghentikan produksi. Warung-warung kecil di Yogyakarta atau Surabaya mungkin tak mampu membeli bahan baku dengan harga melonjak. “Krisis energi akan memukul negara-negara berkembang paling keras,” ujar Prof. Nouriel Roubini dalam kolomnya di Project Syndicate tahun lalu—dan kini peringatannya menjadi kenyataan.
Geopolitik menambah kompleksitas. Iran, bersama sekutu regionalnya seperti Ansarullah dan Hizbullah, memiliki kapasitas memperluas konflik ke kawasan lebih luas. Serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran yang terjadi pada Oktober 2024, sebagaimana dilaporkan oleh @Reuters, menjadi pemicu krusial sebelum perang terbuka pecah pada Juni 2025. Kini, Amerika Serikat dengan armadanya di Teluk Persia menyatakan kesiapan merespons jika Hormuz ditutup. Di Laut Merah, Operasi “Prosperity Guardian” yang dipimpin AS belum berhasil menghentikan serangan terhadap kapal dagang. Sementara itu, Indonesia harus bersiap melindungi ribuan TKI di Arab Saudi, UEA, dan negara Teluk lainnya. Bisakah pendekatan diplomasi bebas aktif kita meredam dampak konflik ini?
Di tengah data dan fakta, ada pertanyaan yang lebih mendasar: apa arti stabilitas dunia bagi kehidupan sehari-hari kita? Perang ini menunjukkan betapa rapuhnya tatanan global yang selama ini kita anggap stabil. Minyak dari Teluk Persia, kapal kontainer di Laut Merah—semua terhubung erat dengan keseharian kita: dari harga solar untuk nelayan di Aceh hingga ongkos angkot di Surabaya. Kita tak bisa lagi berpikir bahwa perang di sana tak menyentuh kita di sini.
Indonesia harus bergerak cepat: membangun cadangan energi nasional yang memadai, memperluas jalur perdagangan alternatif, dan memperkuat kapasitas diplomatik dalam forum internasional. Tapi, benarkah kita sudah siap?
Krisis ini adalah cermin. Dunia kini tak lagi ditentukan oleh batas negara, tapi oleh jejaring keterkaitan yang rapuh. Ketika Selat Hormuz atau Bab al-Mandab terancam, itu bukan cuma headline di media. Itu adalah ancaman nyata bagi pedagang di Tanah Abang yang kehilangan pembeli, anak-anak di desa yang putus sekolah karena penghasilan orang tuanya merosot, atau buruh di Cikarang yang terkena PHK. Kita harus bersiap—bukan hanya dengan kebijakan, tapi juga dengan kesadaran bahwa kita hidup dalam dunia yang saling terhubung. Akankah kita belajar dari krisis ini, atau hanya menunggu badai berikutnya?