Opini
Perang India-Pakistan, Indonesia Kena Imbasnya?

Di tengah malam yang pekat pada 6 Mei 2025, langit Kashmir yang dikuasai Pakistan tiba-tiba terbelah oleh ledakan-ledakan keras, gemuruhnya mengguncang desa-desa kecil yang seharusnya tengah terlelap. CNN melaporkan suara itu dengan dingin, “Loud explosions heard in Pakistan-administered Kashmir as India launches attack,” seolah-olah dunia hanya sedang menonton drama blockbuster terbaru, bukan nyawa-nyawa yang tercerabut. BBC, dalam laporan langsungnya, menulis tentang pertempuran yang kian memanas di Line of Control (perbatasan), sementara The Cradle mencatat serangan India di sembilan lokasi, menewaskan tiga warga sipil—termasuk seorang anak—dan menghantam masjid serta sekolah agama. Absurd, bukan? Di zaman ketika kita sibuk scrolling X untuk cari meme, ada anak kecil yang terbangun dari mimpinya hanya untuk menemukan akhir hidupnya.
Kengerian ini bukanlah hal baru, tapi tetap saja mengerikan. Sejak 1947, India dan Pakistan telah saling menggenggam erat sengketa Kashmir, seperti dua petinju tua yang terlalu keras kepala untuk menyerah, meski ring sudah dipenuhi darah. Council on Foreign Relations mencatat bahwa pada 2017 saja, lebih dari 3.000 serangan lintas batas terjadi, dan pada 2019, India pernah membom Balakot, Pakistan, dengan klaim menargetkan kamp teroris—meskipun akhirnya tidak ada korban sipil yang dilaporkan. Kini, di 2025, setelah serangan teror di Pahalgam pada April menewaskan 25 warga India dan satu warga Nepal, India kembali mengambil langkah keras. New Delhi bilang ini operasi “terbatas,” tapi tanyakan pada keluarga anak yang tewas itu: apa yang terbatas dari kehilangan selamanya?
Laporan dari @ME_Observer_ di X menambah lapisan drama: Pakistan membalas dengan rudal balistik dan jelajah, menargetkan situs militer India, bahkan mengklaim menembak jatuh dua jet India, termasuk Su-30 MKI. Angkatan Udara Pakistan, kata mereka, menggunakan rudal udara-ke-udara dan sistem HQ-9 dari China—senjata yang seolah jadi simbol ironi: negara yang saling membenci ini sama-sama haus akan teknologi perang dari pihak ketiga. Sementara itu, warga sipil di Kashmir hanya bisa berlindung, berharap atap rumah mereka tidak jadi sasaran berikutnya. Lucu, ya, kalau dipikir-pikir: di era di mana kita bisa memesan makanan lewat aplikasi dalam hitungan menit, kita masih belum menemukan cara untuk menghentikan perang.
Indonesia, meski jauh di Asia Tenggara, tak bisa benar-benar menutup mata. Jarak Jakarta ke New Delhi atau Islamabad memang ribuan kilometer, tapi dunia ini sudah terlalu terhubung untuk kita bisa pura-pura tak peduli. Bayangkan, kita di sini sibuk ngantri kopi susu kekinian, sementara harga minyak dunia bisa melonjak gara-gara konflik ini. Samudra Hindia, yang jadi jalur utama pengiriman minyak dari Timur Tengah, rawan terganggu kalau pertempuran meluas ke perairan. Indonesia, yang mengimpor sekitar 500.000 barel minyak per hari, bisa merasakan efeknya langsung: harga BBM naik, ongkos angkot naik, harga tempe ikut naik. Ironis, bukan? Konflik di Kashmir ternyata bisa bikin dompet kita di Jakarta ikut menjerit.
Ekonomi kita juga terancam dari sisi lain. India, mitra dagang besar dengan nilai perdagangan $20 miliar pada 2022, adalah pasar utama minyak sawit dan batu bara Indonesia. Kalau pelabuhan mereka macet karena perang, ekspor kita bisa nyangkut. Belum lagi kalau investor global panik—mereka yang biasanya ramai-ramai masuk ke IHSG bisa kabur, bikin pasar saham kita ambruk. Sementara itu, Pakistan, meski perdagangannya lebih kecil, adalah pemasok tekstil. Bayangkan kalau kain-kain itu terhenti: industri garmen di Bandung bisa kacau, dan pekerja yang sudah digaji pas-pasan harus dirumahkan. Perang di sana, penderitaan di sini—globalisasi memang pahit.
Dampak sosial juga tak kalah pelik. Ada sekitar 2.000 warga Indonesia di India, kebanyakan pelajar dan pekerja, plus kurang dari 1.000 di Pakistan. Mereka kini hidup dalam ketakutan, mungkin sedang packing tas, berharap KBRI bisa segera mengevakuasi. Bayangkan jadi mahasiswa di Delhi, yang tadinya fokus ngerjain skripsi, sekarang harus mikirin apakah besok masih aman untuk ke kampus. Pemerintah kita mungkin harus keluarin dana besar untuk evakuasi, seperti saat krisis Yaman 2015—uang yang seharusnya bisa dipakai buat bangun sekolah di desa terpencil malah dipakai untuk selamatkan nyawa dari konflik yang bukan salah kita.
Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi radikalisasi. Konflik Kashmir selalu jadi bahan bakar bagi kelompok ekstrem, dan narasi anti-India bisa menyebar ke Indonesia, negara dengan sejarah panjang melawan terorisme. Ingat bom Bali 2002? Kelompok seperti Jemaah Islamiyah (JI) bisa memanfaatkan situasi ini untuk rekrutmen, memanfaatkan kemarahan atas kematian warga sipil Muslim di Kashmir. Beruntungnya JI sudah bubar, namun simpatisanya masih tetap ada. Aparat keamanan kita harus kerja ekstra, dan itu artinya anggaran negara lagi-lagi tersedot untuk hal yang seharusnya bisa dicegah kalau dunia lebih waras.
Lalu, sejauh mana konflik ini akan berkembang? Laporan BBC menunjukkan situasi yang kian panas, dengan baku tembak di LoC dan ledakan yang mengguncang malam. Pakistan sudah membalas dengan rudal, dan klaim mereka menembak jatuh jet India—jika benar—bisa jadi pemicu eskalasi lebih besar. Tapi sejarah bilang lain: pada 2019, setelah serangan Balakot, ketegangan reda setelah pilot India dikembalikan. Tekanan internasional dari PBB, AS, dan China kemungkinan akan mendorong de-eskalasi, tapi kalau korban sipil terus bertambah, tekanan domestik di kedua negara bisa mendorong perang yang lebih luas. Ironisnya, kedua negara ini punya senjata nuklir—senjata yang seharusnya jadi penutup buku peradaban, bukan pembuka babak baru.
Apakah ini akan jadi seperti perang Ukraina-Rusia? Mungkin tidak. Ukraina-Rusia melibatkan invasi skala besar, dukungan NATO, dan sanksi global yang memicu krisis ekonomi. India-Pakistan punya dinamika berbeda: ancaman nuklir membuat perang terbuka terlalu mahal, dan keterlibatan pihak ketiga seperti China atau AS lebih ke arah mediasi, bukan konfrontasi langsung. Tapi kalau salah langkah—misalnya, serangan besar yang menewaskan ratusan warga sipil—konflik ini bisa jadi neraka dalam waktu singkat. Bayangkan: dua negara dengan 1,7 miliar penduduk saling hancur, dan dunia cuma bisa nonton sambil bikin hashtag #PrayForKashmir.
Indonesia, sebagai tetangga yang tak terlalu jauh, harus bersiap. Kita bisa dorong de-eskalasi lewat ASEAN atau OKI, tapi sikap netral kita mungkin diuji. OKI bisa mendorong kita dukung Pakistan, tapi hubungan ekonomi dengan India terlalu besar untuk diabaikan. Pilihan terbaik? Jadi penutur damai, seperti biasa. Tapi di tengah semua ini, ada rasa miris: dunia yang katanya modern ini ternyata masih sibuk perang, sementara kita di sini cuma bisa berharap harga tempe nggak ikut-ikutan meledak. Bukankah itu absurd?