Connect with us

Opini

Perang Gaza: Israel di Ujung Jalan Buntu

Published

on

Lebih dari 600 hari perang di Gaza telah berlalu, namun Israel masih terjebak dalam dua tujuan utamanya yang belum tercapai: menghancurkan Hamas dan membebaskan 58 tawanan yang tersisa. Di tengah riuh pertempuran dan kehancuran yang terus berlanjut, muncul kegelisahan yang semakin nyata di Tel Aviv. Surat kabar Israel, Maariv, menyebut perang ini sebagai “perang abadi” yang semakin sulit dipertahankan. Dunia menyaksikan Gaza dilanda kelaparan, kekacauan, dan penderitaan yang tak berkesudahan. Israel kini dihadapkan bukan hanya pada musuh bersenjata, tetapi juga pada gelombang kemarahan global yang bisa mengancam eksistensi moral dan diplomatik mereka.

Asap dan reruntuhan telah menjadi pemandangan harian. Jerit tangis warga Gaza, terutama anak-anak, menggema hingga ke ruang diplomasi internasional. Ketakutan mulai merayap di hati para pemimpin Israel. Bukan hanya karena perlawanan di medan tempur, tetapi karena tekanan dari dunia luar yang semakin intens. Di dalam negeri sendiri, para pengambil kebijakan mulai menyadari bahwa waktu untuk bertempur secara efektif semakin menipis. Maariv mengungkapkan bahwa ada “masalah mendesak” yang menuntut peninjauan ulang terhadap strategi dan arah perang.

Tekanan itu datang dari dua arah: luar dan dalam. Di Gaza, situasi kemanusiaan memburuk drastis. Kelaparan merebut harapan, bangunan runtuh menimbun kehidupan, dan masa depan tampak suram. Ini bukan lagi soal operasi militer semata, melainkan tragedi kemanusiaan yang mengundang perhatian dunia. Negara-negara Barat yang selama ini cenderung mendukung Israel—seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan Spanyol—mulai bersuara lantang mendesak gencatan senjata. Bahkan mulai terdengar bisikan tentang kemungkinan sanksi.

Bayangkan, Israel yang selama ini berdiri tegar dan dilindungi oleh aliansi kuat, kini berada di ambang keterasingan. Jika tekanan internasional ini terus berkembang, Israel bisa kehilangan sekutu penting, kehilangan simpati publik global, dan kehilangan pijakan moral di panggung dunia. Maka pertanyaannya mengemuka: sampai kapan perang ini dapat dipertahankan, dan apa hasil nyata yang telah dicapai?

Dukungan dari Amerika Serikat selama ini menjadi tameng utama Tel Aviv. Maariv bahkan menyebut AS sebagai “perisai vital” bagi keberlangsungan operasi militer Israel. Namun, perisai itu mulai menunjukkan celah. Meskipun Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap kelanjutan perang, publik tahu bahwa Trump adalah sosok yang mudah berubah haluan. Maariv dengan tajam menulis, “Trump bisa bangun esok hari dengan pendapat yang berlawanan.”

Ketidakpastian ini mengintai dari balik layar. Jika AS suatu saat menarik dukungannya, Israel tak hanya kehilangan bantuan militer, tapi juga kehilangan legitimasi politik dan moral di mata komunitas internasional. Tanpa perisai Amerika, badai tekanan global bisa menyapu Israel—secara diplomatik, ekonomi, bahkan sosial. Bisakah mereka bertahan menghadapi gelombang itu sendirian?

Di garis depan, krisis yang lebih nyata membayangi: keselamatan tentara Israel sendiri. Laporan Maariv menyebut bahwa operasi militer di Gaza kini mengancam langsung nyawa prajurit Israel yang dikirim ke wilayah padat dan rusak parah itu. Para prajurit muda dikirim ke medan yang penuh dengan jebakan, reruntuhan, dan potensi serangan balasan. Setiap sudut bisa mematikan, dan setiap langkah membawa risiko.

Di sisi lain, keluarga para tawanan tak tinggal diam. Setiap pekan, mereka menggelar konferensi pers, membawa cerita pilu dan harapan yang hampir padam. Salah satunya, Einav Zangauker, menceritakan kondisi anaknya, Matan, yang beberapa kali nyaris tewas di terowongan yang dibombardir. “Matan lolos dari pemboman berkali-kali,” katanya, suaranya dipenuhi kecemasan. Gas beracun, puing runtuhan, dan kelaparan mengintai nyawa para tawanan.

Para keluarga ini menuntut kesepakatan komprehensif untuk pembebasan semua tawanan, bukan pendekatan parsial yang dianggap mereka justru bisa menjadi hukuman mati bagi yang tertinggal. Kekecewaan mereka diarahkan langsung kepada pemerintah, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dinilai lebih mementingkan pertimbangan politik daripada nyawa manusia. Ini bukan semata soal strategi militer, melainkan pertarungan nurani. Bagaimana mungkin sebuah negara memilih terus berperang sementara anak-anak dan saudara mereka berada di ambang maut?

Pertanyaan pun muncul dari dalam: apakah kemenangan yang ingin diraih sebanding dengan harga yang dibayar? Rakyat Israel sendiri mulai menunjukkan keresahan. Protes-protes kecil mulai bermunculan. Keluarga tawanan, aktivis, dan sebagian kalangan intelektual mempertanyakan arah dan tujuan dari perang yang tak kunjung selesai ini.

Di luar Israel, kemarahan global semakin terasa. Citra-citra dari Gaza—anak-anak kelaparan, keluarga kehilangan tempat tinggal, rumah sakit hancur—menyebar luas di media sosial. Kecepatan informasi membawa penderitaan Gaza ke ponsel-ponsel di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain, ribuan orang turun ke jalan. Mereka menggalang dana, mengirim bantuan, dan menyuarakan dukungan untuk Palestina. Gelombang ini tak bisa diabaikan, dan Israel tahu bahwa kehilangan simpati publik berarti kehilangan kekuatan lunak yang penting dalam geopolitik.

Dunia kini berada di persimpangan. Pertanyaannya sederhana namun mendalam: apa makna melanjutkan perang ini? Dengan risiko yang kian berat—isolasi internasional, ancaman sanksi ekonomi, goyahnya dukungan AS, kematian tentara, dan kehancuran internal—melanjutkan perang tanpa hasil yang jelas hanya akan memperbesar kerugian. Bahkan bisa dipandang sebagai sikap keras kepala yang lebih mempertahankan gengsi politik daripada mempertimbangkan nyawa dan stabilitas.

Dalam konteks ini, menghentikan perang, seberat apa pun secara politis, justru muncul sebagai langkah paling masuk akal dan bijaksana. Gencatan senjata bisa menjadi titik balik. Tekanan internasional mungkin mereda, negara-negara Barat bisa kembali bersikap lebih lunak, dan ancaman sanksi bisa dielakkan. Dukungan dari AS bisa tetap terjaga, perisai diplomatik tetap kokoh.

Di lapangan, nyawa tentara bisa diselamatkan, dan jalan negosiasi bisa dibuka. Tawanan seperti Matan bisa memiliki peluang untuk kembali pulang, dan keluarga mereka bisa bernapas lebih lega. Di dalam negeri, ketegangan bisa mereda, protes bisa dihentikan, dan stabilitas sosial bisa kembali dibangun. Menghentikan perang bukan kekalahan—melainkan keputusan rasional demi masa depan yang lebih manusiawi.

Solidaritas dunia terhadap Palestina menunjukkan bahwa masyarakat global tidak lagi menoleransi penderitaan sipil dalam konflik bersenjata. Di Indonesia, solidaritas itu terasa nyata: dari doa di masjid hingga aksi nyata di jalan. Ini bukan sekadar simpati, tetapi suara kolektif bahwa tragedi kemanusiaan tidak boleh dibiarkan.

Mengakhiri perang bukan hanya keputusan strategis, tetapi tindakan moral. Ini tentang memilih masa depan, bukan mengulang masa lalu. Mungkin, dengan menghentikan perang, ruang untuk negosiasi dan perdamaian bisa terbuka. Jalan menuju rekonsiliasi memang panjang dan berliku, tapi kehancuran yang terus berlanjut tak akan membawa Israel pada tempat yang lebih baik.

Setelah 600 hari darah, air mata, dan kehancuran, pertanyaan mendasar harus diajukan: apa yang sebenarnya diperjuangkan? Jika perang ini hanya menghasilkan penderitaan, keretakan internal, dan kecaman global, maka melanjutkannya bukan lagi soal kekuatan, tetapi keengganan untuk mengakui kegagalan. Di titik ini, keberanian sejati bukanlah terus menekan pelatuk, tetapi berani meletakkan senjata dan memilih hidup.

Israel kini berdiri di persimpangan: terus berperang dengan segala konsekuensinya, atau berhenti dan membuka kemungkinan untuk masa depan yang lebih damai. Dunia menunggu jawabannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *