Opini
Perang Dunia III di Depan Mata

Langit kelabu menyelimuti Eropa Timur, di mana dentuman peluru dan gemuruh jet tempur menggema di kejauhan. Di balik kabut ketidakpastian, ancaman mengerikan mengintai: perang global yang dapat mengubah dunia. Sergey Shoigu, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Rusia, memperingatkan bahwa Moskow berhak melancarkan serangan nuklir sebagai respons terhadap “agresi Barat,” merujuk pada amandemen doktrin nuklir Rusia. Peringatan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan ketegangan yang kian memuncak.
Laporan dari TASS mengungkapkan bahwa Rusia memantau ketat persiapan militer negara-negara Uni Eropa, terutama rencana penempatan pasukan ke Ukraina sebagai bagian dari “perjanjian damai.” Shoigu menegaskan, serangan konvensional terhadap Rusia atau sekutunya, Belarus, dapat memicu respons nuklir. Doktrin nuklir Rusia, yang diperbarui November lalu, kini mencakup skenario di mana agresi dari negara non-nuklir yang didukung negara nuklir dianggap sebagai “serangan bersama.” Ini menargetkan Barat, khususnya AS dan NATO.
Konflik Ukraina menjadi pusat badai ini. Ukraina, dengan dukungan senjata jarak jauh dari Barat, telah melancarkan serangan ke wilayah Rusia, memicu kemarahan Moskow. Presiden Vladimir Putin memperluas daftar kondisi untuk respons nuklir, termasuk ancaman terhadap kedaulatan Rusia. Sementara itu, Uni Eropa, meski terlibat dalam proses perdamaian yang dimediasi Presiden AS Donald Trump, tetap berkomitmen memasok senjata ke Kiev dan meluncurkan “ReArm Europe Plan” senilai €800 miliar untuk militerisasi.
Rencana UE ini mencerminkan tekad untuk memperkuat pertahanan, namun juga memperdalam jurang dengan Rusia. Shoigu menyoroti wacana Prancis dan Inggris untuk mengerahkan pasukan ke Ukraina pasca-gencatan senjata, menyebutnya sebagai langkah menuju konfrontasi langsung dengan NATO. Rusia memandang pasukan asing di Ukraina sebagai “penjajah,” bukan penjaga perdamaian, dan menganggapnya target sah. Ancaman ini bukan isapan jempol, mengingat Rusia telah menentang kehadiran militer NATO di Ukraina sejak sebelum konflik 2022.
Sejarah memperkuat kekhawatiran Rusia. Shoigu mengklaim Inggris telah membangun pangkalan angkatan laut di Ochakov, Ukraina, sebelum perang, untuk melatih pasukan khusus Kiev dan melakukan operasi anti-Rusia. Perjanjian “100 Year Partnership” antara Kiev dan London, yang mencakup pembangunan infrastruktur militer, semakin memanaskan situasi. Rusia memandang langkah ini sebagai bagian dari strategi Barat untuk menjadikan Ukraina benteng anti-Rusia, memperbesar risiko konflik yang lebih luas.
Eskalasi tidak hanya terjadi di Ukraina. Negara-negara Baltik—Estonia, Latvia, Lithuania—menjadi medan ketegangan baru. Jerman, dengan anggaran pertahanan tambahan €100 miliar, telah memperkuat kehadiran NATO di Lithuania. NATO menggelar latihan besar seperti Baltops di Laut Baltik, mengerahkan 40.000 pasukan dan 15.000 peralatan militer dekat perbatasan Rusia pada 2021. Rusia menanggapinya dengan memindahkan senjata nuklir taktis ke Belarusia dan latihan militer di wilayahnya.
Ancaman Shoigu bahwa penempatan pasukan NATO di Ukraina dapat memicu Perang Dunia III bukanlah hiperbola kosong. Pasal 5 NATO menjamin pertahanan kolektif, sehingga serangan terhadap anggota seperti negara Baltik akan menyeret aliansi ke konflik langsung dengan Rusia. Rusia, dengan arsenal nuklir terbesar di dunia, memiliki kemampuan untuk menghancurkan, meskipun ekonominya terkendala sanksi dan kerugian di Ukraina membatasi kapasitas perang konvensionalnya.
Namun, apakah dunia benar-benar di ambang kehancuran? NATO, dengan sumber daya militer dan ekonomi yang jauh lebih besar, memiliki insentif untuk menghindari perang terbuka. Doktrin nuklir Rusia sendiri menyebut senjata nuklir sebagai “langkah ekstrem,” menunjukkan keengganan untuk eskalasi kecuali dalam situasi kritis. Saluran komunikasi militer antara NATO dan Rusia tetap terbuka, dan mediasi damai di Ukraina menawarkan secercah harapan untuk meredakan ketegangan.
Meski begitu, risiko miskalkulasi tidak bisa diabaikan. Insiden kecil, seperti bentrokan di Baltik atau serangan Ukraina yang salah sasaran, dapat memicu respons berlebihan. Pada 2021, kapal perang Inggris HMS Defender nyaris bentrok dengan pasukan Rusia di Laut Hitam, menunjukkan betapa rapuhnya situasi. Ketegangan di Laut Baltik juga meningkat, dengan Rusia mengancam respons jika aksesnya dibatasi. Satu kesalahan bisa mengubah ketegangan menjadi bencana.
Eropa tampaknya tidak akan mundur. Swedia dan Finlandia, yang kini bergabung dengan NATO, memperluas kehadiran aliansi di dekat Rusia. Inggris menaikkan anggaran pertahanan menjadi 2,5% PDB pada 2027, sementara Polandia dan negara Baltik mendesak NATO untuk memperkuat pertahanan. Ancaman nuklir Rusia justru memperkuat solidaritas NATO, dengan Pasal 5 sebagai jaminan bahwa serangan terhadap satu anggota akan dijawab bersama. Mundur berarti melemahkan kredibilitas aliansi.
Namun, solidaritas ini bukan tanpa cela. Jerman, meski meningkatkan militerisasi, cenderung lebih hati-hati dibandingkan Polandia atau Baltik, yang bersikap hawkish. Ketergantungan Eropa pada AS, yang mungkin berkurang di bawah pemerintahan Trump, memaksa UE untuk membangun otonomi pertahanan, sebuah proses yang memakan waktu. Ketidaksepakatan internal ini bisa memperlambat respons NATO, tetapi tidak akan menghentikan komitmen mereka untuk mempertahankan Eropa Timur dari ancaman Rusia.
Di sisi lain, Rusia juga terjebak dalam dilema. Sanksi Barat dan kerugian di Ukraina melemahkan ekonominya, namun ancaman nuklir tetap menjadi kartu truf. Rusia tidak mampu mempertahankan perang global melawan NATO, tetapi kemampuan nuklirnya memastikan bahwa setiap konfrontasi akan memiliki konsekuensi mengerikan. Strategi Moskow tampaknya lebih fokus pada pencegahan, menggunakan retorika keras untuk mencegah Barat mengambil langkah berani seperti mengerahkan pasukan ke Ukraina.
Lalu, apa yang mencegah dunia terjerumus ke dalam perang? Diplomasi, meski rapuh, tetap menjadi penyelamat. Mediasi Trump di Ukraina, meskipun kontroversial, menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk negosiasi. NATO dan Rusia, meski saling bermusuhan, memiliki saluran komunikasi untuk mencegah miskalkulasi. Keduanya menyadari bahwa perang nuklir tidak akan menghasilkan pemenang, hanya kehancuran. Namun, kesadaran ini tidak menjamin keamanan, karena sejarah telah menunjukkan bahwa perang sering dimulai dari kesalahan kecil.
Perang Dunia III mungkin belum di depan pintu, tetapi bayangannya mengintai di cakrawala. Ketegangan antara Rusia dan NATO, yang diperparah oleh konflik Ukraina dan militerisasi Eropa, menciptakan dunia yang berjalan di atas tali tipis. Setiap langkah—baik penempatan pasukan NATO, serangan Ukraina, atau respons Rusia—membawa risiko eskalasi. Dunia harus belajar dari pelajaran Perang Dingin: hanya melalui dialog, kewaspadaan, dan pengendalian diri, ancaman ini dapat dicegah.
Masa depan tergantung pada keputusan para pemimpin. Apakah mereka akan memilih jalan diplomasi atau terjebak dalam spiral konfrontasi? Shoigu menyebut pasukan Barat sebagai “penjajah,” sementara NATO melihat diri mereka sebagai pembela kebebasan. Di antara retorika dan senjata, nasib dunia dipertaruhkan. Perang Dunia III bukanlah keniscayaan, tetapi tanpa langkah bijak, cakrawala kelabu itu bisa menjadi kenyataan yang menakutkan, mengubah dunia menjadi puing-puing.