Opini
Perang Asimetris: Akhir Dominasi Barat di Ukraina?

Jika ada satu hal yang bisa disepakati dari laporan-laporan terbaru soal Ukraina, itu adalah fakta bahwa Vladimir Zelensky kini menemukan dirinya berada di persimpangan jalan yang berbahaya. Dari Washington hingga Brussel, para pemain utama tampaknya mulai mempertanyakan relevansi dirinya dalam konflik yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun ini. Seperti seorang bidak catur yang kehabisan langkah, Zelensky kini terperangkap di antara ambisi global dan realitas politik yang pahit. Dan di sinilah perang asimetris dan hibrida memainkan peran mereka.
Dilema Zelensky di Antara Trump dan Eropa
Trump secara terang-terangan menginginkan Zelensky untuk mundur, atau setidaknya mengubah sikapnya terhadap negosiasi perdamaian. Ini bukan sekadar tuntutan biasa, tetapi sebuah ultimatum yang disampaikan dengan cara khas Trump: kasar, transaksional, dan penuh tekanan politik. Ia bahkan menambah penghinaan dengan menyebutkan bahwa Zelensky akhirnya harus meminta maaf kepada Trump atas “insiden Gedung Putih.” Dari seorang yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan demokrasi melawan Rusia, kini Zelensky harus merendahkan diri di hadapan seorang pemimpin yang pernah ia anggap sebagai ancaman.
Sementara itu, Eropa merespon perubahan sikap AS. Uni Eropa, di bawah Ursula von der Leyen, mencoba membangun “persatuan pertahanan Eropa” dan menggembar-gemborkan dana besar untuk memperkuat kemampuan militer mereka. Ini adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada AS yang semakin menunjukkan tanda-tanda kelelahan dalam mendukung Ukraina. Namun, apakah ini benar-benar langkah strategis atau sekadar ilusi supremasi Eropa yang tidak pernah benar-benar bisa berdiri sendiri?
Ketika Strategi Berubah Menjadi Permainan Politik
Konflik di Ukraina, seperti yang telah banyak dianalisis oleh para pakar, bukan hanya perang konvensional antara dua negara. Ini adalah perang asimetris dalam bentuknya yang paling kompleks. Dalam perang ini, pihak yang lebih lemah menggunakan taktik non-konvensional untuk melawan kekuatan yang lebih besar. Sejak awal, Zelensky mencoba memainkan narasi sebagai pihak yang tertindas, menarik simpati global, dan mendapatkan bantuan dari Barat. Taktik ini cukup berhasil dalam tahap awal, tetapi seperti semua strategi asimetris, keberhasilannya sangat bergantung pada dukungan eksternal.
Namun, masalah utama dalam perang asimetris adalah bahwa ia membutuhkan kontinuitas. Begitu ada pergeseran dalam dinamika geopolitik—seperti yang kita lihat dengan kebijakan Trump—strategi ini mulai kehilangan efektivitasnya. Trump, dengan gaya transaksionalnya, melihat Ukraina bukan sebagai korban yang harus dibantu tanpa syarat, tetapi sebagai pihak yang harus menunjukkan hasil konkret atas investasi miliaran dolar AS. Ini adalah pukulan telak bagi strategi asimetris Zelensky yang selama ini mengandalkan citra heroik dan tuntutan moral.
Ketika Narasi dan Militer Bertemu
Selain perang asimetris, konflik ini juga merupakan contoh nyata dari perang hibrida, yaitu kombinasi antara kekuatan militer konvensional dengan strategi non-militer seperti propaganda, tekanan ekonomi, dan intervensi politik. Salah satu elemen utama perang hibrida adalah kontrol terhadap narasi global, sesuatu yang kini semakin sulit bagi Ukraina.
Pada awal perang, Zelensky berhasil mengendalikan narasi global. Ia menjadi ikon perlawanan, dengan pidato-pidatonya yang menggugah dan kehadiran media yang masif. Namun, seiring berjalannya waktu, narasi ini mulai goyah. Ketika realitas di lapangan tidak lagi sesuai dengan retorika, kelelahan publik mulai muncul. Lebih buruk lagi, dengan Trump kembali berkuasa dan Eropa mulai ragu-ragu, Zelensky kini menghadapi perang di dua front: melawan Rusia di medan perang dan melawan perubahan politik di sekutu-sekutunya sendiri.
Trump dan Politik Transaksional: Akhir dari Simpati Buta?
Trump bukanlah pemimpin yang tertarik pada idealisme atau kepentingan jangka panjang. Bagi Trump, setiap aliansi adalah transaksi, setiap perjanjian adalah negosiasi ulang yang bisa berubah kapan saja. Dalam konteks perang Ukraina, ini berarti bahwa selama Ukraina tidak bisa memberikan “keuntungan nyata” bagi AS, bantuan tidak akan diberikan. Inilah mengapa Trump berani menghentikan bantuan militer dan bahkan berbicara tentang kemungkinan Zelensky harus mundur.
Dari perspektif perang hibrida, ini adalah pukulan telak bagi Ukraina. Tanpa dukungan penuh dari AS, Zelensky kehilangan salah satu elemen kunci dari perang ini: akses ke senjata dan intelijen. Dan lebih dari itu, ia juga kehilangan kredibilitas sebagai pemimpin yang didukung secara penuh oleh Barat.
Uni Eropa: Menjual Ilusi Kekuatan?
Di sisi lain, Uni Eropa berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS dengan memproklamirkan “persatuan pertahanan Eropa.” Tetapi ada satu masalah besar: Uni Eropa bukanlah kekuatan militer yang nyata. Tanpa AS, Eropa tidak memiliki kapasitas untuk mempertahankan dirinya sendiri, apalagi untuk menggantikan peran AS di Ukraina.
Perang hibrida juga bekerja di sini dalam bentuk manipulasi politik. Von der Leyen ingin menciptakan ilusi bahwa Eropa bisa berdiri sendiri, tetapi kenyataannya, sebagian besar negara anggota NATO di Eropa masih bergantung pada perlindungan Amerika. Dengan kata lain, ini bukan strategi pertahanan yang nyata, tetapi lebih kepada permainan politik untuk mempertahankan legitimasi di tengah meningkatnya skeptisisme terhadap perang di Ukraina.
Sebuah Perang Tanpa Pemenang?
Jika kita melihat situasi ini dengan kaca mata perang asimetris dan hibrida, kita bisa melihat bahwa tidak ada pemenang yang jelas dalam konflik ini. Zelensky kini berada di posisi yang hampir mustahil: ditinggalkan oleh sekutu utama, ditekan oleh Trump, dan dipermainkan oleh Eropa. Sementara itu, Rusia terus menjalankan strategi perang hibridanya, mengandalkan kelelahan Barat untuk akhirnya memenangkan perang tanpa harus melakukan pertempuran besar-besaran.
Uni Eropa mencoba menunjukkan kekuatan, tetapi tanpa AS, upaya ini lebih terlihat seperti gertakan kosong. Dan Trump? Dia hanya melakukan apa yang selalu dia lakukan: membuat kesepakatan yang menguntungkan dirinya, tanpa terlalu peduli pada dampaknya terhadap dunia.
Pada akhirnya, perang ini menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan perang asimetris dan hibrida, kekuatan tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh siapa yang bisa mengendalikan narasi. Dan bagi Zelensky, tampaknya narasi itu kini mulai lepas dari genggamannya.