Opini
Penyiksaan Sistematis: Kekejaman Israel terhadap Tawanan Palestina

Laporan terbaru dari The Independent mengungkap praktik brutal yang dilakukan Israel terhadap tahanan Palestina. Kesaksian mantan tahanan, laporan autopsi, dan bocoran dokumen militer menunjukkan bahwa mereka mengalami penyiksaan fisik dan psikologis yang mengerikan. Beberapa tahanan dipukuli hingga organ dalam mereka rusak, yang lain mengalami pelecehan seksual, kelaparan, dan pengabaian medis. Kejahatan ini bukan hanya insiden terisolasi, melainkan bagian dari sistem yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Seorang tahanan yang diculik dari rumahnya tanpa dakwaan menceritakan bagaimana ia dipukuli oleh lima tentara cadangan Israel di sebuah pangkalan militer. Ia disetrum, dipukul hingga tulang rusuknya patah, dan mengalami serangan seksual yang begitu parah hingga memerlukan operasi rektal. Beberapa lainnya dijebloskan ke ruangan sempit dan disiksa dengan musik keras tanpa henti. Seorang mantan tahanan menyebut ruangan itu sebagai “disco penyiksaan,” tempat suara bising digunakan untuk melemahkan mental mereka sebelum interogasi.
Metode kejam ini bukanlah kebijakan spontan atau tindakan oknum. Sejak 7 Oktober 2023, jumlah tahanan Palestina meningkat drastis menjadi lebih dari 10.000 orang, banyak di antaranya ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan. Beberapa bahkan meninggal dalam tahanan akibat luka yang mereka derita. Autopsi terhadap seorang tahanan yang meninggal di penjara Megiddo menunjukkan adanya tulang rusuk patah, pendarahan internal, dan luka lebam di seluruh tubuhnya, indikasi jelas bahwa ia mengalami penganiayaan berat sebelum kematiannya.
Di fasilitas seperti Sde Teiman dan Ofer, penyiksaan menjadi bagian dari rutinitas. Seorang tentara Israel yang bekerja sebagai penjaga di Sde Teiman mengungkap bahwa ia diperintahkan untuk bersikap brutal terhadap para tahanan. Ketika ia mempertanyakan tindakan itu, atasannya mencemoohnya dengan mengatakan, “Diam kau, mereka ini Gazans, mereka teroris, ada apa denganmu?” Perintah ini menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap tahanan bukan hanya diizinkan, tetapi juga didorong oleh struktur militer Israel.
Selain pemukulan dan penyiksaan fisik, pengabaian medis menjadi senjata lain yang digunakan untuk memperlakukan tahanan secara kejam. Salah satu kasus paling tragis adalah kematian Dr. Adnan al-Bursh, seorang dokter terkenal Palestina yang ditangkap tanpa alasan jelas. Saat ditahan di Ofer, berat badannya turun drastis dari 90 kg menjadi sekitar 55 kg akibat kekurangan makanan dan perawatan medis. Tahanan lain yang memiliki kondisi kesehatan kritis dibiarkan tanpa pengobatan hingga akhirnya meninggal akibat komplikasi yang sebenarnya bisa dicegah.
Komite Palang Merah Internasional, yang biasanya diberikan akses ke tahanan dalam konflik, telah dilarang memasuki pusat-pusat penahanan Israel sejak perang di Gaza dimulai. Ini pertama kalinya dalam sejarah bahwa Israel sepenuhnya menutup akses bagi lembaga kemanusiaan global ke dalam sistem penjaranya. Langkah ini menunjukkan bahwa Israel tidak hanya melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga secara aktif menutupinya agar dunia tidak mengetahui kebrutalan yang terjadi di balik jeruji.
Jika ditelusuri ke belakang, metode penyiksaan yang digunakan Israel saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Praktik ini memiliki akar sejarah panjang, diwarisi dari berbagai sumber, termasuk Inggris, Nazi Jerman, Prancis, dan bahkan Amerika Serikat. Ketika Inggris menguasai Palestina di bawah Mandat Britania (1920-1948), mereka menerapkan kebijakan penahanan administratif, di mana orang-orang bisa ditangkap dan dipenjara tanpa proses hukum. Kebijakan ini diadopsi oleh Israel dan masih berlangsung hingga hari ini, memungkinkan ribuan warga Palestina dipenjara tanpa tuduhan yang jelas.
Selain sistem penahanan tanpa pengadilan, Inggris juga menerapkan metode penyiksaan dalam interogasi terhadap pejuang kemerdekaan Arab dan Yahudi pada masa itu. Pemukulan, penyiksaan psikologis, dan pengabaian medis adalah hal biasa dalam taktik kolonial Inggris. Setelah Israel berdiri pada 1948, banyak kebijakan dan teknik represif ini tetap dipertahankan dan disempurnakan untuk menekan perlawanan Palestina.
Ironisnya, beberapa metode yang digunakan Israel hari ini juga mencerminkan kekejaman yang dilakukan Nazi Jerman terhadap tahanan selama Perang Dunia II. Eksperimen medis, kelaparan sistematis, dan perlakuan brutal terhadap tahanan politik adalah bagian dari sistem kamp konsentrasi Nazi. Beberapa pemimpin militer dan politik Israel adalah korban Holocaust atau menyaksikan langsung kekejaman Nazi. Alih-alih menolak metode ini, mereka justru menggunakannya dalam konflik dengan Palestina, seolah-olah penderitaan mereka di masa lalu menjadi justifikasi untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Di luar Eropa, Israel juga terinspirasi oleh metode kolonial Prancis dalam Perang Aljazair (1954-1962). Saat menghadapi perlawanan dari Front Pembebasan Nasional (FLN), militer Prancis mengembangkan teknik interogasi brutal, termasuk pemukulan ekstrem, waterboarding, dan penyiksaan listrik terhadap alat kelamin tahanan. Taktik ini kemudian diketahui digunakan oleh Israel dalam interogasi terhadap tahanan Palestina, menunjukkan bahwa mereka mencontoh taktik kolonial Prancis dalam menghadapi perlawanan rakyat yang mereka jajah.
Setelah peristiwa 9/11, Amerika Serikat mulai mengembangkan metode interogasi yang lebih keras terhadap tersangka terorisme, terutama di fasilitas seperti Abu Ghraib di Irak dan Guantanamo Bay di Kuba. Banyak dari teknik yang digunakan AS, seperti sleep deprivation (kurang tidur), penggunaan suara bising untuk penyiksaan psikologis, dan posisi stres yang menyakitkan, mirip dengan metode yang telah lama diterapkan Israel terhadap tahanan Palestina. Intelijen AS dan Israel saling berbagi teknik ini, menjadikan kedua negara sebagai pelaku utama dalam praktik penyiksaan modern.
Hari ini, Israel menggabungkan semua warisan penyiksaan ini ke dalam sistem penjaranya. Mereka menggunakan kombinasi pemukulan brutal, penyiksaan listrik, pelecehan seksual, serta penyiksaan psikologis dengan suara bising dan isolasi untuk menghancurkan mental tahanan. Penahanan administratif, yang awalnya diterapkan Inggris, masih digunakan untuk menahan ribuan warga Palestina tanpa alasan jelas. Metode Nazi dalam merendahkan dan melemahkan tahanan secara sistematis juga terlihat dalam kebijakan Israel. Sementara itu, inspirasi dari Prancis dan AS terus memperkaya teknik interogasi mereka.
Penyiksaan ini bukan hanya kejahatan perang, tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, dunia tampaknya membiarkan Israel bertindak tanpa konsekuensi nyata. Dukungan politik dan militer dari Amerika Serikat serta lemahnya tekanan dari komunitas internasional membuat Israel merasa bisa terus melakukan kekejaman ini tanpa takut dihukum. Pertanyaannya kini, sampai kapan dunia akan membiarkan kejahatan ini berlangsung? Apakah Palestina akan selamanya menjadi laboratorium penyiksaan bagi rezim yang terus memperluas penjajahannya?