Connect with us

Opini

Penyiar TV Jerman: Binatang Punya Martabat, Palestina Tak Punya?

Published

on

Bettina Boettinger, pembawa acara veteran dari Jerman, baru saja memberikan pernyataan yang menggelikan sekaligus mencerminkan betapa dalamnya jurang hipokrisi yang ada dalam masyarakat Eropa. Ketika berbicara tentang Palestina, Boettinger dengan tegas menyebut mereka yang merayakan pertukaran sandera sebagai “lebih buruk dari binatang.” Katanya, “Binatang saja punya martabat, yang mereka ini tidak punya.” Benar-benar sebuah pernyataan yang membuat kita terhenyak. Seorang tokoh media, yang telah lama bekerja di WDR, mengeluarkan kalimat yang bahkan di dunia mana pun tak pantas untuk diucapkan, apalagi oleh seorang yang dianggap pilar dari peradaban tinggi.

Bisa dibayangkan jika seseorang dari negara berkembang yang mengucapkan kata-kata semacam ini. Dunia akan geger, media akan menyudutkan mereka habis-habisan. Namun, yang terjadi kali ini adalah kebalikannya. Dari negara yang mengklaim diri mereka sebagai penjaga hak asasi manusia, sebuah pernyataan dehumanisasi semacam itu seolah dianggap angin lalu. Tidak ada respons keras dari pihak yang berwenang, hanya diam. Seakan kata-kata itu hanya sekedar angin yang lewat, yang tidak perlu dianggap serius. Dimana suara moralitas dunia? Di mana rasa kemanusiaan yang katanya dijunjung tinggi oleh negara maju?

Inilah kenyataannya. Negara-negara maju sering kali menilai diri mereka berada di puncak peradaban, sementara negara berkembang seperti kita, bahkan merasa tak punya hak untuk bersuara keras tentang nilai-nilai kemanusiaan. Seakan-akan hanya mereka yang bisa menentukan siapa yang layak dihargai dan siapa yang tidak. Jika kita meminjam analogi, ini seperti anak kecil yang terus meneriakkan bahwa mereka lebih pintar dan lebih bijaksana hanya karena mereka dibesarkan di lingkungan yang lebih nyaman. Tanpa peduli, banyak orang yang sebenarnya jauh lebih bijaksana, meski hidup dalam keterbatasan.

Tapi ini bukan soal siapa lebih pintar atau lebih bijaksana. Ini soal martabat manusia. Dan saat Boettinger berbicara tentang binatang yang punya martabat, dia seakan-akan lupa bahwa manusia, apalagi mereka yang terjebak dalam perang dan penderitaan seperti rakyat Palestina, juga punya martabat. Jika martabat hanya diberikan kepada mereka yang ‘berstatus politik’ tertentu, apakah ini yang kita sebut peradaban? Apakah ini yang mereka sebut sebagai ‘nilai-nilai universal’ yang seharusnya melindungi setiap manusia tanpa memandang latar belakang atau kebangsaan?

Kita bisa membayangkan betapa konyolnya sebuah dunia yang menganggap dehumanisasi adalah hal biasa, hanya karena posisi politik atau kekuatan yang dimiliki oleh negara tertentu. Ini seperti melihat seorang raja yang sedang asyik menyantap hidangan lezat di meja makan, sementara di luar sana, rakyatnya kelaparan dan sedang berjuang untuk bertahan hidup. Dan raja itu, dengan santainya, menyebut rakyatnya sebagai “lebih buruk dari binatang” karena mereka memilih untuk merayakan momen kecil dalam hidup mereka, seperti pertukaran sandera.

Apa yang dilakukan Boettinger adalah bentuk diskriminasi yang bahkan lebih berbahaya daripada sekadar kebencian biasa. Ini adalah upaya untuk membatalkan hak mereka yang telah lama terpinggirkan. Ini adalah cara untuk mengatakan kepada dunia bahwa penderitaan orang lain tidak berarti apa-apa. Bahwa manusia yang terperangkap dalam perang adalah “tidak layak” untuk dihargai. Dan yang lebih memalukan, ini dilakukan oleh seseorang yang dipandang sebagai simbol dari ‘peradaban’ tinggi.

Pada akhirnya, kita harus bertanya, jika ini yang mereka sebut “peradaban tinggi,” apa sebenarnya yang sedang terjadi di dunia ini? Apakah kita hanya hidup dalam dunia di mana peradaban diukur dengan seberapa banyak teknologi atau kemewahan materi yang dimiliki? Atau apakah peradaban seharusnya diukur dengan seberapa besar kita menghargai kehidupan manusia, terlepas dari siapa mereka atau di mana mereka tinggal? Jika Boettinger dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan, maka ini bukan hanya kegagalan individu, tetapi kegagalan sebuah masyarakat yang mengklaim dirinya beradab.

Apa yang terjadi saat ini bukan hanya soal Palestina, bukan hanya soal perang, tetapi soal bagaimana kita melihat martabat manusia. Jika kita membiarkan komentar semacam ini berlalu begitu saja, kita memberi lampu hijau untuk lebih banyak dehumanisasi. Kita menormalisasi cara pandang yang hanya melihat sebagian orang sebagai manusia dan sebagian lainnya sebagai objek yang bisa diremehkan. Inilah yang sesungguhnya terjadi dalam dunia yang katanya maju: kemunafikan yang disembunyikan di balik kedok peradaban tinggi. Dan jika kita diam, maka kita turut berkomplot dalam penindasan itu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *