Opini
Penundaan Pengakuan Palestina: Cermin Ketidakseriusan Barat

Berita terbaru tentang penundaan Inggris dan Prancis dalam mengakui negara Palestina di konferensi PBB di New York bukan sekadar keputusan diplomatik biasa. Ini adalah cermin nyata ketidakseriusan Barat dalam memperjuangkan keadilan bagi Palestina. Dalam sebuah dunia yang penuh penderitaan dan konflik yang berkepanjangan, pengakuan terhadap negara Palestina seharusnya menjadi langkah moral dan politik yang tegas. Namun, kenyataannya, negara-negara besar ini justru memilih menunda dan mengulur waktu dengan berbagai syarat yang memberatkan. Keputusan ini menegaskan bahwa dukungan mereka selama ini lebih banyak bersifat retorika, alat politik untuk mendapatkan simpati domestik, bukan perjuangan tulus untuk hak-hak rakyat Palestina.
Prancis, yang sempat gembar-gembor soal pengakuan sebagai “kewajiban moral”, akhirnya membatalkan rencana itu dan menggantikannya dengan serangkaian syarat yang hampir mustahil dipenuhi Palestina: gencatan senjata permanen, pembebasan tahanan Israel, reformasi otoritas Palestina, dan pengakhiran kekuasaan Hamas di Gaza. Bukankah ini sebuah permainan politik yang jelas-jelas melemahkan posisi Palestina? Di balik janji-janji itu, tersirat keengganan untuk benar-benar mengambil risiko dalam menghadapi tekanan dari sekutu lama seperti Amerika Serikat dan Israel. Inilah wajah asli Barat yang selama ini menggunakan isu Palestina sebagai alat untuk mengamankan dukungan publik dalam negeri mereka—mendapatkan pujian dan simpati tanpa harus benar-benar mengubah keadaan di lapangan.
Kita harus jujur, Barat sering mengumbar kata-kata tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan. Namun ketika harus bertindak, mereka memilih cara yang aman dan nyaman, yakni menunggu persetujuan Israel terlebih dahulu—sebuah syarat yang hampir mustahil. Fakta bahwa 147 negara sudah mengakui negara Palestina, namun Eropa yang katanya menjadi pusat demokrasi masih takut melangkah sendiri, menunjukkan bahwa klaim mereka hanya sebatas lip service. Di balik panggung diplomasi, kepentingan geopolitik dan hubungan strategis dengan Israel dan AS jauh lebih kuat daripada solidaritas kemanusiaan. Ini bukan hanya soal Palestina, ini soal integritas moral Barat yang terus dipertanyakan.
Persyaratan yang diajukan kepada Palestina adalah contoh nyata dari bagaimana Barat menggeser beban tanggung jawab ke pihak yang tertindas. Menuntut gencatan senjata permanen dan reformasi internal sebelum pengakuan negara sama artinya dengan menunggu keajaiban dari rakyat Palestina yang terus hidup di bawah tekanan dan kekerasan. Sementara itu, Israel terus melanjutkan ekspansi permukiman ilegal yang diakui oleh menteri pertahanannya sendiri sebagai “langkah strategis” untuk mencegah berdirinya negara Palestina. Ini bukan hanya ketidakadilan, tapi juga bentuk nyata dari double standard yang diterapkan Barat: menuntut ketertiban dan reformasi dari yang terjajah, tapi membiarkan yang menjajah melanggengkan kekuasaannya.
Data kemanusiaan yang menyayat hati dari Gaza menjadi panggilan keras yang seharusnya tidak bisa diabaikan. Sejak serangan Hamas pada Oktober 2023, ribuan warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi korban dalam serangan balasan Israel. Jumlah korban sudah melampaui 54.000 jiwa, dengan ancaman kelaparan yang mengintai. Saat dunia, khususnya negara-negara Barat, menunda pengakuan Palestina, sesungguhnya mereka menunda harapan hidup bagi jutaan manusia yang terperangkap dalam konflik tanpa akhir. Bukankah ini paradoks? Mengatakan mendukung hak asasi manusia tetapi menunda pengakuan negara yang bisa menyelamatkan nyawa?
Indonesia sebagai negara yang konsisten menyuarakan kemerdekaan Palestina tentu punya posisi moral dan diplomatik yang berbeda. Di tengah ketidakpastian sikap Barat, Indonesia dan negara-negara yang mendukung Palestina harus semakin tegas dan vokal. Kita harus bertanya pada diri sendiri, bagaimana kita bisa menerima bahwa negara-negara besar yang berani bicara tentang hak asasi manusia justru berdiam diri ketika keadilan terabaikan? Solidaritas yang tulus bukan hanya soal kata-kata di forum internasional, tapi tindakan nyata yang menuntut pengakuan dan penghentian penindasan. Inilah saatnya Indonesia menjadi bagian dari gelombang perubahan, bukan hanya pengamat yang pasif.
Pernyataan Kenneth Roth, mantan Direktur Human Rights Watch, yang menolak proses damai yang tak berujung dan menuntut tekanan nyata pada Israel, adalah suara kebenaran yang harus didengarkan. Barat selama ini terlalu sibuk dengan narasi damai yang samar dan penuh syarat, padahal apa yang dibutuhkan adalah keberanian dan konsistensi dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Proses damai tanpa tekanan nyata hanya memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Apakah dunia sudah lupa bahwa di balik diplomasi yang rumit, ada nyawa yang hilang dan generasi yang hancur?
Eropa yang selama ini menyebut dirinya pusat demokrasi justru menunjukkan wajah pengecut dalam isu ini. Mengapa mereka takut mengambil langkah berani tanpa izin Israel? Sementara beberapa negara kecil seperti Irlandia, Spanyol, dan Norwegia berani mengambil pengakuan unilateral sebagai bentuk solidaritas nyata. Ini bukan hanya soal pengakuan politik, tapi sinyal kuat kepada dunia bahwa keadilan tidak boleh ditunda karena kepentingan strategis. Di sinilah letak ketidakseriusan Barat dalam isu Palestina: memilih kenyamanan politik daripada keadilan yang hakiki.
Kenyataan bahwa parlemen Israel menolak pembentukan negara Palestina dengan suara mayoritas yang besar menunjukkan bahwa harapan bagi pengakuan dari dalam Israel sendiri sangat tipis. Maka, sudah sepantasnya dunia internasional, khususnya Barat, tidak lagi mengharapkan perubahan dari Israel semata, melainkan mengambil peran aktif untuk memastikan kemerdekaan Palestina terwujud. Sikap menunggu dan syarat berlapis hanya memperlihatkan ketidakberanian dan kurangnya komitmen.
Perjuangan rakyat Palestina dan tragedi kemanusiaan di Gaza adalah ujian bagi kemanusiaan global. Ketika Barat menunda pengakuan dan mengulur proses damai dengan syarat yang memberatkan, itu bukan hanya kegagalan diplomasi, tapi kegagalan moral. Di Indonesia, sebagai bangsa yang memahami arti perjuangan kemerdekaan dan keadilan, kita harus terus mengingatkan dunia bahwa dukungan kita bukan sekadar seremonial. Solidaritas sejati berarti keberanian menentang ketidakadilan, tanpa menunggu izin atau persetujuan yang tak pasti.
Penundaan pengakuan negara Palestina oleh Inggris dan Prancis ini adalah cermin ketidakseriusan Barat yang selama ini menggunakan isu Palestina sebagai alat politik domestik. Mereka berbicara banyak tentang keadilan dan kemanusiaan, tapi ketika harus bertindak nyata, mereka memilih menunda dan menghindar. Ini bukan hanya tentang Palestina, tapi soal integritas moral dunia yang sedang diuji. Dunia dan generasi masa depan pantas mendapat jawaban yang jelas: Apakah keadilan hanya akan menjadi retorika kosong, ataukah kita siap memperjuangkan kemerdekaan dan hak rakyat Palestina dengan sungguh-sungguh?
Pingback: Palestina Harus Pindah? Gagasan yang Menyesatkan - vichara.id