Opini
Pengorbanan Hizbullah vs Negara Arab: Antara Nyali dan Retorika

Kita mulai dari kenyataan yang kadang terasa seperti paradoks hidup di dunia ini: seorang pemimpin Hizbullah, Sheikh Naim Qassem, berdiri di hadapan publik pada tanggal 5 Agustus 2025, dengan suara berat dan hati yang penuh kepedihan, menyebutkan fakta yang nyaris mustahil untuk dibayangkan secara utuh. “We have Sayyed Al Hashem as a martyr. We have martyred leader. We have five thousand of martyrs in the battle of al-Aqsa flood and the battle Ulil al-Bas in defence of Lebanon. Thirteen thousand wounded. As a result of these battles destruction, displacement, all of this was offered to stop the aggression.” Lima ribu jiwa telah melayang. Tiga belas ribu lainnya menanggung luka, luka yang mungkin tak kasat mata tapi mendalam, luka yang menggores generasi dan masa depan.
Bayangkan lima ribu nyawa yang tak lagi bisa bernafas, dan tiga belas ribu tubuh yang terluka dalam perjuangan mempertahankan tanah air, membela saudara-saudara Palestina yang tertindas, menjaga kedaulatan Lebanon dari agresor. Mereka rela jadi tameng, bukan karena haus darah, tapi karena kewajiban moral dan religius—amar makruf nahi munkar. Menegakkan kebaikan, mencegah kezaliman. Tak ada kata lain selain pengorbanan hakiki. Sebuah pengorbanan yang tidak murah, yang bernilai nyawa, darah, air mata.
Tapi, mari kita tarik napas sejenak dan renungkan—berapa banyak pengorbanan yang diberikan oleh negara-negara Islam yang mengaku sebagai penjaga agama dan bangsa? Mereka yang kerap berdiri di podium dunia, mengibarkan bendera solidaritas, mengeluarkan retorika muluk-muluk tentang pembebasan Palestina. Namun, realita bicara lain. Betapa ironisnya, sebagian besar dari mereka hanya mampu gemetar di balik meja negosiasi, ciut nyali hanya untuk membuka perbatasan Rafah bagi kendaraan bantuan kemanusiaan. Sebuah tindakan yang, dalam bingkai perang dan penderitaan yang menggunung, terasa bagai setetes air di lautan api.
Sheikh Naim Qassem:
“Hezbollah sacrificed 5000 martyrs and 13,000 wounded in the Al Aqsa flood battle”
From the Ummah of 2 billion , none have sacrificed a drop of blood in comparison to Hezbollah! [This not not apply to the axis of resistance] pic.twitter.com/BIt4GUzClr
— 🇵🇸Islamic Resistance🇿🇦 (@resistance_sa) August 5, 2025
Kita tahu, membuka perbatasan Rafah itu bukan perkara sepele. Ada ketegangan, tekanan politik, kekhawatiran internasional. Tapi bukankah hal ini juga menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam? Sebuah ketakutan kolektif yang membekukan tekad, yang membatasi keberanian, yang membuat bangsa-bangsa yang mengaku Islam tersandera oleh geopolitik dan kepentingan sempit? Sementara Hizbullah dengan gagah berani menghadapi agresor, bahkan ketika harga yang dibayar adalah ratusan ribu nyawa, negara-negara lain seolah lebih memilih diplomasi hambar yang nyaris tak berdampak.
Dan bagaimana dengan kelompok-kelompok Islam lainnya? ISIS, Al-Qaeda, yang sering mengumbar kata-kata heroik dan seruan jihad di tiap kesempatan? Mereka, justru, lebih sibuk berperang di wilayah-wilayah mereka sendiri, membangun kekhalifahan imajiner, bertarung melawan musuh-musuh yang seringkali jauh dari isu Palestina secara nyata. Korban nyawa yang mereka hasilkan? Ribuan, memang, tapi untuk agenda yang berbeda, jauh dari solidaritas membela tanah suci Palestina. Tak lebih dari klaim retoris tanpa implementasi riil yang bisa mengguncang penjajah Palestina.
Sungguh tragis, bila pengorbanan yang paling berani dan paling nyata justru datang dari sebuah kelompok yang kerap dicap sebagai “radikal” dan “membahayakan stabilitas regional.” Hizbullah, dengan segala kontroversinya, telah membuktikan diri sebagai benteng terakhir yang teguh, yang tak hanya bicara tapi bertindak. Mengorbankan ribuan nyawa demi menjaga harga diri bangsa dan membela hak asasi manusia yang direnggut. Sementara, negara-negara lain yang merasa diri sebagai “pemimpin dunia Islam,” lebih banyak diam dan berkoar-koar dalam retorika tanpa jejak langkah nyata.
Dalam konteks ini, absurditasnya terasa sangat menyakitkan. Seperti menonton pertunjukan drama yang sama berulang kali, tapi pemeran utamanya enggan beraksi penuh. Kita mengerti bahwa politik internasional penuh kepentingan, dan setiap negara punya alasan masing-masing. Tapi bagaimana dengan janji-janji suci yang selalu dikumandangkan dalam khutbah, orasi, dan deklarasi resmi? Bukankah solidaritas sesama Muslim harus lebih dari sekadar kata-kata indah di media?
Kita bisa memaklumi ketakutan dan keterbatasan negara-negara besar yang dipaksa bermain di atas panggung global dengan aturan yang keras. Tapi tidak pada kelompok-kelompok yang mengaku berjuang di jalan Allah. Jika mereka benar-benar serius, tentu pengorbanan mereka tak sebatas ucapan dan video propaganda. Mereka harus berani menanggung risiko nyata, bahkan nyawa, bukan hanya dari musuh luar, tapi dari kenyataan pahit peperangan itu sendiri.
Pengorbanan Hizbullah membuka mata kita bahwa amar makruf nahi munkar bukan slogan kosong. Itu adalah tindakan konkret yang harus mengorbankan sesuatu, bahkan segalanya. Dalam medan perang, itu berarti darah, itu berarti nyawa. Sedangkan banyak dari mereka yang sibuk berkoar soal jihad tapi memilih bertahan di balik tembok aman, hanya sesekali menyumbang pidato atau dana, adalah gambaran lain dari kemunafikan terselubung.
Mari kita tarik kembali ke realitas lokal yang mungkin lebih akrab di telinga kita. Bayangkan saja Indonesia, negeri yang gemar menyuarakan solidaritas untuk Palestina lewat demonstrasi, seminar, dan doa bersama. Tapi jika kita ukur dengan pengorbanan Hizbullah, yang secara nyata berada di garis depan pertarungan berdarah di Lebanon dan Palestina, dukungan kita lebih terasa sebagai seruan moral daripada pengorbanan fisik. Bukankah itu hal yang patut direnungkan?
Tentu, saya tidak meremehkan peran diplomasi dan dukungan kemanusiaan. Mereka penting. Namun, pertanyaannya adalah, apakah itu cukup? Jika kita bicara soal pengorbanan terbesar, pengorbanan yang membuktikan kesungguhan dan keberanian, apakah mengirim bantuan atau membuka perbatasan bisa menyamai darah yang ditumpahkan di medan tempur?
Penggalan pidato Sheikh Naim Qassem mengingatkan kita bahwa harga sebuah kebebasan dan kemerdekaan adalah nyawa-nyawa yang rela dikorbankan tanpa tawar-menawar. Sejauh mana negara-negara Islam dan kelompok Islam lain berani melangkah sejauh itu? Nyatanya, jawabannya mengundang tanya besar dan kadang membuat kita tersenyum getir—karena kenyataan seringkali bertolak belakang dengan idealisme yang diagungkan.
Dan di sinilah ironi kehidupan bermukim: mereka yang dikucilkan, yang dijuluki radikal, yang dianggap ancaman oleh dunia, malah menanggung beban dan pengorbanan paling berat. Sementara yang megah dan berbicara di pentas internasional, lebih banyak gemetar dan memilih diam dalam kenyamanan diplomasi yang aman.
Maka, bagi siapa pun yang masih berharap pada kata-kata manis dan retorika semu, mungkin sudah waktunya membuka mata lebih lebar dan belajar dari Hizbullah. Pengorbanan adalah bukan sekadar istilah indah, melainkan darah dan nyawa yang nyata. Karena di balik setiap martir yang gugur, ada sejarah panjang keberanian yang mungkin tidak pernah kita tahu, dan sebuah panggilan tak terucapkan kepada kita semua untuk merenung: Apa yang sudah kita korbankan untuk saudara-saudara kita di Palestina?