Opini
Pengkhianatan Laut Merah: Drama Mesir-Turki untuk Israel

Laut Merah yang biasanya tenang, kini bergolak di bawah langit kelabu pertengahan Agustus. Kapal-kapal berderit, mengangkut kargo dari Mesir dan Turki, menembus jalur yang seharusnya diblokade demi Gaza. Namun, mereka tetap berlayar ke Haifa dan Ashdod, pelabuhan Israel yang diduduki. Absurd? Sangat. Di satu sisi, Yaman mengumumkan blokade heroik untuk mendukung saudara-saudara di Gaza. Di sisi lain, dua negara yang kerap berseru lantang membela Palestina justru membiarkan perdagangan ini berjalan, seolah moralitas hanyalah hiasan dinding.
Data Saba News Agency tidak bisa dibantah: antara 9-15 Agustus 2025, 72 kapal dari pelabuhan Arish, Alexandria, Port Said, Damietta, Nemrut, Iskenderun, dan Mersin menembus Laut Merah. Barangnya bermacam-macam: semen, kendaraan, kontainer, barang umum. Bukan sekadar angka, ini simbol ironi besar. Setiap kontainer yang diangkut bukan hanya logistik; itu cermin kontradiksi antara pidato dan tindakan, antara solidaritas yang dijanjikan dan realitas yang dihadapi rakyat Gaza.
Kita semua tahu perdagangan bukan sekadar bisnis; ini pilihan moral. Jika pedagang di kampung kita tahu dagangannya digunakan untuk menyakiti tetangga, apakah dia masih tersenyum? Mesir dan Turki, negara dengan sejarah panjang sebagai pelindung umat dan penjaga peradaban, kini tampak seperti pedagang abu-abu, lebih peduli keuntungan daripada janji yang mereka buat di podium internasional. Ironi ini menyengat, seperti cabai terselip di mulut saat sahur, pahit tapi tak bisa dihindari.
Bayangkan Erdoğan berpidato di hadapan dunia, membakar semangat solidaritas, sementara kapal-kapal di Mersin diarahkan menuju pelabuhan yang sama yang memperkuat mesin perang Israel. Mesir, dengan Terusan Suez sebagai nadi ekonominya, menjadi pintu belakang yang memungkinkan kargo lolos dari blokade Yaman. Ini bukan sekadar perdagangan; ini pengkhianatan simbolis terhadap rakyat yang kelaparan, terhadap harapan yang menanti di Gaza.
Laporan itu memberi kita angka-angka konkret: 72 perjalanan dalam seminggu. Namun angka itu bukan sekadar statistik kering. Itu deretan luka yang bertambah setiap hari. Setiap kendaraan, setiap kontainer semen, menjadi bahan bakar untuk tembok dan senjata yang menghancurkan rumah-rumah dan mimpi anak-anak. Jika kita membiarkan hal ini berlalu, Laut Merah akan berubah menjadi kuburan janji yang dikhianati.
Ironi makin tajam ketika melihat komunitas internasional. Tuduhan genosida menggema di PBB, suara rakyat menggema di media sosial, tapi kapal-kapal itu tetap berlayar, seolah Laut Merah menjadi lautan amnesia. Dunia menutup mata, sementara dua “saudara” membuka jalan bagi musuh. Ansarullah Yaman berjuang dengan drone dan rudal, namun usaha heroik itu dipertanyakan bila negara-negara yang dianggap sekutu justru menyalurkan sumber daya yang memperpanjang penderitaan Gaza.
Kita bisa membayangkan nelayan di Pantai Utara Jawa, yang berbagi hasil tangkapan dengan tetangga, tersenyum getir melihat Mesir dan Turki. Dua raksasa yang pernah dianggap pelindung, kini memilih keuntungan dan pengaruh di atas moral dan solidaritas. Kapal-kapal itu seperti dokter yang menjual racun sambil berpura-pura memberi obat. Ironi ini menyayat hati, tapi penting untuk diingat: ini pilihan sadar, bukan kebetulan.
Data kargo juga menceritakan kisah yang berbeda: bukan bantuan kemanusiaan, melainkan logistik untuk kekuatan yang menghancurkan. Kendaraan, barang umum, semen—semua itu bisa diibaratkan seperti memberi alat kepada seseorang untuk membangun penjara, sementara orang-orang terkurung di dalamnya kelaparan. Analogi sederhana ini membuat kita lebih mudah mengerti absurditas situasi: Mesir dan Turki tetap menari di atas janji mereka sendiri, di saat saudara mereka tercekik.
Kritik ini bukan sekadar soal politik luar negeri. Ini soal hati nurani yang hilang. Dunia modern sering membungkus ambisi ekonomi dengan kata “solidaritas” atau “kerjasama internasional”, tapi laporan Saba ini menunjukkan wajah asli di balik topeng itu. Keberadaan 72 kapal itu adalah bukti nyata: solidaritas hanya hiasan dinding yang memudar saat diuji.
Reaksi rakyat di media sosial pun memperkuat hal ini. Di X, pengguna seperti @Wanm111 dan @CynArizona menyoroti absurditas ini—Turki dan Mesir di meja damai Gaza, tapi tangan mereka tetap menandatangani kontrak dagang. Seperti tetangga yang tahu ada pencuri, tapi pura-pura tidur karena takut kehilangan hadiah. Sindiran ini sederhana, tapi tajam. Kita semua tahu, perdagangan itu bukan soal netralitas. Ini soal pilihan: berdiri di sisi yang benar, atau ikut memperkuat yang salah.
Apa yang bisa dilakukan? Marah saja tidak cukup. Kita harus membuka mata, menolak menjadi penonton pasif. Mesir dan Turki perlu dihadapkan pada cermin besar, dipaksa melihat wajah sejati di balik topeng solidaritas. Jika tidak, Laut Merah akan terus menjadi saluran bagi ambisi ekonomi, bukan nadi harapan bagi yang teraniaya.
Dunia tak akan banyak bergerak. Negara-negara besar, yang katanya penjaga hukum, sibuk menghitung untung. AS mungkin tersenyum diam-diam melihat Mesir dan Turki “patuh” pada kepentingan perdagangan. Resolusi PBB, pidato, retorika—semua bergema di ruang kosong, seperti gema yang tak disentuh realitas.
Setiap pagi, para pemimpin itu melihat cermin. Apakah mereka melihat rakyat Gaza yang kelaparan, atau sekadar bayangan dolar yang berkilau? Laporan ini memberi jawaban: mereka memilih yang kedua. Dan itu menyisakan rasa pahit bagi kita semua yang masih percaya pada kata “solidaritas”.
Laut Merah seharusnya menjadi nadi harapan. Sekarang, ia adalah panggung absurditas, di mana janji-janji yang tinggi dijual murah oleh negara-negara yang dulu kita percaya. Kita hanya bisa tersenyum getir, memegang secuil keyakinan bahwa kebenaran akan menang—meski saat ini ia terlihat seperti kapal yang karam di tengah badai absurditas.
Pingback: Turki dan Gaza: Politik Topeng di Damaskus