Opini
Pengakuan Palestina Jadi Komoditas Politik Eropa

Saat anak-anak Gaza masih tidur dalam bunyi bom, dan ibu-ibu mereka mengumpulkan serpihan tubuh keluarga dari balik reruntuhan, para pemimpin Eropa justru sedang merumuskan naskah pernyataan. Bukan pernyataan gencatan senjata, bukan bantuan pangan atau medis, melainkan satu hal yang terdengar besar namun terasa hampa: pengakuan terhadap negara Palestina.
Beberapa negara Eropa berdiri di podium, dengan wajah serius dan alis yang dikerutkan, seolah tengah mengambil keputusan paling moral yang pernah mereka buat. Irlandia, Spanyol, Norwegia, lalu disusul Slovenia. Mereka menyatakan bahwa Palestina layak diakui sebagai negara. Media-media Barat pun menyorotnya dengan intensitas tinggi. Kamera bergulir, headline bertebaran, para jurnalis mencari kutipan yang puitis. Tapi di Gaza, tak ada yang berubah. Air masih tak mengalir, rumah-rumah masih rata tanah, dan anak-anak masih mati tanpa identitas.
Ini bukan berarti pengakuan itu tak penting. Tapi jika pengakuan datang setelah 75 tahun penjajahan, setelah ribuan resolusi diabaikan, dan setelah 38 ribu lebih nyawa direnggut hanya dalam sembilan bulan terakhir—lalu apakah yang sedang mereka akui? Bahwa mereka telat? Bahwa mereka takut? Atau bahwa mereka hanya sedang menyelamatkan wajah di hadapan publik yang semakin marah?
Ironi besar hadir ketika pengakuan itu justru tampil sebagai komoditas politik. Di Norwegia, isu Palestina menjadi bagian dari tarik-menarik fraksi kiri dan kanan. Di Spanyol, Perdana Menteri Pedro Sánchez menggunakan isu ini untuk merapatkan barisan koalisinya. Di Irlandia, pengakuan datang ketika tekanan massa makin sulit diabaikan. Dan di Jerman? Pengakuan itu masih diparkir entah sampai kapan, karena politik domestik masih tak siap melepas rasa bersalah masa lalu terhadap zionis.
Begitu murahnya penderitaan manusia jika bisa ditukar dengan suara pemilih. Seolah-olah pengakuan itu sebanding dengan 75 tahun luka. Seolah-olah, setelah sekian dekade dukungan membuta terhadap pendudukan, mereka bisa cuci tangan hanya dengan menekan tombol mikrofon dan berkata, “Kami mengakui Palestina.”
Lalu kita bertanya: di mana mereka ketika kamp-kamp pengungsi diusir? Di mana mereka saat tembok apartheid dibangun? Di mana suara pengakuan itu saat Ahed Tamimi dipenjara karena menampar tentara yang masuk ke rumahnya? Mengapa pengakuan hanya datang ketika opini publik mulai panas? Ketika rakyat di jalanan London, Berlin, Paris, dan Dublin mulai membawa poster-poster Gaza?
Jawabannya sederhana. Karena ini bukan soal Palestina. Ini soal Eropa. Ini soal kredibilitas moral yang makin rusak, soal diplomasi yang retak, soal anak-anak muda yang mulai bertanya: mengapa kebebasan hanya berlaku untuk Ukraina, tapi tidak untuk Gaza?
Uni Eropa, yang selama ini begitu vokal soal hukum internasional, mendadak gagap ketika hukum yang dilanggar adalah oleh zionis. Mereka menghitung semua pelanggaran Rusia di Ukraina dengan presisi, tapi buta angka ketika bicara soal Gaza. Bahkan mereka enggan menyebut kata “genosida,” padahal laporan PBB, ICC, dan ICJ sudah menunjukkan bahwa semua unsur genosida terpenuhi. Lalu sekarang, mereka ingin menebus semua itu dengan pengakuan simbolik?
Lihat saja Swedia. Negara ini mengakui Palestina sejak 2014, tapi hingga hari ini, Swedia tetap menjual peralatan militer ke negara-negara yang menyokong zionis. Pengakuan itu ada di atas kertas, tapi tak pernah punya nyawa. Ia adalah deklarasi tanpa daging, formalitas tanpa substansi.
Jangan lupakan pula Prancis dan Italia. Mereka mengklaim mendukung solusi dua negara, tapi masih menolak untuk mengakui Palestina karena alasan “belum waktunya.” Seolah waktu yang tepat hanya akan datang saat zionis sudah selesai meratakan Gaza dan membangun apartemen baru di Rafah.
Dan yang paling menyakitkan adalah ketika pengakuan itu dijadikan alat diplomasi tawar-menawar. Dalam banyak dokumen bocor yang diungkap jurnalis investigasi Eropa, terlihat bahwa pengakuan Palestina menjadi bagian dari strategi negosiasi dengan AS, bahkan alat tekan terhadap Netanyahu agar tidak terlalu ekstrem. Artinya, eksistensi sebuah bangsa sedang digunakan sebagai chip dalam permainan catur geopolitik. Nyawa manusia dipakai untuk menyeimbangkan meja diplomasi.
Jika ini bukan bentuk dehumanisasi, lalu apa?
Sebagian negara mungkin berdalih, “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Tapi apakah kita akan berkata demikian jika yang mati adalah keluarga kita sendiri? Apakah kita akan sabar menunggu pengakuan jika satu-satu anak kita mati, hari demi hari, dengan bom buatan Barat?
Persoalan Palestina, bagi banyak negara Barat, bukanlah krisis kemanusiaan, melainkan krisis pencitraan. Ketika dunia semakin sadar, media sosial membongkar kebohongan, dan massa mulai turun ke jalan, mereka akhirnya sadar: diam sudah tidak menguntungkan. Maka mereka berbicara, tapi hanya sebatas yang aman. Mereka mengakui Palestina, tapi tetap menjual senjata ke negara penjajah. Mereka mengibarkan bendera Palestina di parlemen, tapi tetap menjegal resolusi PBB untuk gencatan senjata.
Ini adalah realitas yang pahit tapi perlu dikatakan. Pengakuan Palestina bukanlah hadiah yang harus ditunggu. Ia adalah hak yang seharusnya sudah ada sejak hari pertama. Tapi ketika hak itu diperlakukan seperti insentif politik, maka kita harus bertanya: apakah peradaban Barat benar-benar masih punya rasa malu?
Di negeri kita sendiri, realitas ini seharusnya menjadi cermin. Saat kita mengagumi tata kota Eropa, pendidikan gratisnya, dan kebebasan persnya, kita juga harus ingat bahwa nilai-nilai itu tidak universal. Ia tidak berlaku untuk rakyat Palestina. Ia tidak berlaku ketika yang dibunuh adalah Muslim. Dan ia tidak berlaku jika pelakunya adalah sekutu.
Maka, sekali lagi, ketika Irlandia, Spanyol, atau Norwegia mengakui Palestina, kita tidak perlu bertepuk tangan terlalu keras. Kita cukup mencatat: bahwa penderitaan rakyat Palestina telah dijadikan komoditas politik, diperjualbelikan di meja diplomasi, dan dinilai berdasarkan kepentingan elektoral.
Sungguh, ini bukan pengakuan yang ditunggu Palestina. Ini hanyalah peradaban Barat yang sedang mencoba menyelamatkan mukanya sendiri, setelah bercermin pada darah yang mereka biarkan mengering di layar televisi kita.
Pingback: Birokrat UE Gugat Diamnya Eropa Soal Gaza - vichara.id