Opini
Pencabutan Sanksi Suriah: Harapan atau Ancaman?

Di utara Suriah, di bawah langit yang kelabu, tanah masih menyimpan tangis. Human Rights Watch (HRW), dalam laporan terbarunya tertanggal 14 Mei 2025, mengungkapkan nestapa yang terus berulang: faksi Syrian National Army (SNA)—kini menjadi bagian dari militer resmi Suriah—memeras, menyiksa, dan menahan warga sipil, terutama warga etnis Kurdi. Bayangkan seorang ibu Kurdi memeluk erat anaknya, takut malam membawa ketukan pintu dan derap sepatu tentara. Realitas ini mengiris hati dan mengajukan pertanyaan yang berat: kapan luka Suriah akan sembuh?
Kekerasan ini bukan sekadar deretan angka dalam laporan. Ia adalah kisah nyata dari tubuh-tubuh yang memar, keluarga yang hancur, dan harapan yang memudar. SNA, yang awalnya dibentuk Turki pada 2017 sebagai proksi untuk melawan milisi Kurdi, kini terintegrasi dalam struktur militer Suriah pasca-kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024. Kelompok ini beroperasi di bawah payung Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah organisasi yang merupakan bekas afiliasi Al-Qaeda. Dalam laporan HRW, disebutkan bahwa pada Desember lalu di Aleppo, faksi Suleiman Shah—bagian dari SNA—menyerbu desa, memukuli warga, menjarah rumah-rumah, dan menculik dua pria yang hingga kini belum ditemukan. Korban utamanya adalah etnis Kurdi, yang kini hidup dalam bayang-bayang penahanan sewenang-wenang, penculikan, dan kekerasan seksual.
Penyebab utama dari kebiadaban ini adalah ambisi geopolitik yang dikawinkan dengan impunitas. Turki, yang mendanai SNA dengan gaji dan persenjataan, menuding Syrian Democratic Forces (SDF)—pasukan dominan Kurdi di wilayah timur laut Suriah—sebagai cabang dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang mereka labeli sebagai kelompok teroris. Tapi kebencian politik ini tidak dapat dijadikan justifikasi atas penyiksaan warga sipil yang tidak bersalah. HRW menegaskan bahwa Turki tidak bisa lepas tangan; Ankara bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh SNA, terlebih karena organisasi ini juga menampung mantan pejuang ISIS dan kelompok ekstremis lain seperti Jaish al-Islam. Seperti kata pepatah Sunda, “Cai di hulu teu bisa keruh“—jika sumbernya kotor, bagaimana mungkin air di hilir akan jernih?
Tak hanya Kurdi yang menderita. Minoritas Alawite, kelompok yang selama ini diasosiasikan dengan kekuasaan Bashar al-Assad, juga menjadi sasaran. Pada Maret 2025, ribuan Alawite dibantai di wilayah pesisir Suriah oleh faksi-faksi bersenjata yang berafiliasi dengan SNA dan bahkan, menurut laporan Syrians for Truth and Justice, turut diawasi oleh pasukan keamanan resmi Suriah. Perempuan-perempuan muda menghilang tanpa jejak. Ratusan warga sipil, termasuk anak-anak, dilaporkan masih terkurung di penjara-penjara yang dikelola SNA dan diawasi oleh Turki. Ini bukan sekadar konflik etnis atau agama—ini adalah pola pembersihan sektarian yang semakin mengoyak kain kebangsaan Suriah.
Di tengah arus darah ini, kabar lain datang dari panggung diplomatik internasional. Departemen Keuangan Amerika Serikat, lewat Menteri Scott Bessent, mengumumkan pencabutan sejumlah sanksi terhadap Suriah pada Mei 2025. Langkah ini, menurut Bessent, bertujuan “menstabilkan dan mengarahkan Suriah menuju perdamaian.” Keputusan ini didukung oleh Presiden Donald Trump dalam pertemuan dengan Putra Mahkota Arab Saudi di Riyadh. Sanksi-sanksi yang telah diberlakukan sejak 1979—termasuk pembekuan aset dan isolasi ekonomi—mulai dilonggarkan.
Pencabutan sanksi ini memunculkan harapan: pasar kembali hidup, rumah sakit bisa terisi obat-obatan, dan anak-anak kembali ke sekolah. Tapi pertanyaannya: damai macam apa yang sedang dibentuk? Karena jika damai ini dibangun di atas kekuasaan HTS—yang kini menguasai wilayah besar di Suriah dan dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, mantan deputi ISIS dan pendiri Nusra Front—maka kita sedang bicara tentang damai semu. Trump, setelah bertemu langsung dengan al-Sharaa, bahkan menyebutnya sebagai pemimpin dengan “potensi besar.” Pernyataan yang mencengangkan dan mengingatkan kita pada metafora berbahaya: memeluk ular demi kehangatan.
Dampak langsung dari keputusan politik ini akan sangat terasa bagi warga sipil. Time Magazine dalam edisi tahun 2025 mencatat bahwa beberapa sanksi penting seperti Caesar Act masih membutuhkan persetujuan Kongres untuk dicabut. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam tubuh pemerintahan AS sendiri masih ada keraguan terhadap arah kebijakan ini. Jika dana rekonstruksi mulai mengalir tanpa pengawasan, ada risiko tinggi bahwa sumber daya ini justru akan memperkuat elite HTS dan SNA—bukan warga sipil. HRW bahkan melaporkan bahwa anak-anak Kurdi telah ditahan tanpa alasan yang jelas oleh milisi-milisi ini. Bayangkan seorang anak memandang jeruji besi, bertanya-tanya: apa salahku?
Pasca-jatuhnya Assad, HTS dan SNA dengan cepat mengisi kekosongan kekuasaan. Tapi perubahan ini lebih seperti mengganti rantai besi dengan rantai emas—penindasan tetap ada, hanya wajahnya yang berubah. Al-Sharaa, yang pernah memimpin serangan bom bunuh diri, kini mengenakan jas dan berbicara di mimbar internasional sebagai presiden interim. Dunia seolah berkompromi demi stabilitas, tapi dari sejarah kita tahu, damai tanpa keadilan hanya menunda ledakan. Kita belajar dari konflik di Poso, Ambon, hingga Aceh: solusi jangka panjang hanya bisa lahir dari keadilan dan akuntabilitas.
Turki, sebagai salah satu aktor utama, tidak bisa mencuci tangan begitu saja. Dukungan mereka terhadap SNA, yang dituduh HRW melakukan kejahatan perang, menunjukkan bahwa kepentingan geopolitik lebih diutamakan dibanding nilai-nilai kemanusiaan. Aku membayangkan pasar malam di kampung halaman—lampu-lampu yang berkilauan menyembunyikan sudut-sudut gelap yang tak tersentuh. Turki mungkin tersenyum di hadapan dunia, tetapi di baliknya, senjata dan logistik terus mengalir ke tangan para penindas.
Respons internasional sangat dibutuhkan. HRW mendesak agar para pelaku pelanggaran HAM dikeluarkan dari struktur militer dan diadili melalui mekanisme peradilan yang independen. Namun, dengan HTS yang kini berkuasa dan Turki yang terus memainkan peran besar di belakang layar, ini tampaknya hanya bisa tercapai jika ada tekanan kuat dari PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pencabutan sanksi tidak bisa dilakukan tanpa syarat. Harus ada prasyarat yang tegas: reformasi sektor keamanan, perlindungan bagi kelompok minoritas, dan transparansi dalam distribusi bantuan kemanusiaan. Tanpa itu, dana hanya akan menjadi bahan bakar baru bagi penindasan.
Aku merenung: bagaimana rasanya menjadi warga Suriah hari ini? Mungkin pagi membawa secercah harapan dalam bentuk bantuan kemanusiaan, tetapi malam selalu menyisakan ketakutan. Di Indonesia, kita pun punya memori tentang konflik dan ketakutan—di Aceh, Papua, dan Ambon. Kita tahu bahwa stabilitas tidak pernah datang dari kompromi dengan pelaku kekerasan. Suriah mengajarkan pelajaran yang sama, kali ini dengan darah dan air mata.
Pencabutan sanksi bisa menjadi jembatan menuju perdamaian, tapi jika jembatan ini dibangun di atas lumpur impunitas dan kepentingan jangka pendek, maka ia akan roboh dan menyeret harapan warga sipil bersamanya.
Renungan ini tak menawarkan jawaban mudah. Suriah adalah cermin dunia: ambisi kekuasaan, kompromi moral, dan warga sipil yang terjepit di antaranya. Aku kembali membayangkan ibu Kurdi di Aleppo, berdoa dalam dingin malam agar anaknya tetap hidup hingga fajar. Doanya tak berbeda dengan doa ibu-ibu di pelosok Indonesia ketika konflik melanda. Kita tak boleh hanya menonton. Mendengar jeritan mereka—entah Kurdi, Alawite, atau siapa pun—adalah langkah pertama. Bertindak demi mereka adalah ujian bagi nurani kita semua.