Connect with us

Opini

Pencabutan Caesar Act: Legitimasi Baru Penindasan Suriah

Published

on

Ada ironi yang sulit ditepis ketika dunia mendengar kabar tentang pencabutan Caesar Act, sebuah sanksi yang selama bertahun-tahun diklaim sebagai “alat tekanan” terhadap rezim otoriter Bashar Al-Assad. Kini, dengan Assad yang telah tumbang dan Abu Mohammad al-Jolani (Ahmad al-Sharaa) duduk di kursi Presiden Transisi, kebijakan itu dihentikan dengan alasan membukakan jalan bagi pemulihan Suriah. Tapi apakah benar jalan pemulihan itu terbuka? Atau justru jalan yang sama sedang digunakan untuk menghalalkan represi dalam wajah baru yang lebih halus namun tak kalah menyesakkan?

Kita harus jujur, perubahan kepemimpinan tidak otomatis berarti perubahan nasib rakyat. Sejarah politik dunia terlalu sering memberi kita pelajaran getir: diktator jatuh, tokoh baru naik, namun mesin penindasan tetap bekerja dengan operator berbeda. Suriah, negeri yang selama lebih dari satu dekade dipaksa berdarah oleh perang, kini berada di persimpangan. Dan ironinya, pencabutan Caesar Act, yang seharusnya memberi harapan, justru bisa menjadi stempel legal bagi penguasa baru untuk merapikan aparatus kekuasaan—bukan untuk membebaskan rakyatnya, melainkan untuk mengokohkan kontrol.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa kita semua pernah merasakan bagaimana label “normalisasi” bisa menipu. Di negeri kita, misalnya, ketika sebuah undang-undang yang penuh pasal bermasalah dicabut atau direvisi, publik kerap diberi narasi seolah-olah pemerintah mendengar suara rakyat. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Pengawasan makin ketat, aturan baru lahir dengan baju berbeda, sementara rakyat tetap dicekik oleh mekanisme lama yang disulap jadi “pembaruan.” Suriah kini mengulang drama itu dalam skala yang lebih besar, lebih getir, lebih penuh jebakan.

Abu Jolani, mantan komandan militer yang kini tampil dengan jas rapi dan pidato diplomatis, ingin meyakinkan dunia bahwa ia adalah wajah baru Suriah. Di televisi, ia berbicara tentang rekonsiliasi, pembangunan, dan keterbukaan. Namun, di lapangan, laporan-laporan masih berbicara tentang pembungkaman minoritas, represi oposisi kecil yang tersisa, dan perburuan terhadap siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan arah transisi. Bukankah ini hanya memindahkan bendera di istana tanpa membongkar pondasi otoritarianisme?

Pencabutan Caesar Act memberi keleluasaan bagi pemerintah transisi untuk mengakses pasar global, menarik investasi, dan mengimpor teknologi. Sekilas tampak positif. Tetapi di balik itu, ada risiko besar: terbukanya pintu legitimasi internasional bagi struktur kekuasaan yang belum tentu benar-benar demokratis. Barat akan berdalih: “Kami sudah membantu Suriah keluar dari isolasi.” Padahal yang mereka lakukan hanyalah mengganti mitra dagang, sambil menutup mata terhadap represi yang kini dilakukan dengan senyum diplomatik.

Saya jadi teringat pada analogi sederhana: bayangkan sebuah rumah tua yang fondasinya rapuh dan penuh rayap. Daripada diperbaiki dari dasar, pemilik baru hanya mengganti cat, memasang jendela baru, dan menaruh papan nama “rumah baru.” Tetangga pun bertepuk tangan, bilang rumah itu sekarang layak huni. Tapi penghuni di dalam tetap hidup dengan lantai yang bisa ambruk kapan saja. Begitulah Suriah pasca-Assad: wajahnya baru, tapi jiwanya masih retak.

Kita bisa bertanya, mengapa Barat buru-buru mencabut Caesar Act setelah pergantian kepemimpinan? Jawaban klise tentu: demi stabilitas kawasan, demi pemulihan ekonomi, demi menghentikan eksodus pengungsi. Tetapi kita tahu, politik internasional tidak pernah benar-benar tentang “demi rakyat.” Ia tentang kepentingan, tentang siapa yang bisa menjadi sekutu strategis, tentang siapa yang bisa menjaga jalur energi, tentang siapa yang bisa menahan pengaruh lawan. Jolani dipandang lebih “lugas” dan bisa dinegosiasikan. Maka Barat pun memberi legitimasi. Sesederhana itu.

Tetapi apakah rakyat Suriah merasakan manfaatnya? Coba kita dengar suara minoritas yang selama ini terpinggirkan—Kristen, Druze, Alawi, bahkan Sunni yang tidak sejalan dengan garis besar Jolani. Mereka tidak mendapat jaminan apa-apa. Mereka masih berhadapan dengan aparat yang mengawasi, masih hidup dengan ketakutan yang sama, hanya kali ini bayang-bayangnya bukan Assad, melainkan penguasa baru.

Kita yang hidup jauh dari sana mungkin berpikir, “yang penting perang sudah reda.” Tapi apakah reda jika harga yang harus dibayar adalah penyeragaman paksa? Apakah damai jika yang berbeda tetap dibungkam? Kita tahu damai bukan hanya ketiadaan tembakan, melainkan keberanian untuk mengizinkan keragaman bernapas. Dan sejauh ini, tanda-tanda itu belum muncul dari Jolani.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa Assad lebih baik. Jelas tidak. Assad meninggalkan jejak berdarah yang panjang, dan tumbangnya ia adalah bagian dari aspirasi rakyat. Namun, pergantian rezim tidak boleh berhenti di situ. Jika hanya berganti wajah tanpa mengubah struktur, rakyat Suriah akan kembali terjebak dalam lingkaran setan: dari tirani ke tirani, dari represi ke represi.

Pencabutan Caesar Act, dalam situasi ini, hanya mempercepat konsolidasi kekuasaan Jolani. Ia kini bisa berkata kepada rakyat: “Lihat, dunia sudah mengakui kita.” Padahal pengakuan itu tidak datang karena rakyat didengar, melainkan karena elit baru dianggap “aman” untuk diajak bekerja sama. Dunia bertepuk tangan, sementara rakyat masih menggenggam luka.

Bukankah ini mirip dengan pengalaman bangsa kita? Setiap kali ada pemilu, janji manis meluncur deras. Katanya reformasi, katanya perubahan. Tapi begitu kursi diduduki, kebijakan yang lahir sering kali hanya memoles wajah lama dengan kosmetik baru. Masyarakat tetap berhadapan dengan kesulitan yang sama. Apa yang dialami rakyat Suriah hari ini adalah refleksi ekstrem dari apa yang kita alami dalam versi lebih lembut.

Di akhir, kita mesti berani menyebutnya apa adanya: pencabutan Caesar Act bukanlah tanda kebebasan, melainkan tanda legitimasi baru untuk penindasan dengan baju transisi. Dan jika dunia internasional terus bersikap naif, rakyat Suriah akan kembali menanggung beban sejarah. Ironinya, kali ini mereka dipaksa tersenyum di bawah bendera “rekonsiliasi.”

Saya rasa, di situlah tragedi terbesarnya. Bahwa rakyat Suriah tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan masa depan mereka selama perang, tetapi kini juga kehilangan hak untuk bermimpi tentang kebebasan sejati.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer