Connect with us

Opini

Pemukim & Militer Israel: Kolaborasi Penjajah Palestina

Published

on

Dari balik jendela dunia yang seharusnya menatap manusia, kita disuguhi pemandangan yang menyesakkan: jalan-jalan di Tepi Barat bukan hanya dipenuhi debu dan aroma asap, tapi juga ketakutan yang menempel di setiap rumah, kendaraan, dan hati warga Palestina. Bayangkan, sebuah rumah hangus terbakar, mobil-mobil hancur, dan di tengah kepanikan itu, pemukim yang seharusnya “warga sipil” tersenyum puas, seolah merayakan kemenangan yang sah. Ironi ini tajam, karena yang melindungi mereka bukan kekuatan tak terlihat, tapi aparat militer resmi Israel.

Kita terbiasa mengaitkan pendudukan dengan senjata dan seragam, tapi kenyataannya lebih rumit. Pemukim sipil, dengan status hukum ambigu, ternyata menjadi bagian dari mesin kolonial. Mereka membakar, menyerang, menembaki, bahkan menghadang bantuan kemanusiaan yang seharusnya menyelamatkan hidup. Di Atara, Khirbet Tarafin, Susiya, tindakan mereka bukan sekadar vandalisme—ini adalah instrumen pengusiran yang sistematis. Rumah-rumah menjadi target, Bedouin di tanah mereka sendiri menjadi sasaran, dan siapa pun yang membantu mereka terancam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Data berbicara keras: lebih dari 750 serangan pemukim terjadi hanya dalam enam bulan pertama tahun ini, rekor tertinggi sejak 2006 menurut PBB. Setiap angka bukan sekadar statistik; setiap angka adalah luka nyata di kepala dan hati warga Palestina. Apakah kita masih bisa menyebut ini “aktivitas warga sipil biasa”? Saya rasa tidak. Ini adalah kolonisasi dalam bentuk paling agresif, di mana garis antara militer dan sipil sengaja dibuat kabur untuk memastikan dominasi tetap terjaga.

Lebih ironis lagi, ada pemukim yang terang-terangan mengakui tujuan mereka: mengosongkan penduduk asli demi tanah. Seperti Ariel Danino yang berkata bahwa “ini perang atas tanah,” sambil tersenyum seolah wajar menyingkirkan orang lain dari rumah mereka sendiri. Logika ini, jika dipikirkan dengan kepala dingin, absurd: perang dijalankan oleh mereka yang mengklaim damai, di bawah payung hukum yang seolah memihak. Saya membayangkan, di sudut lain dunia, siapa pun yang menjarah bantuan kemanusiaan akan dihukum berat. Di Palestina, mereka diberi kemudahan dan perlindungan.

Ketika kendaraan bantuan ke Gaza dihadang, barang-barang dijarah atau dibuang ke jalan, kita melihat bukti nyata bahwa kolonisasi ini bukan hanya soal tanah atau politik. Ini soal kehidupan manusia yang direduksi menjadi alat dalam permainan geopolitik. Pemukim ilegal yang menghalangi makanan, obat-obatan, atau perlengkapan medis mempertegas bahwa penjajahan Israel dijalankan bukan hanya oleh militer, tetapi oleh warga sipil yang menjadi tangan kanan struktur pendudukan.

Apa yang dilakukan militer Israel juga tak kalah ironis. Mereka merazia rumah, menahan pemuda, atau mengamankan pemukim yang menyerang tetangga. Hukum diterapkan berat kepada warga Palestina, ringan bahkan tidak ada hukuman bagi pemukim. Keadilan? Sebuah kata yang terdengar hampa di antara puing-puing rumah yang hangus dan darah yang menempel di jalanan. Struktur ini membuat siapapun yang menonton dari jauh merasa geli sekaligus geram: bagaimana mungkin negara yang modern bisa menegakkan hukum secara sewenang-wenang di rumah tetangganya sendiri?

Membaca semua laporan ini, saya tidak bisa menahan rasa frustrasi. Dunia seakan memberi panggung bagi mereka yang menindas dan menyilaukan kita dengan istilah “aktivitas sipil,” sementara warga Palestina dicabut haknya untuk hidup aman di tanah kelahiran mereka sendiri. Ada ketidakadilan struktural yang begitu telanjang, tapi tetap dianggap normal oleh sebagian besar pemerhati global. Apakah ini ironis? Tentu. Tapi juga tragis, karena kemanusiaan tampak dipaksa berlutut oleh logika kolonial.

Kita harus menengok fakta bahwa setiap pembakaran, setiap tembakan, setiap rumah yang diusir adalah bagian dari pola sistematis. Tidak ada kebetulan. Tidak ada “aksi sporadis.” Pemukim yang menjarah, yang menyerang, yang menulis slogan rasis di dinding, melakukannya dengan aman karena ada aparat negara yang menutup mata—atau bahkan secara sadar melindungi mereka. Ini bukan sekadar cerita politik, tapi kisah nyata tentang bagaimana manusia bisa dijadikan pion dalam agenda kolonial.

Ironi lain yang memantik kegelisahan: pemukim ilegal ini menghalangi bantuan kemanusiaan sambil menegaskan “tanah ini milik kami.” Mereka mengusir penduduk asli, mengambil alih rumah, membakar mobil, dan menjarah kebutuhan dasar. Ini seperti menonton pertunjukan sirkus yang tragis: manusia dijadikan properti, hukum dijadikan aksesori, dan dunia menonton dengan tepuk tangan yang salah.

Saya rasa kita semua yang membaca ini harus menyadari satu hal: pendudukan Israel terhadap Palestina bukan hanya soal IDF atau kebijakan politik. Ia adalah kolaborasi nyata antara militer dan pemukim ilegal, di mana warga sipil menjadi aktor utama penjajahan. Mereka bukan pengamat pasif; mereka adalah pelaku aktif yang menegaskan dominasi, mengintimidasi warga Palestina, dan menghalangi bantuan kemanusiaan. Tanpa pengakuan ini, kita hanya melihat permukaan konflik, bukan esensi kolonialnya.

Di tengah semua absurditas ini, satu hal jelas: dunia menonton, tapi sebagian besar hanya dengan mata, bukan hati. Kita melihat, kita membaca, tapi jarang benar-benar memahami kedalaman penderitaan, kecemasan, dan ketidakadilan yang dialami warga Palestina setiap hari. Dan ketika kita menyebut ini “konflik,” kita harus ingat: ini bukan konflik biasa. Ini adalah bentuk penjajahan modern yang dijalankan oleh tangan sipil dan militer yang berpadu, membentuk mesin kolonial yang terus berputar, tanpa rasa malu.

Akhirnya, kita dipaksa bertanya pada diri sendiri: bagaimana mungkin kemanusiaan bisa ditata ulang sedemikian rupa sehingga warga sipil bisa menjadi alat kolonial? Bagaimana mungkin hukum dibuat selektif untuk melindungi penjahat dan menindas korban? Kita semua tahu jawabannya: ini tentang kekuasaan, dominasi, dan ambisi politik yang menafikan hak asasi manusia. Tapi menyadari hal itu bukan berarti pasrah. Menyadari hal itu adalah awal dari kritik yang tegas, dari kemarahan yang beralasan, dan dari refleksi yang tak bisa dibungkam. Dunia boleh menonton, tapi kita tak boleh diam.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer