Opini
Pemilu Suriah: Legitimasi Palsu, Luka Kian Dalam

Langit Suriah mungkin tampak sama seperti kemarin: kelabu, penuh debu, dan tak memberi janji apa-apa selain kesunyian yang mencekik. Namun di balik kabut asap dan reruntuhan, ada sebuah ironi yang tak kalah menyesakkan. Di negeri yang pernah jadi pusat peradaban, pemilu kini hanya terdengar sebagai sandiwara murahan. Kursi-kursi parlemen dipertaruhkan seolah permainan catur, padahal papan catur itu sendiri sudah retak dan sebagian bidak hilang. Dan kita diminta percaya bahwa ini adalah demokrasi? Saya rasa, lebih tepat menyebutnya parodi.
Keputusan Komite Pemilu Tertinggi menunda pemungutan suara di Suwayda, Hasakah, dan Raqqa mungkin terdengar rasional jika semata-mata kita memandangnya dari kacamata keamanan. “Situasi tidak kondusif,” begitu alasan mereka. Tapi mari jujur: ini bukan sekadar soal keamanan, melainkan pengakuan telanjang bahwa Damaskus tak punya kuasa atas wilayah itu. Bagaimana mungkin sebuah pemilu yang disebut “nasional” diselenggarakan, jika seperempat negara bahkan tak mengakui pemerintah pusat? Bukankah itu ibarat menggelar pesta pernikahan tanpa pengantin, lalu memaksa tamu percaya bahwa acara tetap sah?
Lebih getir lagi ketika kita melihat siapa sebenarnya yang memimpin negara ini. Ahmad al-Sharaa, mantan komandan ISIS, kini duduk di kursi presiden setelah menggulingkan Bashar al-Assad. Dunia terbalik: orang yang dulu ditakuti karena memimpin barisan ekstremis, kini berlagak sebagai negarawan yang berbicara tentang integritas dan “persatuan nasional.” Apakah sejarah sedang bercanda? Ataukah memang inilah wajah baru politik kita: bekas algojo kini mengklaim dirinya penyelamat? Ironi semacam ini sulit dicerna, namun di Suriah, absurditas sudah jadi menu sehari-hari.
Mari kita tengok Suwayda. Wilayah Druze ini dibombardir dengan kekerasan yang kejam. Data dari PBB menyebut lebih dari 1.000 orang tewas, ratusan di antaranya dieksekusi tanpa pengadilan, puluhan desa dibakar. Lalu, di tengah darah yang belum kering, pemerintah berbicara tentang pemilu. Seakan-akan, kertas suara bisa menghapus noda darah di tanah. Seakan-akan, bilik suara mampu menutupi jeritan anak-anak yang kehilangan orang tua mereka. Apa ini bukan lelucon paling pahit yang bisa dibayangkan?
Sementara itu, Hasakah dan Raqqa masih berada di bawah kontrol SDF dan the Autonomous Administration of North and East Syria (AANES), otoritas Kurdi yang sejak lama berjarak dengan Damaskus. Mereka punya sistem politik sendiri, punya milisi sendiri, bahkan punya mimpi yang berbeda tentang masa depan Suriah. Lalu Damaskus tetap ngotot menyebut kursi parlemen mereka “akan tetap disimpan sampai kondisi memungkinkan.” Kalimat itu terdengar seperti janji kosong dari seorang pejabat kelurahan: menunggu yang tak akan pernah datang. Sebab semua orang tahu, kondisi “aman dan kondusif” itu tak akan tercapai selama otoritas pusat tetap melihat oposisi sebagai musuh yang harus dimusnahkan, bukan warga negara yang harus dirangkul.
Di atas kertas, 210 dari 315 kursi parlemen diperebutkan lewat pemilu, sementara 105 sisanya ditunjuk langsung oleh presiden. Satu pertiga. Angka yang terlihat kecil tapi maknanya besar: dominasi eksekutif atas legislatif sudah dikunci sejak awal. Bagaimana bisa parlemen menjadi lembaga pengimbang, kalau sepertiga anggotanya adalah perpanjangan tangan penguasa? Dan jangan lupa, aturan pencalonan pun dirancang sedemikian rupa agar oposisi tersingkir dengan mudah. “Pendukung rezim lama” atau “advokat perpecahan” adalah label elastis yang bisa ditempelkan pada siapa saja. Aturan ini seperti jaring laba-laba: tampak rapuh, tapi begitu menyentuh, sulit dilepaskan.
Saya rasa, inilah yang paling berbahaya: bukan sekadar pemilu yang tertunda, tapi pemilu yang dipaksakan dan dijadikan formalitas belaka. Legitimasi palsu. Dengan dalih demokrasi, penguasa membangun panggung sandiwara yang hanya punya satu lakon: pengukuhan dirinya sendiri. Sementara rakyat—yang mestinya menjadi aktor utama—sekadar figuran yang suaranya bisa diatur, bisa didiamkan, bahkan bisa dihapus. Dan ketika dunia internasional menoleh sebentar, penguasa bisa berkata: “Lihat, kami mengadakan pemilu.” Lalu semua berpura-pura percaya.
Fenomena ini bukan hanya tragedi Suriah. Kita di Indonesia pun tahu, betapa seringnya demokrasi dijadikan kosmetik politik. Spanduk, baliho, bilik suara, semua itu bisa dipoles agar tampak indah, padahal di dalamnya penuh manipulasi. Kita pernah melihat pemilu yang hasilnya sudah bisa ditebak, atau lembaga legislatif yang lebih sibuk jadi stempel pemerintah ketimbang pembela rakyat. Jadi, jangan buru-buru merasa jauh dari Suriah. Cermin itu, meski retak, bisa saja memantulkan wajah kita sendiri.
Lebih jauh, pemilu formalitas seperti ini justru memperpanjang luka. Di Suwayda, orang-orang Druze yang melihat kampung mereka dibakar tentu tak akan percaya pada bilik suara yang dijanjikan rezim. Di Hasakah dan Raqqa, kelompok Kurdi tak mungkin merasa terwakili jika parlemen pusat bisa menyingkirkan mereka hanya dengan label “advokat perpecahan.” Demokrasi tanpa inklusi hanya melahirkan jurang lebih dalam. Dan jurang itu akan cepat atau lambat melahirkan perlawanan baru.
Kita tahu, kekuasaan selalu punya cara untuk merias wajahnya. Dulu Assad menyebut dirinya benteng melawan terorisme, padahal bom jatuh di kota-kota. Kini Sharaa berbicara tentang integritas, padahal tangannya masih berlumuran darah masa lalu. Ada pola yang tak berubah: rezim baru atau lama, wajahnya boleh berbeda, tapi cara bertahannya tetap sama—represi, manipulasi, dan legitimasi semu lewat pemilu yang disetir.
Apakah rakyat Suriah akan percaya? Mungkin sebagian, karena keletihan bisa membuat siapa saja memilih ilusi daripada realitas pahit. Tapi ilusi tak pernah abadi. Pemilu yang hanya formalitas ibarat rumah berdiri di atas pasir: tampak kokoh sesaat, tapi akan runtuh begitu gelombang datang. Dan gelombang itu—entah dalam bentuk perlawanan rakyat, intervensi asing, atau sekadar keruntuhan ekonomi—pasti akan tiba.
Akhirnya, kita hanya bisa melihat absurditas ini dengan campuran rasa marah dan getir. Sebab di satu sisi, rakyat Suriah pantas mendapatkan ruang politik yang jujur dan adil. Di sisi lain, penguasa tetap sibuk menciptakan legitimasi dengan cara yang paling murah: menggelar pemilu palsu, mengutip jargon persatuan, dan berharap dunia menutup mata. Kita tahu betapa berbahayanya itu. Pemilu yang dipaksakan, hanya untuk meneguhkan kekuasaan, tak pernah membawa stabilitas. Ia justru menanam bom waktu yang suatu hari akan meledak—dan ketika itu terjadi, korban utamanya tetap rakyat biasa.
Kita semua tahu, demokrasi sejati bukanlah soal kotak suara semata, melainkan soal ruang yang adil bagi setiap orang untuk bersuara tanpa takut dibungkam. Suriah hari ini menunjukkan betapa berbahayanya ketika pemilu dijadikan kosmetik politik: wajahnya mungkin tampak segar, tapi tubuhnya penuh luka dan penyakit. Saya rasa, diam hanya akan membuat luka itu membusuk lebih dalam. Maka, sekecil apa pun suara kita, sekecil apa pun solidaritas kita, tetaplah berarti. Sebab di tengah absurditas kekuasaan yang berpura-pura demokratis, suara kritis—betapapun lirih—adalah tanda bahwa kita masih berpihak pada kebenaran, bukan pada sandiwara.