Connect with us

Opini

Pelucutan Senjata Hizbullah: Sebuah Pengkhianatan?

Published

on

Kabinet Lebanon memutuskan sesuatu yang, jika tidak tragis, bisa dianggap lucu—sebuah keputusan yang akan dicatat sejarah bukan karena kebijaksanaannya, tapi karena absurditasnya. Di tengah dentuman drone Israel yang masih rutin menghujani langit selatan, dengan bocah-bocah Tulin terbunuh tanpa sempat mengenal damai, pemerintah memutuskan bahwa masalah utama Lebanon… adalah senjata Hizbullah. Iya, Anda tidak salah baca. Bukan pendudukan. Bukan agresi. Tapi senjata yang melawan keduanya.

Keputusan kabinet pada 5 Agustus lalu terasa seperti sandiwara politik yang buruk, namun dengan panggung yang sangat nyata. Para menteri, dengan wajah tegang namun tampak puas, menetapkan bahwa hanya negara yang boleh punya senjata. Tepuk tangan terdengar samar—mungkin dari balkon Tel Aviv. Sementara itu, menteri-menteri dari Hizbullah dan Amal Movement memilih keluar ruangan. Bukan karena tidak ingin berdiskusi, tapi karena mereka tahu, tak ada akal sehat yang sedang duduk di meja perundingan itu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Keputusan ini mengundang satu pertanyaan besar: apakah pemerintah Lebanon tengah menjalankan kebijakan demi kedaulatan negara, atau justru sedang melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan dan darah rakyatnya sendiri? Ketika musuh masih ada di pagar, dan peluru masih melayang, pelucutan senjata bukanlah jalan damai—tapi jalan menyerah.

Hizbullah menyebut keputusan ini sebagai “dosa besar”, dan entah kenapa istilah itu terasa sangat cocok. Barangkali karena, dalam konteks Lebanon, melucuti senjata perlawanan sama artinya dengan membuka pintu rumah sambil menuliskan “silakan dijarah” di depan pagar. Yang lebih menyedihkan: keputusan ini diambil bukan setelah kemenangan diplomatik atau keberhasilan negosiasi damai, melainkan setelah tekanan halus—atau mungkin kasar—dari utusan Amerika dan bisikan-bisikan dari luar negeri yang tak pernah benar-benar peduli apakah Beirut runtuh atau terbakar.

Lucunya, keputusan ini diambil bukan karena agresi zionis sudah berhenti. Justru sebaliknya. Hari demi hari, drone zionis masih berkeliling seolah-olah langit Lebanon adalah taman bermain mereka. Tanah di selatan masih dikuasai. Pelanggaran wilayah udara? Sudah semacam jadwal rutin. Tapi anehnya, alih-alih menyusun strategi nasional untuk mengusir penjajah, pemerintah malah menyusun rencana membungkam mereka yang selama ini berdiri di garis depan.

Ada yang bilang ini tentang kedaulatan. Bahwa negara seharusnya satu-satunya entitas yang memegang senjata. Kalimat itu terdengar indah. Masalahnya, negara macam apa yang menyerahkan satu-satunya giginya, ketika seekor harimau masih mengaum di pintu? Ini bukan tentang hukum tata negara ideal. Ini tentang realitas: bahwa Lebanon bukan Swiss, dan Israel bukan tetangga yang baik hati.

Keputusan ini juga disebut sebagai bagian dari komitmen terhadap Resolusi PBB 1701. Tapi bahkan PBB tahu, resolusi itu sudah jadi fosil. Israel melanggarnya setiap minggu. Setiap kali mereka mengirim drone, setiap kali mereka menjatuhkan bom, setiap kali mereka tetap bercokol di tanah Lebanon. Jadi pertanyaannya: kenapa pemerintah begitu patuh terhadap satu sisi, dan begitu tuli terhadap pelanggaran yang dilakukan pihak lain?

Hizbullah menolak keputusan ini dan mengatakan mereka akan mengabaikannya. Banyak yang akan mencibir: “lihat, mereka membangkang negara.” Tapi siapa sebenarnya yang membangkang? Mereka yang tetap menjaga garis perlawanan agar Lebanon tidak dilumat zionis? Atau mereka yang dengan tenang menandatangani perjanjian yang tidak melindungi warganya sendiri? Bukankah lebih masuk akal untuk menyebut keputusan ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap logika, terhadap realitas, terhadap sejarah panjang perlawanan yang dibayar mahal dengan darah?

Mari kita mundur sedikit dan lihat lebih dalam. Dalam beberapa dekade terakhir, siapa yang membuat zionis menarik diri dari Lebanon selatan? Siapa yang mencegah mereka melakukan pendudukan permanen pasca 2006? Siapa yang menjaga perbatasan tetap milik Lebanon saat negara nyaris bangkrut, aparatnya lumpuh, dan lembaga-lembaganya keropos oleh krisis? Jawabannya jelas. Tapi ironisnya, kini justru tangan yang pernah menyelamatkan tanah air dianggap sebagai beban. Ini seperti menggugat kapal penyelamat karena tidak memakai bendera nasional saat menolongmu dari tenggelam.

Langkah pemerintah ini sejatinya adalah sinyal. Sinyal kepada Washington dan Tel Aviv bahwa Lebanon bersedia duduk di kursi negosiasi, dengan syarat yang sudah mereka tulis lebih dulu. Dan seperti biasa, “negosiasi” ini hanyalah cara lain untuk menyebut “penyerahan sepihak”. Bahkan media zionis pun menyambutnya dengan suka cita. Channel 14 menyebutnya sebagai “titik balik bersejarah.” Sebab mereka tahu, tidak ada yang lebih indah bagi penjajah selain ketika korban menyerah tanpa syarat, dengan penuh kesadaran.

Dalam konteks lokal, ini seperti seorang tetangga yang terus-menerus merusak pagar rumahmu, melempar batu ke jendela anakmu, lalu menuntut agar kamu tak lagi membawa pentungan demi “hidup berdampingan secara damai.” Dan yang lebih tragis: pemerintahmu setuju.

Amal Movement, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa Lebanon sudah mematuhi gencatan senjata sejak akhir 2024, sementara Israel terus melanggarnya. Mereka juga menyinggung blokade terhadap desa-desa di selatan, dan pendudukan atas “Lima Bukit”—wilayah strategis yang terus dirampas. Tapi semua itu tampaknya tak cukup penting untuk jadi prioritas kabinet. Mungkin karena lebih mudah mengatur rakyat sendiri daripada menantang mereka yang punya rudal, veto, dan sanksi.

Di tengah semua ini, ada satu pertanyaan yang menggantung: apakah pemerintah benar-benar percaya bahwa Israel akan berhenti menyerang jika Hizbullah dilucuti? Atau mereka hanya ingin menyenangkan tuan-tuan di luar negeri demi pinjaman baru yang, seperti biasa, akan habis sebelum rakyat sempat merasakannya?

Mungkin ini bukan tentang keyakinan, tapi tentang keputusasaan. Sebab tak ada negara yang waras—yang benar-benar peduli pada kedaulatannya—akan melucuti pertahanan terakhirnya saat ancaman masih nyata. Maka, bisa jadi ini bukan sekadar keputusan keliru, tapi langkah pelan-pelan menuju pengkhianatan yang dilegalkan.

Dan kita, sebagai pembaca yang berada jauh dari Beirut namun pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan kuasa besar, bisa memetik pelajaran penting: bahwa kedaulatan bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah sikap. Ia adalah keberanian untuk berkata tidak, bahkan saat dunia memaksamu berkata ya. Ia adalah keberanian untuk memegang senjata—bukan karena cinta perang, tapi karena tak ada damai tanpa kehormatan.

Sebab pada akhirnya, jika pelucutan senjata dilakukan bukan karena damai telah tercapai, melainkan karena tekanan dan ketundukan pada musuh, maka itu bukan lagi diplomasi. Itu pengkhianatan. Dan pengkhianatan, seperti sejarah selalu mengajarkan kita, tidak akan pernah melahirkan kemerdekaan.

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Monopoli Senjata atau Membela Israel? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer