Opini
Pelajar Tiongkok Didepak, Dunia Terbelah Dua

Ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mengumumkan pencabutan visa bagi sejumlah mahasiswa Tiongkok, saya tercekat. Seolah ada jeda sesaat dalam denyut globalisasi. Lebih dari 270.000 pelajar asal Tiongkok—seperempat dari total pelajar internasional di AS pada tahun akademik 2023–2024, menurut Open Doors Report—tiba-tiba dipaksa berdiri di ujung ketidakpastian. Banyak dari mereka tengah menempuh studi di bidang-bidang yang dianggap “kritis” atau sensitif, atau diduga memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Tiongkok. Alasan keamanan nasional, katanya. Namun, saya tak bisa menepis keresahan: apakah ini benar-benar tentang keamanan, atau ada ketakutan tersembunyi terhadap potensi intelektual yang datang dari luar?
Saya teringat Liqin, mahasiswa Tiongkok di Johns Hopkins University. Ia menyebut langkah ini sebagai “versi baru Chinese Exclusion Act,” merujuk pada kebijakan diskriminatif di abad ke-19 yang melarang imigrasi warga Tionghoa ke AS. Nada suaranya berat. Setelah sepertiga hidupnya dihabiskan di Amerika, ia kini mempertimbangkan untuk pulang. “Saya tidak yakin saya masih diinginkan di sini,” katanya. Saya membayangkan beban yang ia pikul—mimpi yang dibangun bertahun-tahun, kini bisa runtuh dalam sekejap. Bagaimana rasanya mengejar ilmu di negeri asing, mengabdikan diri pada riset dan pendidikan, lalu tiba-tiba dianggap sebagai ancaman?
Pemerintah Tiongkok pun tak tinggal diam. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Mao Ning, menyebut kebijakan ini sebagai tindakan yang “tidak masuk akal” dan “diskriminatif.” Tiongkok, katanya, telah melayangkan protes resmi. Ini bukan friksi pertama. Sejak 2019, Kementerian Pendidikan Tiongkok telah memperingatkan warganya soal kemungkinan penolakan visa dari AS. Tahun lalu, beberapa mahasiswa bahkan diinterogasi di bandara dan dipulangkan tanpa penjelasan memadai. Garis antara pengawasan dan paranoia semakin kabur.
Media Tiongkok turut memperkeruh suasana. Mereka menggambarkan Amerika sebagai tempat yang tak lagi aman—dari kekerasan senjata hingga gejolak sosial yang memburuk selama pandemi. Narasi ini kini mendapat amunisi baru. Tak sedikit calon mahasiswa Tiongkok yang memilih beralih ke Inggris, Australia, atau negara-negara Eropa, menurut data UNESCO. Pandemi mempercepat pergeseran ini, dan kebijakan terbaru dari Washington mungkin akan mempermanennya.
Saya kemudian teringat Zou Renge, mahasiswi berusia 27 tahun di University of Chicago. Ia bercita-cita bekerja di lembaga bantuan kemanusiaan di luar negeri setelah lulus tahun depan. Namun kini, dengan situasi yang tidak menentu, ia mempertimbangkan untuk tetap tinggal dan bekerja di AS. “Saya hanya ingin tempat yang stabil agar bisa melakukan yang terbaik,” ujarnya. Di balik kalimat itu, saya menangkap nada getir: generasi muda yang harus menyesuaikan mimpi mereka dengan politik negara-negara besar.
Padahal, kontribusi pelajar internasional terhadap ekosistem pendidikan tinggi AS tidak kecil. Data menunjukkan bahwa Tiongkok adalah negara pengirim pelajar internasional terbesar kedua setelah India, berdasarkan Open Doors Report 2023–2024. Mereka bukan hanya menyumbang pendapatan ekonomi bagi kampus, tapi juga memperkaya lingkungan akademik lewat perspektif global dan kolaborasi lintas budaya. Namun kini, dengan kebijakan ini, reputasi Amerika sebagai tujuan pendidikan utama dunia tampaknya tengah diuji. Apakah benar Amerika siap mengorbankan semangat keterbukaan dan keberagaman yang telah menjadi bagian dari identitasnya?
Pertanyaan itu mengantar saya pada sebuah refleksi: bagaimana dengan Indonesia? Di tengah silang sengkarut ini, apa makna dan dampaknya bagi kita?
Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Menurut data Kementerian Perdagangan RI, pada 2024 sekitar 22% ekspor kita—seperti nikel, batubara, dan kelapa sawit—mengalir ke Tiongkok. Di sisi lain, 30% impor kita—terutama barang elektronik dan mesin—berasal dari sana. Sementara itu, Amerika Serikat tetap menjadi pasar strategis bagi produk tekstil, alas kaki, dan komponen industri kita. Dalam lanskap ekonomi yang saling terkait ini, ketegangan antara dua kekuatan besar dunia itu menyimpan risiko serius bagi kita.
Jika gesekan AS–Tiongkok terus meruncing—dari perang tarif, larangan teknologi, hingga kebijakan visa—rantai pasok global bisa terganggu. Biaya logistik meningkat, harga barang melonjak, dan ekspor kita terhambat. Proyek-proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang sangat bergantung pada investasi asing dan kestabilan ekonomi global, juga bisa ikut tersendat.
Kekhawatiran saya bukan tidak berdasar. Kita pernah melihat bagaimana perang dagang era Trump mengguncang ekonomi dunia. Kini, jika ketegangan meluas ke sektor pendidikan dan teknologi, maka bukan tidak mungkin eskalasinya menjalar ke pasar keuangan global. Bayangkan jika Tiongkok mengurangi kepemilikan surat utang AS atau melarang ekspor komponen strategis. Situasi bisa jauh lebih kompleks.
Indonesia harus bersiap. Kita tidak bisa hanya bergantung pada satu atau dua pasar utama. Diversifikasi ekspor ke kawasan lain seperti Eropa, India, atau Timur Tengah menjadi langkah cerdas. Perjanjian perdagangan seperti RCEP atau ASEAN–EU bisa menjadi pintu masuk. Di sektor dalam negeri, hilirisasi sumber daya alam seperti nikel harus terus diperkuat agar kita tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga produsen barang jadi. Ketahanan ekonomi hanya bisa dibangun lewat nilai tambah, bukan ketergantungan.
Stabilitas keuangan juga krusial. Kita perlu menjaga cadangan devisa yang memadai, menekan inflasi, dan memastikan nilai tukar rupiah tetap stabil. Di saat dunia bergejolak, fondasi ekonomi nasional adalah satu-satunya jangkar yang kita miliki.
Namun lebih dari itu, posisi politik Indonesia juga memegang peran penting. Sebagai anggota ASEAN dan negara dengan sejarah panjang dalam diplomasi nonblok, Indonesia berpeluang menjadi jembatan dialog. Kita bisa memainkan peran sebagai penengah, menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang yang mungkin terdampak oleh pertikaian dua raksasa global. Tapi, tentu, ini menuntut keberanian dan kelincahan diplomasi.
Di balik semua ini, saya tak bisa tidak bertanya: mungkinkah krisis ini justru membuka peluang? Jika pelajar-pelajar Tiongkok mulai menghindari AS, akankah Indonesia—dengan reputasi sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara—bisa menarik sebagian dari mereka? Mungkinkah kita membangun ekosistem pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan unggul, hingga suatu hari nanti menjadi tujuan belajar yang setara?
Langkah-langkah kecil sudah mulai terlihat, tapi jalan masih panjang. Di sinilah refleksi saya mengendap: dunia tengah memasuki era ketegangan baru, dan tidak ada yang benar-benar kebal. Kebijakan visa AS ini mungkin lahir dari kekhawatiran akan dominasi Tiongkok, tapi dampaknya meluas ke sektor yang mestinya netral: pendidikan, ilmu pengetahuan, dan masa depan generasi muda.
Saya prihatin. Dunia tampaknya menuju konfigurasi baru—dua kutub yang saling mencurigai, saling mengunci, dan saling menghalangi. Di tengah situasi ini, Indonesia harus berhati-hati. Jangan sampai terjebak dalam tarik-menarik kekuatan besar, tapi juga jangan terlalu pasif hingga kehilangan kesempatan. Kita harus proaktif—memperkuat ekonomi, menjaga netralitas, dan membuka diri terhadap kemungkinan baru.
Di tengah arus yang tak menentu, saya bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita, sebagai bangsa, melindungi masa depan? Apakah kita siap menyambut peluang di balik krisis? Ataukah kita hanya akan jadi penonton dalam panggung sejarah yang terus bergerak?
Waktu akan menjawab. Tapi kesiapan kitalah yang menentukan jawabannya.