Connect with us

Opini

Pejuang Asing Suriah: Jasa Dihormati atau Dibuang?

Published

on

Seorang pemuda Uzbek berusia 20 tahun, Muhammad Zafar, melangkah di tanah Suriah, menyeberang dari Turki dengan semangat jihad membakar dadanya. Bersama Battalion of Strangers, ia bertempur di garis depan, menerima perintah dari komandan Uzbek yang fasih berbahasa Arab, membantu Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) menggulingkan Bashar al-Assad. Kini, setelah kemenangan, Zafar dan ribuan pejuang asing seperti dia menghadapi nasib tak pasti, dianggap beban oleh pemerintah baru yang mereka tolong bangun.

Laporan The Wall Street Journal mengungkap dilema pelik yang membelit Suriah pasca-rezim al-Assad. Hingga 10.000 pejuang asing dari Timur Tengah, Eropa, dan Asia Tengah, yang dulu jadi tulang punggung revolusi, kini dipandang sebagai ancaman bagi pemerintahan Ahmad al-Sharaa. Mereka membawa keahlian tempur, propaganda, dan jaringan pendanaan global, tetapi kehadiran mereka memicu keresahan di tengah upaya Suriah membangun citra inklusif. AS menuntut pengusiran ekstremis, sementara Suriah terpecah.

Zafar, seperti diceritakan WSJ, bermimpi bergabung dengan tentara nasional Suriah untuk membangun negara berbasis prinsip Islam, menyebut perjuangannya sebagai “perang suci.” Namun, visi ini ditolak banyak dari 24 juta rakyat Suriah yang mendambakan pemerintahan pluralis. Janji al-Sharaa untuk memberikan kewarganegaraan kepada pejuang asing kini dipertanyakan, karena kehadiran mereka memperburuk ketegangan etnis, terutama setelah pembantaian terhadap minoritas Alawite di wilayah pesisir yang menewaskan puluhan orang.

Pemerintah baru, di bawah tekanan AS, tampak condong mengusir pejuang asing. Tim Lenderking, pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, menegaskan bahwa “pejuang teroris asing” tak boleh punya peran dalam pemerintahan atau militer Suriah. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran global bahwa pejuang ini bisa menjadi benih konflik baru, baik di Suriah maupun di luar. Namun, mengusir mereka bukan perkara sederhana; ini seperti membuang sekutu setelah kemenangan diraih, memicu narasi pengkhianatan.

Broderick McDonald, peneliti dari King’s College London, menyoroti nilai strategis pejuang asing dalam wawancara dengan WSJ. Mereka ahli dalam taktik medan perang, produksi propaganda, dan penggalangan dana global, keahlian yang membantu mengkoordinasikan serangan cepat melawan al-Assad. Kehilangan mereka, bagi sebagian kalangan Suriah, adalah harga terlalu mahal. Ketika al-Sharaa merebut Damaskus, pejuang dari Yordania, Mesir, dan Turki diangkat ke posisi militer senior, tanda penghargaan atas jasa mereka.

Namun, penghargaan itu cepat memudar. WSJ mencatat bahwa pemerintah membentuk komite investigasi untuk menyelidiki pembantaian Alawite, dengan lebih dari 50 insiden sedang diselidiki. Pada April, komite ini mendapat perpanjangan tiga bulan untuk mengumpulkan bukti, menunjukkan betapa seriusnya ancaman kekerasan etnis. Insiden ini, yang menargetkan komunitas Alawite yang dianggap pendukung al-Assad, menambah tekanan pada al-Sharaa untuk menyingkirkan faksi asing yang terlibat.

Mengusir pejuang asing berisiko memicu pemberontakan. Banyak pejuang, seperti Zafar, melihat perjuangan mereka sebagai panggilan ideologis. Jika dipaksa meninggalkan Suriah atau dilarang mengejar visi Islamis, mereka bisa berbalik melawan al-Sharaa. WSJ memperingatkan bahwa beberapa mungkin beralih ke konflik di Afrika atau wilayah lain, membawa keahlian militan mereka. Yang lain menghadapi penuntutan atau persekusi di negara asal, seperti Uzbekistan, di mana rezim otoriter kerap menindas mantan militan.

Pragmatisme al-Sharaa memperumit situasi. Ia pernah menunjukkan kesediaan memenuhi tekanan internasional, seperti saat diminta menangkap pejuang Palestina, sebuah langkah yang memicu kritik dari faksi Islamis. Pola ini menunjukkan ia mungkin memilih mengusir pejuang asing untuk menjaga hubungan dengan Barat, yang krusial bagi rekonstruksi Suriah. Namun, langkah ini bisa memicu perpecahan di antara pendukungnya, terutama kelompok yang masih mengandalkan keahlian pejuang asing untuk menghadapi ancaman keamanan.

Suriah belum damai. Ketegangan etnis, investigasi pembantaian, dan persaingan faksi terus menghantui. Mengusir pejuang asing bisa memperburuk fragmentasi, terutama jika mereka membentuk kelompok militan baru. Sebaliknya, mempertahankan mereka berarti mengorbankan legitimasi domestik dan dukungan internasional. Al-Sharaa berada di persimpangan: apakah ia akan menghormati jasa pejuang asing atau memprioritaskan stabilitas jangka panjang dengan mengorbankan mereka? Pilihan ini akan menentukan masa depan Suriah.

Sejarah menawarkan peringatan keras. Di Afghanistan, mujahidin yang didukung Barat melawan Soviet menjadi cikal bakal kelompok ekstremis global seperti al-Qaeda. Suriah berisiko mengulang pola ini jika pejuang asing dibiarkan tanpa pengawasan atau diusir tanpa strategi. WSJ menyebutkan bahwa beberapa pejuang menghadapi persekusi di negara asal, mendorong mereka ke konflik lain. Ini bisa memperburuk ketidakstabilan regional, terutama di wilayah Sahel yang sudah dilanda militansi.

Alternatif bagi al-Sharaa bukanlah solusi mudah. Ia bisa menawarkan insentif, seperti amnesti terbatas atau relokasi ke negara ketiga, untuk mendorong kepergian sukarela. Namun, ini memerlukan dana dan koordinasi internasional yang sulit dicapai di tengah transisi rapuh. Program deradikalisasi, seperti yang pernah dicoba di Arab Saudi, bisa dipertimbangkan, tetapi efektivitasnya dipertanyakan, terutama bagi pejuang dengan ideologi kuat seperti Zafar.

Rakyat Suriah, yang lelah perang, mendambakan pemerintahan yang mewakili semua etnis dan agama. Kehadiran pejuang asing, dengan visi Islamis radikal mereka, bertentangan dengan aspirasi ini. Laporan WSJ menunjukkan bahwa banyak warga Suriah skeptis terhadap jaminan al-Sharaa tentang inklusivitas, terutama setelah kekerasan terhadap Alawite. Pemerintah baru harus membuktikan bahwa ia mampu menyeimbangkan keadilan bagi pejuang asing dengan kebutuhan rakyatnya sendiri.

Dilema ini bukan sekadar politik, tetapi juga moral. Pejuang asing mempertaruhkan nyawa untuk menggulingkan al-Assad, namun kini dianggap beban. Mengusir mereka mungkin menenangkan dunia, tetapi juga mengabaikan jasa mereka, memicu narasi pengkhianatan yang bisa dimanfaatkan kelompok ekstremis untuk merekrut. Mempertahankan mereka, sebaliknya, berarti mengorbankan impian Suriah untuk menjadi negara yang inklusif, bebas dari bayang-bayam militansi.

Zafar dan ribuan lainnya menanti keputusan. Akankah mereka diterima sebagai bagian dari Suriah baru, atau dibuang setelah perjuangan mereka? Al-Sharaa harus memilih, tetapi setiap pilihan membawa risiko. Suriah, yang masih berdarah, membutuhkan lebih dari kemenangan militer; ia membutuhkan rekonsiliasi dan keadilan. Pertanyaan yang menggantung: bisakah al-Sharaa menyeimbangkan rasa terima kasih dengan tuntutan masa depan, atau akankah Suriah kembali terjebak dalam lingkaran konflik?

Keputusan al-Sharaa juga akan menguji kedaulatannya. Tekanan AS mencerminkan dinamika kekuasaan global yang sering mendikte nasib negara pasca-konflik. Jika al-Sharaa tunduk, ia berisiko kehilangan dukungan faksi dalam negeri yang masih menghargai pejuang asing. Jika menolak, ia bisa mengasingkan sekutu internasional yang dibutuhkan untuk membangun kembali Suriah. Dilema ini mencerminkan tantangan abadi negara transisi: bagaimana menjaga kedaulatan sambil bergantung pada dukungan asing.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *